1

Pengertian dan Macam-macam Alat Pembuktian Perdata

Pengertian dan Macam-macam Alat Pembuktian Perdata, alat pembuktian

Alat Bukti Perdata

Menurut M. Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya Hukum Acara Perdata menyatakan bahwa alat bukti (bewijsmiddel) adalah suatu hal berupa bentuk dan jenis yang dapat membantu dalam hal memberi keterangan dan penjelasan tentang sebuah masalah perkara untuk membantu penilaian hakim di dalam pengadilan. Jadi, para pihak yang berperkara hanya dapat membuktikan kebenaran dalil gugat dan dalil bantahan maupun fakta-fakta yang mereka kemukakan dengan jenis atau bentuk alat bukti tertentu. Hukum pembuktian yang berlaku di Indonesia sampai saat ini masih berpegang kepada jenis dan alat bukti tertentu saja. 
(Baca: Pengertian, Dasar Hukum dan Teori Pembuktian Perdata)

Mengenai alat bukti yang diakui dalam acara perdata diatur dalam undang-undang Perdata Pasal 1866 KUH Perdata, Pasal 164 HIR/Pasal 284 RBg terdiri dari:

- Bukti Tulisan
- Bukti dengan saksi-saksi
- Persangkaan-persangkaan
- Pengakuan
- Sumpah

Berikut adalah sebagai penjelasannya:

1. Alat Bukti tertulis

Alat bukti tertulis sendiri diatur dalam Pasal 138, 165, 167 HIR, 164, 285-305 Rbg. S 1867 no. 29 dan Pasal 1867-1894 BW baca Juga pasal 138-147 Rv.

Alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimasudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Dengan demikian maka segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda bacaan, atau meskipun memuat tanda bacaan, akan tetapi tidak mengandung buah pikiran, tidaklah termasuk dalam pengertian alat bukti tertulis.

2. Pembuktian dengan saksi.

Pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan dalam segala hal dimana itu tidak di kecualikan oleh undang-undang.

Ada beberapa syarat seseorang dapat dijadikan seorang saksi dalam kasus di pengadilan perdata, yaitu:

a. Saksi sebelum memberikan keterangan di sumpah menurut agamanya

b. Yang dapat diterangkan saksi adalah apa yang dilihat, didengar, diketahui, dan dialami sendiri

c. Kesaksian harus diberikan di depan persidangan dan diucapkan pribadi

d. Saksi harus dapat menerangkan sebab-sebab sampai dapat memberikan keterangan

e. Saksi tidak dapat memberikan keterangan yang berupa pendapat, kesimpulan dan perkiraan dari saksi.

f. Kesaksian dari orang lain bukan merupakan alat bukti (testimonium de auditu)

g. Keterangan satu orang saksi bukan merupakan alat bukti (unus testis nullus testis), satu saksi harus didukung dengan alat bukti lain.

Dan ada yang tidak dapat dijadikan saksi oleh undang-undang (Pasal 145 ayat (1) HIR):

a. Keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut yang lurus dari salah satu pihak

b. Suami atau istri salah satu pihak meskipun telah bercerai

c. Anak-anak yang umurnya tidak diketahui dengan benar bahwa mereka telah berumur 15 tahun

Alasan undang-undang tidak membolehkan orang-orang sedarah untuk bersaksi adalah:

1. Bahwa mereka ini pada umumnya dianggap tidak cukup objektif apabila didengar sebagai saksi

2. Untuk menjaga hubungan kekeluargaan yang baik, yang mungkin akan retak apabila mereka ini memberi kesaksian

3. Untuk mencegah timbulnya tekanan batin setelah memberi keterangan. Namun menurut pasal 145 ayat 2 HIR (pasal 172 ayat 2 Rgb. 1910 alenia 2 BW) mereka ini tidak boleh ditolak sebagai saksi dalam perkara yang menyangkut kedudukan keperdataan dari para pihak atau dalam perkara yang menyangkut perjanjian kerja. Pasal 1910 alinea 2 sub 2 dan 3 BW menambahkan dengan hal-hal yang berhubungan dengan pemberian nafkah dan penyelidikan tentang hal-hal yang menyebabkan pencabutan kekuasaan orang tua perwalian. Dalam hal ini mereka tidak berhak mengundurkan diri dari memberi kesaksian.

