0

Politik Islam di Indonesia Pra Kemerekaan

Politik Islam di Indonesia Pra Kemerdekaan
Ormas Islam pra kemerdekaan
Indonesia dalam peta pemikiran Islam dunia adalah suatu Negara yang unik dan menarik. Selain sebagai Negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, juga karena di tengah-tengah kehidupan mayoritas masyarakat muslim ini terdapat variasi cara pandang (paradigma) menyangkut kenegaraan, kebangsaan dan kemasyarakatan yang tidak di dasarkan satu paham keagamaan. Bahkan dalam konteks kehidupan bernegara menjadikan pancasila sebagai dasar Negara Indonesia. Perwujudan kesepakatan pancasila sebagai dasar Negara, dalam prosesnya melalui masa-masa kritis dan nyaris mengancam keretakan bangsa, tetapi perbedaan itu dapat dipertemukan karena masing-masing unsur masyarakat mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa. Penerimaan pancasila sebagai ideology Negara pancasila, jelaslah berpengaruh sebagai terhadap kebijakan dan kelangsungan nilai-nilai dan ajaran agama yang dianut kelompok mayoritas tersebut. 

Sebagai mayoritas berpenduduk Muslim, maka Islam telah, sedang dan terus memainkan perananya sesuai dengan proses-proses social dan politik, meskipun peranan itu ditunjukkan dalam dimensi-dimensi yang berbeda. Dalam dinamika social dan politik, “mitos kemayoritasan” ternyata tidak serta merta membuat politik Islam dengan mudah untuk memenangkan pergulatan dalam dimensi ruang dan dimensi hukum di republik ini.[1]

Sebelum kita membahas terlalu jauh tentang mengenai perpolitikan islam di negeri dewasa ini, kami akan menguraikan serta membahas perpolitikan yang ada di negeri ini mulai zaman kerajaan, kolonialisme serta zaman pra kemerdekaan.

Karena kami menganggap bahwa kita tidak boleh melupakan sebuah sejarah perpolitikan Islam dari kerajaan, kolonialisme ataupun pra kemerdekaan. Di karenakan kita sebagai warga Negara yang baik tidaklah etis kalau kita melupakan sejarah pembentukan perpolitikan di Indonesia agar kita tidak dikatakan sebagai “kacang yang lupa kulitnya” lebih-lebih kita dapat menerima segala pembentukan yang timbul dari perpolitikan Islam masa dahulu.

Politik Islam di Indonesia Pra Kemerdekaan


Sebagaimana yang kami uraikan di muka Agama Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia. Pastinya dalam memperjuangkan kemerdekaan mempunyai andil yang besar dalam menyokong perjuangan kemerdekaan Negara Kesatuan Rebublik Indonesia (NKRI) baik dari segi Pemikiran ataupun Jumlah pemeluk agama Islam.

Kami mencatat dari beberapa sumber, pada periode awal kemerdekaan (abad 20) kita menyangsikan berdirinya organisasi-organisasi Islam, baik yang bergerak di bidang politik maupun sosial keagamaan. Diantaranya yang dapat dicatat adalah Sarekat Islam (1912) yang berasal dari Sarekat Dagang Islam (SDI), Muhammadiyyah (1912), Persatuan Islam (1920-an), Nahdlatul Ulama’ (1926), Persatuan Tarbiyah Islam Indonesia (1938). Dari perkembangan organisasi-organisasi Islam tersebut, setidaknya ada dua fenomena yang terjadi pada decade-dekade awal abad ke-20 tersebut. 
(Baca juga: Makalah Hukum Adat; Politik Hukum Adat Belanda di Indonesia)

Pertama, berdirinya organisasi tersebut dilator belakangi oleh keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusi dan memberi pendidikan politik bagi umat islam supaya mereka mengerti dan memperjuangkan hak-hak mereka. Hal ini terlihat dari berdirinya organisasi SI, Permi dan PSI. kedua, ada juga organisasi yang berdiri yang dilator belakangi oleh keinginan untuk mengadakan pembaharuan pemikiran keagamaan dalam Islam, seperti Muhammadiyyah dan Persis. Gerakan organisasi modern ini akhirnya mendapat respon dari kalangan tradisi untuk mempertahankan pendirina mereka dengan mendirikan NU dan Perti.[2]

