Hukum Perdata Islam |
Sejarah dan Kedudukan Hukum Perdata Islam di Indonesia
Sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 telah terjadi silang pendapat perihal ideologi yang hendak dianut oleh Negara Indonesia. Mula-mula Badan Penyidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang beranggotakan 62 orang memang memperjuangkan dibentuknya negara islam. Namun dari jumlah itu hanya 15 anggota yang mewakili kelompok nasionalis islami menyetujui dasar negara islam, sedang suara terbanyak (45 suara) memilih dasar negara kebangsaan.
Setelah itu panitia 9 dari BPUPKI berhasil mencapai kompromi yang terkenal dengan piagam jakarta, yang isinya natara lain, “ Ketuhanan Yang Maha esa, dengan mewajibkan menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Dengan tercantumnya 7 kata dalam piagam jakarta itu sama sekali tidak berarti bahwa negara islam telah terbentuk. Oleh karena itu gagasan dasar negara islam telah ditolak namun 7 kata itu dapat diartikan bahwa hukum islam berlaku bagi pemeluk-pemeluk islam sebagai halnya politik hukum Hindia Belanda sebelum tahun 1929.
Dengan disepakatinya Pancasila dan UUD 1945 sebagai ideologi Negara, kemudian disepakati sebagai landasan idiil dan landasan struktural Negara Kesatuan Republik Indonesia. Implikasiya secara hukum setiap bentuk perundang-undangan diharuskan lebih inklusif dan harus mengakomodasikan kepentingan umum masyarakat Indonesia. Inilah yang pada gilirannya akan melahirkan konflik ideologis antara Islam dan negara.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959, selain menetapkan Piagam Jakarta didalam konsiderans, juga menetapkan UUD 1945 dalam diktum (batang tubuh) ditetapkan dalam satu peraturan perundangan yang dinamakan Dekrit Presiden. Kedua-duanya mempunyai kekuatan hukum yang sama. Dengan demikian, Presiden Republik Indonesia berkeyakinan bahwa Piagam jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan rangkaian kesatuan dalam konstitusi tersebut, dan karena perbedaan Piagam jakarta dengan pembukaan UUD 1945 hanya terletak pada 7 kata, maka berarti bahwa ketujuh perkataan itulah yang menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam UUD 1945.
(Baca: Pengertian dan Macam-macam Alat Pembuktian Perdata)
Setelah itu panitia 9 dari BPUPKI berhasil mencapai kompromi yang terkenal dengan piagam jakarta, yang isinya natara lain, “ Ketuhanan Yang Maha esa, dengan mewajibkan menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Dengan tercantumnya 7 kata dalam piagam jakarta itu sama sekali tidak berarti bahwa negara islam telah terbentuk. Oleh karena itu gagasan dasar negara islam telah ditolak namun 7 kata itu dapat diartikan bahwa hukum islam berlaku bagi pemeluk-pemeluk islam sebagai halnya politik hukum Hindia Belanda sebelum tahun 1929.
Dengan disepakatinya Pancasila dan UUD 1945 sebagai ideologi Negara, kemudian disepakati sebagai landasan idiil dan landasan struktural Negara Kesatuan Republik Indonesia. Implikasiya secara hukum setiap bentuk perundang-undangan diharuskan lebih inklusif dan harus mengakomodasikan kepentingan umum masyarakat Indonesia. Inilah yang pada gilirannya akan melahirkan konflik ideologis antara Islam dan negara.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959, selain menetapkan Piagam Jakarta didalam konsiderans, juga menetapkan UUD 1945 dalam diktum (batang tubuh) ditetapkan dalam satu peraturan perundangan yang dinamakan Dekrit Presiden. Kedua-duanya mempunyai kekuatan hukum yang sama. Dengan demikian, Presiden Republik Indonesia berkeyakinan bahwa Piagam jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan rangkaian kesatuan dalam konstitusi tersebut, dan karena perbedaan Piagam jakarta dengan pembukaan UUD 1945 hanya terletak pada 7 kata, maka berarti bahwa ketujuh perkataan itulah yang menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam UUD 1945.