3. Persangkaan

Bukti yang ketiga adalah Persangkaan, persangaan sendiri diatur dalam pasal 164 HIR (Pasal 284 Rbg. 1866 BW). Yang dinamakan persangkaan adalah alat bukti yang bersifat tidak langsung. Misalnya saja pembuktian dari ketidak hadiran seseorang pada suatu waktu di tempat tertentu dengan membuktikan kehadirannya pada waktu yang sama dan di tempat lain.

Didalam literature lain mengatakan bahwa persangkaan-persangkaan menurut undang-undang ialah persangkaan yang berdasarkan suatu ketentuan khusus undang-undang, dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu. (1916 BW) diantaranya adalah:

a. Pasal 1e mengatakan “perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan batal, karena semata-mata demi sifat dan ujudnya, dianggap telah dilakukan untuk menyelundupi suatu ketentuan undang-undang”

b. Pasal 2e mengatakan “hal-hal mana oleh undang-undang diterangkan bahwa hak milik atau pembebasan utang disimpulkan dari keadaan tertentu”

c. Pasal 3e mengatakan “kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak

d. Pasal 4e mengatakan “Kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada pengakuan atau kepada sumpah salah satu pihak.

4. Pengakuan

Pengakuan (bekentenis, confession) adalah alat bukti yang berupa pernyataan atau keterangan yang dikemukakan salah satu pihak kepada pihak lain dalam proses pemeriksaan, yang dilakukan di muka hakim atau dalam sidang pengadilan. Pengakuan tersebut berisi keterangan bahwa apa yang didalilkan pihak lawan benar sebagian atau seluruhnya (Vide Pasal 1923 KUH Perdata dan Pasal 174 HIR).

Secara umum hal-hal yang dapat diakui oleh para pihak yang bersengketa adalah segala hal yang berkenaan dengan pokok perkara yang disengketakan. Tergugat dapat mengakui semua dalil gugatan yang dikemukakan penggugat atau sebaliknya penggugat dapat mengakui segala hal dalil bantahan yang diajukan tergugat. Pengakuan tersebut dapat berupa, pertama pengakuan yang berkenaan dengan hak, kedua pengakuan mengenai fakta atau peristiwa hukum.

Lalu yang berwenang memberi pengakuan menurut Pasal 1925 KUH Perdata yang berwenang memberi pengakuan adalah sebagai berikut:

a. Dilakukan principal (pelaku) sendiri yakni penggugat atau tergugat (Vide Pasal 174 HIR);

b. Kuasa hukum penggugat atau tergugat.

Kemudian bentuk pengakuannya, berdasarkan pendekatan analog dengan ketentuan Pasal 1972 KUH Perdata, bentuk pengakuan dapat berupa tertulis dan lisan di depan persidangan dengan cara tegas (expressis verbis), diam-diam dengan tidak mengajukan bantahan atau sangkalan dan mengajukan bantahan tanpa alasan dan dasar hukum. 
(Baca juga: Sejarah Ushul Fiqh)

5. Bukti Sumpah

Sumpah sebagai alat bukti ialah suatu keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan, dengan tujuan agar orang yang memberi keterangan tersebut takut akan murka Tuhan bilamana ia berbohong. Sumpah tersebut diikrarkan dengan lisan diucapkan di muka hakim dalam persidangan dilaksanakan di hadapan pihak lawan dikarenakan tidak adanya alat bukti lain.