Namun demikian, kita juga melihat realitas masyarakat Indonesia lainnya yang netral terhadap agama (Islam) dan tidak menghendaki Islam memasuki ruang publik, meskipun sebagian besar dari mereka adalah juga penganut agama Islam. Karena itu, pada awal abad ke-20 hingga akhir penjajahan Belanda, selain organisasi islam seperti disebut sebelumnya, terdapat juga organisasi lain yang netral agama. Polaritas antara kalangn nasionalis netral agama dan nasionalis muslim dapat terlihat umpamanya dengan adanya Budi Oetomo di samping Sarekat Islam, Jong Java di samping Islamieten Bond, Taman siswa di samping Muhammadiyyah dan NU, Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPKI) dan Politik Indonesia (GAPI) di samping Mjelis Islam A’l Indonesia (MIAI) serta Jawa Hokokai di samping Masyumi.[3]

Segi tataran ideologi Negara Kesatuan Rebublik Indonesia, di dalam BPUPKI. Terjadi perdebatan dalam tataran praktis terjadi ketika penyusunan dasar Negara bagi Indonesia pada 1945, beberapa bulan menjelangh kemerdekaan. Dalam siding-sidangnya, para pengusung Islam sebagai sumber dasar Negara berhadapan dengan golongan nasionalis sekuler yang netral agama dan kelompok kebudayaan jawa yang berasal dari Jawa Tengah, termasuk dua kerajaan, yaitu Yogyakarta dan Surakarta. Bahkan kelompok terakhir pernah mengadakan rapat tertutup di Magelang untuk membicarakan pembentukan kerajaan (Indonesia) dengan Sultan Yogyakarta sebagai kepala negaranya. Namun demikian, mereka akhirnya sadar bahwa ide ini akan mengalami resistensi yang buat dan mereka lebih meilih untuk bergabung dengan kekuatan kelompok nasionalis netral agama.[4]

Menurut Prawoto, salah seorang tokoh Masyumi, seperti dikutip Maarif, dari 65 orang anggota BPUPKI, hanya 15 orang yang benar-benar mewakili aspirasi golongan Islam. Selebihnya menolak Islam sebagai dasar Negara. Tokoh-tokoh yang memperjuangkan antara lain adalah K.H.A. Sanusi, Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Mas Mansjur, K.H.A. Wachid Hasjim, Sukiman Wirjosandro, dan Haji Agus Salim. Adapun pendukung pemisahan agama dan Negara antara lain adalah Soekarno, Mohammad Hatta, Radjiman Wediodiningrat, Ahmad Suhardjo, Mohammad Yamin, Soepomo dan Wongsonegoro. 
(Baca juga: Sejarah dan Kedudukan Hukum Perdata Islam di Indonesia)

Kemudian lewat panitia Sembilan dicapailah kesepakatan Piagam Jakarta yang di dalam sila pertma berbunyi “ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” namun kesepakan ini mentah karena ada beberatan dari pihak Kristen di bagian Timur Indonesia. Mereka akan mengundurkan diri dari NKRI yang akan di proklamasikan, apabila tujuh kata dalam piagam Jakarta tersebut tetap di pertahankan. Hal ini mencuat dalam sidang Panitia Undang-undang Dasar pada 11 Juli 1945. Latuharhary yang merupakan wakilkelompok Kristen Indonesia bagian Timur menyatakan keberatannya ungkapan “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Ia menyatakan bahwa hal demikian dapat menimbulkan akibat besar bagi penganut agama minoritas dan menimbulkan masalah-masalah dengan hukum adat.[5]

Keberatan ini dijawab oleh Agus Salim. Ia menyatakan bahwa penganutan agama selain Islam akan dapat menjalankan agamanya sesuai dengan kepercayaan mereka dan tidak perlu merasa khawatir dengan mayoritas agama Islam. Sementara itu, menurut agus Sailm, masalah hukum adat dan Hukum Islam adalah masalah lama yang pada umumnyta sudah dapat diselesaikan.[6]