(Baca: Pengertian dan Macam-macam Alat Pembuktian Perdata)
A. Pengertian Hukum Perdata Islam di Indonesia
Hukum adalah : seperangkat peraturan-peraturan yang dibuat oleh yang berwenang (Negara) dengan tujuan mengatur tata kehidupan bermasyarakat, yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa, serta mengikat anggotanya, dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi mereka yang melanggarnya.
Hukum Perdata adalah : rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dan yang lainnya, dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan. Dalam terminologi Islam, istilah perdata ini sepadan dengan pengertian mu’amalah.
Hukum Perdata Islam : adalah peraturan yang dirumuskan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah laku mukallaf dalam hal perdata/mu’amalah yang diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi semua pemeluk Islam ( di Indonesia ).
Hukum Perdata adalah : rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dan yang lainnya, dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan. Dalam terminologi Islam, istilah perdata ini sepadan dengan pengertian mu’amalah.
Hukum Perdata Islam : adalah peraturan yang dirumuskan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah laku mukallaf dalam hal perdata/mu’amalah yang diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi semua pemeluk Islam ( di Indonesia ).
B. Produk Hukum Perdata Islam
Sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 telah terjadi silang pendapat perihal ideologi yang hendak dianut oleh Negara Indonesia. Mula-mula Badan Penyidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang beranggotakan 62 orang memang memperjuangkan dibentuknya negara islam. Namun dari jumlah itu hanya 15 anggota yang mewakili kelompok nasionalis islami menyetujui dasar negara islam, sedang suara terbanyak (45 suara) memilih dasar negara kebangsaan.[1]
Setelah itu panitia 9 dari BPUPKI berhasil mencapai kompromi yang terkenal dengan piagam jakarta, yang isinya natara lain, “ Ketuhanan Yang Maha esa, dengan mewajibkan menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Dengan tercantumnya 7 kata dalam piagam jakarta itu sama sekali tidak berarti bahwa negara islam telah terbentuk. Oleh karena itu gagasan dasar negara islam telah ditolak namun 7 kata itu dapat diartikan bahwa hukum islam berlaku bagi pemeluk-pemeluk islam sebagai halnya politik hukum Hindia Belanda sebelum tahun 1929.
Dengan disepakatinya Pancasila dan UUD 1945 sebagai ideologi Negara, kemudian disepakati sebagai landasan idiil dan landasan struktural Negara Kesatuan Republik Indonesia. Implikasiya secara hukum setiap bentuk perundang-undangan diharuskan lebih inklusif dan harus mengakomodasikan kepentingan umum masyarakat Indonesia. Inilah yang pada gilirannya akan melahirkan konflik ideologis antara Islam dan negara.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959, selain menetapkan Piagam Jakarta didalam konsiderans, juga menetapkan UUD 1945 dalam diktum (batang tubuh) ditetapkan dalam satu peraturan perundangan yang dinamakan Dekrit Presiden. Kedua-duanya mempunyai kekuatan hukum yang sama. Dengan demikian, Presiden Republik Indonesia berkeyakinan bahwa Piagam jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan rangkaian kesatuan dalam konstitusi tersebut, dan karena perbedaan Piagam jakarta dengan pembukaan UUD 1945 hanya terletak pada 7 kata, maka berarti bahwa ketujuh perkataan itulah yang menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam UUD 1945.
Kata “menjiwai” secara negatif dapat diartikan bahwa tidak boleh dibuat peraturan perundangan dalam negara RI yang bertentangan dengan syariat islam bagi pemeluk pemeluknya. Dan secara positif berarti bahwa pemeluk islam wajib menjalankan syariat islam, untuk itu harus dibuat undang-undang yang memperlakukan hukum islam dalam hukum nasional. Pendapat ini sesuai dengan keterangan Perdana Menteri Juanda pada tahun 1959.