Sedangkan Soedikno berpendapat bahwa “Sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan yang hikmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat maha kuasa dari pada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya”

Menurut UU ada dua macam bentuk sumpah, yaitu sumpah yang “menentukan” (decissoire eed) dan “tambahan” (supletoir eed). Sumpah yang “menentukan” (decissoire eed) adalah sumpah yang diperintahkan oleh salah satu pihak yang berperkara kepada pihak lawan dengan maksud untuk mengakhiri perkara yang sedang diperiksa oleh hakim. Jika pihak lawan mengangkat sumpah yang perumusannya disusun sendiri oleh pihak yang memerintahkan pengangkatan sumpah itu, ia akan dimenangkan, sebaliknya, jika ia tidak berani dan menolak pengangkatan sumpah itu, ia akan dikalahkan. Pihak yang diperintahkan mengangkat sumpah, mempunyai hak untuk “mengembalikan” perintah itu, artinya meminta kepada pihak lawannya sendiri mengangkat sumpah itu. Tentu saja perumusan sumpah yang dikembalikan itu sebaliknya dari perumusan semula. Misalnya, jika rumusan yang semula berbunyi : “Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya telah menyerahkan barang” perumusan sumpah yang dikembalikan akan berbunyi “Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya tidak menerima barang”. Jika sumpah dikembalikan, maka pihak yang semula memerintahkan pengangkatan sumpah itu, akan dimenangkan oleh hakim apabila ia mengangkat sumpah itu. Sebaliknya ia akan dikalahkan apabila dia menolak pengangkatan sumpah itu.

Jika suatu pihak yang berperkara hendak memerintahkan pengangkatan suatu sumpah yang menentukan, hakim harus mempertimbangkan dahulu apakah ia dapat mengizinkan perintah mengangkat sumpah itu. Untuk itu hakim memeriksa apakah hal yang disebutkan dalam perumusan sumpah itu sungguh-sungguh mengenai suatu perbuatan yang telah dilakukan sendiri oleh pihak yang mengangkat sumpah atau suatu peristiwa yang telah dilihat sendiri oleh pihak itu. Selanjutnya harus dipertimbangkan apakah sungguh-sungguh dengan terbuktinya hal yang disumpahkan itu nanti perselisihan antara kedua pihak yang berperkara itu dapat diakhiri, sehingga dapat dikatakan bahwa sumpah itu sungguh-sungguh “menentukan” jalannya perkara. Suatu “sumpah tambahan”, adalah suatu sumpah yang diperintahkan oleh hakim pada salah satu pihak yang beperkara apabila hakim itu barpendapat bahwa didalam suatu perkara sudah terdapat suatu “permulaan pembuktian”, yang perlu ditambah dengan penyumpahan, karena dipandang kurang memuaskan untuk menjatuhkan putusan atas dasar bukti-bukti yang terdapat itu. Hakim, leluasa apakah ia akan memerintahkan suatu sumpah tambahan atau tidak dan apakah suatu hal sudah merupakan permulaan pembuktian. 
(Baca juga artikel lain: Nama-nama lain Al-Quran)

A. Kesimpulan

Menurut M. Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya Hukum Acara Perdata menyatakan bahwa alat bukti (bewijsmiddel) adalah suatu hal berupa bentuk dan jenis yang dapat membantu dalam hal memberi keterangan dan penjelasan tentang sebuah masalah perkara untuk membantu penilaian hakim di dalam pengadilan. Jadi, para pihak yang berperkara hanya dapat membuktikan kebenaran dalil gugat dan dalil bantahan maupun fakta-fakta yang mereka kemukakan dengan jenis atau bentuk alat bukti tertentu. Hukum pembuktian yang berlaku di Indonesia sampai saat ini masih berpegang kepada jenis dan alat bukti tertentu saja.

Mengenai alat bukti yang diakui dalam acara perdata diatur dalam undang-undang Perdata Pasal 1866 KUH Perdata, Pasal 164 HIR/Pasal 284 RBg terdiri dari: Bukti Tulisan, Bukti dengan saksi-saksi, Persangkaan-persangkaan, Pengakuan dan Sumpah.

B. Saran

Demikianlah makalah Ini saya sajikan dengan Pikiran yang Jernih demi memujudkan Kualitas Individu yang lebih baik, makalah ini Jauh dari kata sempurna, Dimohon Bagi Pembaca dapat memberikan Saran dan Kritikan bagi saya demi mewujudkan Kualitas Individu yang mumpuni.

Post a Comment

Silahkan di Share kalau dianggap bermanfaat

 
Top