Sementara golongan nasionalis Islam merasa lega karena pandangan mereka dapat diterima. Namun pada 18 agustus 1945, tujuh kata tersebut dihapuskan dari konstitusi. Penghapusan ini berawal dari inisatif Hatta meninjau kembali rumusan tujuh kata tersebut. Ia mengatakan bahwa, ia telah mendapatkan informasi dari seorang perwira Angkatan Laut Jepang bahwa rakyat Kristen Indonesia bagian Timur tidak akan ikut serta dalam negar Indonesia apabila tujuh kata tersebut tetap dipertahankan dalam konstitusi. Orang Kristen memang menyadari bahwa rumusan tersebut tidak memengaruhi kehidupan mereka sedikitpu, tetapi mereka merasa rumusan tersebut mnerupakan diskriminasi. Hatta sendiri sebenarnya berpendapat bahwa itu itu bukan merupakan diskriminasi. Disamping itu, A.A. Maramis yang merupakan wakil Kristen dalam penitia 9 juga ikut menyetujuinya. Namun ia khwatir apa yang dikhawatirkan perwira Jepang tersebut benar-benar menjadi kenyataan. Karena itulah, pada 18 Agustus 1945 pagi, sebelum sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) di mulai, Hatta mengundang tokoh-tokoh Islam yang okal menyuarakan tujuh kata tersebut untuk meninjau kembali rumusan dalam piagam Jakarta. Ada 4 tokoh yang diundang Hatta, yaitu: Ki Bagus Hadikusumo, K.H.A. Wachid Hasjim, Kasman Singodimedjo dan Muhammad Hasan dari Sumatra.

Dari dialog dengan Hatta ini khirnya wakil-wakil Islam tersebut menerima saran Hatta. Ini memang sesuatu yang aneh, karena tiba-tiba mereka “menyerah” pada keinginan Hatta. Padahal selama ini mereka dikenal sebagai tokoh-tokoh yang memiliki integritas keislaman yang tinggi dan memperjuangkan Islam sebagai dasar Negara. Tentunya ada beberapa factor yang bisa dipandang pendorong mereka untuk menerima saran Hatta.[7]

Dari dialog tersebut dapat diambil benag merah:[8]

Pertama, Hatta adalah tokoh yang memiliki moralitas dan kejujuran yang tidak terbantahkan. Bagi mereka, tidak mungkin Hatta membohongi mereka untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Apa yang disampaikan Hatta pada mereka tentu benar aanya. Karena itu, mereka tidak meminta Hatta untuk membuktikan kebenaran ucapannya. Barangkali akan lain reaksi wakil Islam apabila yang menyampaikan bukan Hatta.

Kedua, kenyataan bahwa bangsa Indonesia dalam kondisi yang kritis, dalam arti bahwa kemerdekaan Indonesia harus dipertahankan mati-matian. Karena itu, persatuan dan kesatuan seluruh komponen bangsa adalah syarat mutlak untuk mempertahankan kemerdekaan. Wakil Islam tersebut menyadari bahwa kalau mereka bersikukuh mempertahankan pendirian mereka, tidak mustahil persatuan akan hancur dan penjajah akan dating kembali ke bumi Indonesia. Mundur selangkah merupakan pengorbanan umat Islam untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Jadi umat Islam bersedia menangguhkan keinginan mereka demi kepentingan yang lebih besar.

Ketiga, setelah Proklamasi kemerdekaan, wakil-wakil Islam berharap akan memperjuangkan kembali mereka di lembaga konstitusional dalam suasana yang lebih normal dan demokratis.

Daftar Pustaka


Halim, Abdul, Politik Islam di Indonesia, Ciputat: Ciputat Press, 2005.
Iqbal, Muhammad, Pemikiran Politik Islam dari masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer, Jakarta:kencana, 2010.
Syarif, Mujar Ibnu dan Khamadi Zada, fiqh Siyasah; Doktri dan Pemikiran Politik Islam, Erlangga, 2008.


[1] Abdul Halim, Politik Islam di Indonesia, Ciputat: Ciputat Press, 2005, Hlm. 1-2.
[2] Muhammad Iqbal, Pemikiran Politik Islam dari masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer, Jakarta:kencana, 2010, hlm. 253-254.
[3] Ibid, hlm. 254-255.
[4] Ibdi Muhammad Iqbal. Yang diambil dari Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Indonesia.
[5] Ibid, hlm. 258.
[6] Ibid, Muhammad Iqbal. Hlm 259. Yang diambil dari Pergulatan Islam Indonesia karya B.J. Boland halaman 31.
[7] Ibdi Muhammad Iqbal. Hlm. 260 Yang diambil dari Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Indonesia.halam 40-41.
[8] Ibid, hlm. 260.

Post a Comment

Silahkan di Share kalau dianggap bermanfaat

 
Top