“Pengakuan terhadap Piagam Jakarta sebagai dokumen-historis bagi UUD 1945. Jadi, pengakuan tersebut tidak mengenai pembukaan UUD 1945 saja; selanjutnya ia harus menjadi dasar bagi kehidupan hukum dibidang keagamaan”.[2]
Politik hukum ini terlihat pula pada TAP MPRS No. II Tahun 1960, yang menyatakan bahwa penyempurnaan hukum perkawinan dan hukum waris hendaknya juga memperhatikan faktor-faktor agama. Sampai dengan tanggal 27 Maret 1968 TAP MPRS No II Tahun 1960 tidak lagi berlaku, tidak satupun muncul undang-undang dalam bidang hukum perkawinan dan hukum waris walaupun Lembaga Pembinaan Hukum Nasional relah menyiapkan RUU Peraturan Pelengkap Pencatat Perkawinan, RUU Hukum Perkawinan dan RUU Hukum Waris. Sebaliknya dalam bidang Jurisprudensi, dengan keputuan Mahkamah Agung, sejak tahun 1959 di ciptakan beberapa keputusan dalam bidang hukum waris nasional menurut sistem bilateral secara judge made law. Disini terlihat bahwa bidang hukum waris nasional yang bilateral lebih mendekati hukum islam daripada hukum adat.
Terhitung sejak tahun 1970-an sampai sekarang arah dinamika hukum Islam dan proses transformasi hukum Islam telah berjalan sinergis searah dengan dinamika politik di Indonesia. Tiga fase hubungan antara Islam dan negara pada masa Orde baru yakni fase antagonistik yang bernuansa konflik, fase resiprokal kritis yang bernuansa strukturalisasi Islam, dan fase akomodatif yang bernuansa harmonisasi Islam dan negara, telah membuka pintu lebar bagi islamisasi pranata sosial, budaya, politik dan hukum Islam di Indonesia.
Berkenaan dengan itu, maka konsep pengembangan hukum Islam yang secara kuantitatif begitu mempengaruhi tatanan sosial-budaya, politik dan hukum dalam masyarakat. Kemudian diubah arahnya yakni secar kualifatif diakomodasikan dalam berbagai perangkat aturan dan perundang-undangan yang dilegislasikan oleh lembaga pemerintah dan negara. Konkretisasi dari pandangan ini selanjutnya disebut sebagai usaha transformasi (taqnin) hukum Islam ke dalam bentuk perundang-undangan.
Sampai saat ini, kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum di Indonesia semakin memperoleh pengakuan yuridis. Pengakuan berlakunya hukum Islam dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan yang berimplikasi kepada adanya pranata-pranata sosial, budaya, politik dan hukum.
Abdul Ghani Abdullah mengemukakan bahwa berlakunya hukum Islam di Indonesia telah mendapat tempat konstitusional yang berdasar pada tiga alasan, yaitu: Pertama, alasan filosofis, ajaran Islam rnerupakan pandangan hidup, cita moral dan cita hukum mayoritas muslim di Indonesia, dan mi mempunyai peran penting bagi terciptanya norma fundamental negara Pancasila); Kedua, alasan Sosiologis. Perkembangan sejarah masyarakat Islam Indonesia menunjukan bahwa cita hukum dan kesadaran hukum bersendikan ajaran Islam memiliki tingkat aktualitas yang berkesiambungan; dan Ketiga, alasan Yuridis yang tertuang dalam pasal 24, 25 dan 29 UUD 1945 memberi tempat bagi keberlakuan hukum Islam secara yuridis formal.[3]
Dalam kenyataan lebih konkret, terdapat beberapa produk peraturan perundang-undangan yang secara formil maupun material tegas memiliki muatan yuridis hukum Islam, antara lain:
UU No. 1/1974 tentang Hukum Perkawinan
Politik memberlakukan hukum islam bagi pemeluknya
Setelah itu panitia 9 dari BPUPKI berhasil mencapai kompromi yang terkenal dengan piagam jakarta, yang isinya natara lain, “ Ketuhanan Yang Maha esa, dengan mewajibkan menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Dengan tercantumnya 7 kata dalam piagam jakarta itu sama sekali tidak berarti bahwa negara islam telah terbentuk. Oleh karena itu gagasan dasar negara islam telah ditolak namun 7 kata itu dapat diartikan bahwa hukum islam berlaku bagi pemeluk-pemeluk islam sebagai halnya politik hukum Hindia Belanda sebelum tahun 1929.
Dengan disepakatinya Pancasila dan UUD 1945 sebagai ideologi Negara, kemudian disepakati sebagai landasan idiil dan landasan struktural Negara Kesatuan Republik Indonesia. Implikasiya secara hukum setiap bentuk perundang-undangan diharuskan lebih inklusif dan harus mengakomodasikan kepentingan umum masyarakat Indonesia. Inilah yang pada gilirannya akan melahirkan konflik ideologis antara Islam dan negara.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959, selain menetapkan Piagam Jakarta didalam konsiderans, juga menetapkan UUD 1945 dalam diktum (batang tubuh) ditetapkan dalam satu peraturan perundangan yang dinamakan Dekrit Presiden. Kedua-duanya mempunyai kekuatan hukum yang sama. Dengan demikian, Presiden Republik Indonesia berkeyakinan bahwa Piagam jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan rangkaian kesatuan dalam konstitusi tersebut, dan karena perbedaan Piagam jakarta dengan pembukaan UUD 1945 hanya terletak pada 7 kata, maka berarti bahwa ketujuh perkataan itulah yang menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam UUD 1945.
Kata “menjiwai” secara negatif dapat diartikan bahwa tidak boleh dibuat peraturan perundangan dalam negara RI yang bertentangan dengan syariat islam bagi pemeluk pemeluknya. Dan secara positif berarti bahwa pemeluk islam wajib menjalankan syariat islam, untuk itu harus dibuat undang-undang yang memperlakukan hukum islam dalam hukum nasional. Pendapat ini sesuai dengan keterangan Perdana Menteri Juanda pada tahun 1959.
“Pengakuan terhadap Piagam Jakarta sebagai dokumen-historis bagi UUD 1945. Jadi, pengakuan tersebut tidak mengenai pembukaan UUD 1945 saja; selanjutnya ia harus menjadi dasar bagi kehidupan hukum dibidang keagamaan”.[2]
Politik hukum ini terlihat pula pada TAP MPRS No. II Tahun 1960, yang menyatakan bahwa penyempurnaan hukum perkawinan dan hukum waris hendaknya juga memperhatikan faktor-faktor agama. Sampai dengan tanggal 27 Maret 1968 TAP MPRS No II Tahun 1960 tidak lagi berlaku, tidak satupun muncul undang-undang dalam bidang hukum perkawinan dan hukum waris walaupun Lembaga Pembinaan Hukum Nasional relah menyiapkan RUU Peraturan Pelengkap Pencatat Perkawinan, RUU Hukum Perkawinan dan RUU Hukum Waris. Sebaliknya dalam bidang Jurisprudensi, dengan keputuan Mahkamah Agung, sejak tahun 1959 di ciptakan beberapa keputusan dalam bidang hukum waris nasional menurut sistem bilateral secara judge made law. Disini terlihat bahwa bidang hukum waris nasional yang bilateral lebih mendekati hukum islam daripada hukum adat.
Terhitung sejak tahun 1970-an sampai sekarang arah dinamika hukum Islam dan proses transformasi hukum Islam telah berjalan sinergis searah dengan dinamika politik di Indonesia. Tiga fase hubungan antara Islam dan negara pada masa Orde baru yakni fase antagonistik yang bernuansa konflik, fase resiprokal kritis yang bernuansa strukturalisasi Islam, dan fase akomodatif yang bernuansa harmonisasi Islam dan negara, telah membuka pintu lebar bagi islamisasi pranata sosial, budaya, politik dan hukum Islam di Indonesia.
Berkenaan dengan itu, maka konsep pengembangan hukum Islam yang secara kuantitatif begitu mempengaruhi tatanan sosial-budaya, politik dan hukum dalam masyarakat. Kemudian diubah arahnya yakni secar kualifatif diakomodasikan dalam berbagai perangkat aturan dan perundang-undangan yang dilegislasikan oleh lembaga pemerintah dan negara. Konkretisasi dari pandangan ini selanjutnya disebut sebagai usaha transformasi (taqnin) hukum Islam ke dalam bentuk perundang-undangan.
Sampai saat ini, kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum di Indonesia semakin memperoleh pengakuan yuridis. Pengakuan berlakunya hukum Islam dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan yang berimplikasi kepada adanya pranata-pranata sosial, budaya, politik dan hukum.
Abdul Ghani Abdullah mengemukakan bahwa berlakunya hukum Islam di Indonesia telah mendapat tempat konstitusional yang berdasar pada tiga alasan, yaitu: Pertama, alasan filosofis, ajaran Islam rnerupakan pandangan hidup, cita moral dan cita hukum mayoritas muslim di Indonesia, dan mi mempunyai peran penting bagi terciptanya norma fundamental negara Pancasila); Kedua, alasan Sosiologis. Perkembangan sejarah masyarakat Islam Indonesia menunjukan bahwa cita hukum dan kesadaran hukum bersendikan ajaran Islam memiliki tingkat aktualitas yang berkesiambungan; dan Ketiga, alasan Yuridis yang tertuang dalam pasal 24, 25 dan 29 UUD 1945 memberi tempat bagi keberlakuan hukum Islam secara yuridis formal.[3]
Dalam kenyataan lebih konkret, terdapat beberapa produk peraturan perundang-undangan yang secara formil maupun material tegas memiliki muatan yuridis hukum Islam, antara lain:
UU No. 1/1974 tentang Hukum Perkawinan
Politik memberlakukan hukum islam bagi pemeluknya
- UU No. 7/ 1989 tentang Peradilan Agarna (Kini UU No. 3,72006)
- UU No. 7/1992 tentang Perbankan Syari’ah (Kini UU No. 10/1998)
- UU No. 17/1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji
- UU No. 38/ 1000 tentang Pangelo!aan Zakat, Infak dan Shadaqah (ZTS)
- UU No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus Nangroe Aceh Darussalam
- UU Politik Tahun 1999 yang mengatur ketentuan partai Islam
- UU No. 4 1/2004 tentang wakaf
Di samping tingkatannya yang berupa Undang-undang, juga terdapat peraturan-peraturan lain yang berada di bawah Undang-undang, antara lain:
- PP No.9/1975 tentang Petunjuk Pelaksanaan UU Hukum Perkawinan
- PP No.28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik
- PP No.72/1992 tentang Penyelenggaraan Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil
- Inpres No.1/ 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
- Inpres No.4/2000 tentang Penanganan Masalah Otonomi Khusus di NAD
Dan sekian banyak produk perundang-undangan yang memuat materi hukum Islam, peristiwa paling fenomenal adalah disahkannya UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama. Betapa tidak, Peradilan Agama sesungguhnya telah lama dikenal sejak masa penjajahan (Mahkamah Syar’iyyah) hingga masa kemerdekaan, mulai Orde Lama hingga Orde Baru, baru kurun waktu akhir 1980-an UUPA No.7/1980 dapat disahkan sehagai undang-undang. Padahal UU No.14/1970 dalam pasal 10-12 dengan tegas mengakui kedudukan Peradilan Agama berikut eksistensi dan kewenangannya.
Keberadaan UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama dan Inpres No.1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam sekaligus merupakan landasan yuridis bagi umat Islam untuk menyelesaikan masalah-masalah perdata. Padahal perjuangan umat Islam dalam waktu 45 tahun sejak masa Orde lama dan 15 tahun sejak masa Orde Baru, adalah perjuangan panjang yang menuntut kesabaran dan kerja keras hingga disahkannya UU No.7/1989 pada tanggal 29 Desember 1989.
Sejalan dengan perubahan iklim politik dan demokratisasi di awal :ahun 1980-an sampai sekarang, tampak isyarat positif bagi kemajuan pengernbangan hukum Islam dalam seluruh dimensi kehidupan masyarakat. Pendekatan struktural dan harmoni dalam proses islamisasi pranata sosial, budaya, politik, ekonomi dan hukum, semakin membuka pintu lebar-lebar bagi upaya transformasi hukum Islam dalam sistem hukum nasional. Tinggal bagaimana posisi politik umat Islam tidak redup dan kehilangan arah, agar ia tetap eksis dan memainkan peran lebih besar dalam membesarkan dan kemajukan Indonesia baru yang adil dan sejahtera.
Kehadiran ICMI pada awal tahun 1990-an sesungguhnya merupakan rea1itas sosial dan politik yang tidak dapat dihindari. Di mana peran besar yang ditampilkan oleh elite politik Islam di lingkungan birokrasi, serta peran tokoh-tokoh Islam yang aktif dalani berbagai organisasi kemasyarakatan Islam, dipandang sangat penting terutama dalam merespon kehendak umat Islam secara kolektif. Dengan kata lain, adanya berbagai produk perundang-undangan dan peraturan berdasarkan hukum Islam, bukan perkara yang mudah, seperti membalikkan kedua telapak tangan, tetapi semua itu telah dilakukan melalui proses politik dalam rentang sejarah yang cukup lama.
(Baca juga: Pengertian, Dasar Hukum dan Teori Pembuktian Perdata)
C. Kekuatan dan Kemajuan Hukum Perdata Islam
Hukum Islam di Indonesia mengalami perkembangan yang dinamis dan berkesinambungan baik itu melalui seluler infrastruktur politik maupun suprastruktur seiringan realitas, tuntutan dan dukungan secara kehendak bagi upaya transformasi hukum Islam kedalam sistem hukum Nasional.
Hukum Islam di Indonesia, sesungguhnya adalah hukum yang hidup, berkembang, dikenal dan sebagiannya ditaati oleh umat Islam di negara ini. Bagaimanakah keberlakuan hukum Islam itu? Kalau kita melihat kepada hukum-hukum di bidang perubadatan, maka praktis hukum Islam itu berlaku tanpa perlu mengangkatnya menjadi kaidah hukum positif, seperti diformalkan ke dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Bagaimana hukum Islam mengatur tatacara menjalankan solat lima waktu, berpuasa dan sejenisnya tidak memerlukan kaidah hukum positif. Bahwa solat lima waktu itu wajib fardhu ‘ain menurut hukum Islam, bukanlah urusan negara. Negara tidak dapat mengintervensi, dan juga melakukan tawar menawar agar solat lima waktu menjadi sunnah mu’akad misalnya. Hukum Islam di bidang ini langsung saja berlaku tanpa dapat diintervensi oleh kekuasaan negara. Apa yang diperlukan adalah aturan yang dapat memberikan keleluasaan kepada umat Islam untuk menjalankan hukum-hukum peribadatan itu, atau paling jauh adalah aspek-aspek hukum administrasi negara untuk memudahkan pelaksanaan dari suatu kaidah hukum Islam.
Adapun hal-hal yang terkait dengan hukum perdata seperti hukum perkawinan dan kewarisan, negara kita menghormati adanya pluralitas hukum bagi rakyatnya yang majemuk, sejalan dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Bidang hukum perkawinan dan kewarisan termasuk bidang hukum yang sensitif, yang keterkaitannya dengan agama dan adat suatu masyarakat. Oleh sebab itu, hukum perkawinan Islam dan hukum kewarisan diakui secara langsung berlaku, dengan cara ditunjuk oleh undang-undang. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 misalnya, secara tegas menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing dan kepercayaannya itu. Di sini bermakna, keabsahan perkawinan bagi seorang Muslim/Muslimah adalah jika sah menurut hukum Islam, sebagai hukum yang hidup di dalam masyarakat. Sebagaimana halnya di zaman VOC telah ada Compendium Frijer, maka pada masa Orde Baru juga telah dirumuskan Kompilasi Hukum Islam, walau dasar keberlakuannya hanya didasarkan atas Instruksi Presiden.
Bukti sejarah produk islam sejak masa penjajahan hingga masa kemerdekaan dan masa reformasi merupakan fakta yang tidak pernah dapat di gugat kebenarannya. Bukti lain adalah;
Hukum Islam di Indonesia, sesungguhnya adalah hukum yang hidup, berkembang, dikenal dan sebagiannya ditaati oleh umat Islam di negara ini. Bagaimanakah keberlakuan hukum Islam itu? Kalau kita melihat kepada hukum-hukum di bidang perubadatan, maka praktis hukum Islam itu berlaku tanpa perlu mengangkatnya menjadi kaidah hukum positif, seperti diformalkan ke dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Bagaimana hukum Islam mengatur tatacara menjalankan solat lima waktu, berpuasa dan sejenisnya tidak memerlukan kaidah hukum positif. Bahwa solat lima waktu itu wajib fardhu ‘ain menurut hukum Islam, bukanlah urusan negara. Negara tidak dapat mengintervensi, dan juga melakukan tawar menawar agar solat lima waktu menjadi sunnah mu’akad misalnya. Hukum Islam di bidang ini langsung saja berlaku tanpa dapat diintervensi oleh kekuasaan negara. Apa yang diperlukan adalah aturan yang dapat memberikan keleluasaan kepada umat Islam untuk menjalankan hukum-hukum peribadatan itu, atau paling jauh adalah aspek-aspek hukum administrasi negara untuk memudahkan pelaksanaan dari suatu kaidah hukum Islam.
Adapun hal-hal yang terkait dengan hukum perdata seperti hukum perkawinan dan kewarisan, negara kita menghormati adanya pluralitas hukum bagi rakyatnya yang majemuk, sejalan dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Bidang hukum perkawinan dan kewarisan termasuk bidang hukum yang sensitif, yang keterkaitannya dengan agama dan adat suatu masyarakat. Oleh sebab itu, hukum perkawinan Islam dan hukum kewarisan diakui secara langsung berlaku, dengan cara ditunjuk oleh undang-undang. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 misalnya, secara tegas menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing dan kepercayaannya itu. Di sini bermakna, keabsahan perkawinan bagi seorang Muslim/Muslimah adalah jika sah menurut hukum Islam, sebagai hukum yang hidup di dalam masyarakat. Sebagaimana halnya di zaman VOC telah ada Compendium Frijer, maka pada masa Orde Baru juga telah dirumuskan Kompilasi Hukum Islam, walau dasar keberlakuannya hanya didasarkan atas Instruksi Presiden.
Bukti sejarah produk islam sejak masa penjajahan hingga masa kemerdekaan dan masa reformasi merupakan fakta yang tidak pernah dapat di gugat kebenarannya. Bukti lain adalah;
- Inpres no.01 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
- UU no.14 Tahun 1970 Pengadilan Agama.
- UU no.41 Tahun 2004 tentang wakaf
Kesimpulan
Hukum Islam di Indonesia, sesungguhnya adalah hukum yang hidup, berkembang, dikenal dan sebagiannya ditaati oleh umat Islam di negara ini. Bagaimanakah keberlakuan hukum Islam itu? Kalau kita melihat kepada hukum-hukum di bidang perubadatan, maka praktis hukum Islam itu berlaku tanpa perlu mengangkatnya menjadi kaidah hukum positif, seperti diformalkan ke dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Bagaimana hukum Islam mengatur tatacara menjalankan solat lima waktu, berpuasa dan sejenisnya tidak memerlukan kaidah hukum positif. Bahwa solat lima waktu itu wajib fardhu ‘ain menurut hukum Islam, bukanlah urusan negara. Negara tidak dapat mengintervensi, dan juga melakukan tawar menawar agar solat lima waktu menjadi sunnah mu’akad misalnya. Hukum Islam di bidang ini langsung saja berlaku tanpa dapat diintervensi oleh kekuasaan negara. Apa yang diperlukan adalah aturan yang dapat memberikan keleluasaan kepada umat Islam untuk menjalankan hukum-hukum peribadatan itu, atau paling jauh adalah aspek-aspek hukum administrasi negara untuk memudahkan pelaksanaan dari suatu kaidah hukum Islam.
(Baca juga: Fiqh Jinayah; Narkoba dalam Perspektif Agama Islam)
(Baca juga: Fiqh Jinayah; Narkoba dalam Perspektif Agama Islam)
DAFTAR PUSTAKA
Amak F.Z., Proses Undang-undang Perkawinan, Bandung: Al-Ma’arif. 1976. Fuad, Mahsuh, Hukum
Islam Indonesia; Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansiatoris, Yogyakarta: LKis, 2005.
Haim dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta: PT aja Grafindo, 2014.
Hamid S. Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan
Pemenntah Negara: Suatu Anaiisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam
Kurun Waku Pelita 1-Pelita IV”, Jakarta: UI, 1990.
Manah, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2008.
Masoed, Mochtar, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, Jakarta: LP3ES
Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2010.
[1] Amak F.Z., Proses Undang-undang Perkawinan, (Bandung: Al-Ma’arif. 1976). hIm. 35-48
[2] A. Hamid S. Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemenntah Negara: Suatu Anaiisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waku Pelita 1-Pelita IV”, Jakarta: UI, 1990, him. 120-135.
[1] Amak F.Z., Proses Undang-undang Perkawinan, (Bandung: Al-Ma’arif. 1976). hIm. 35-48
[2] A. Hamid S. Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemenntah Negara: Suatu Anaiisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waku Pelita 1-Pelita IV”, Jakarta: UI, 1990, him. 120-135.
[3] Mochtar Masoed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, (Jakarta: LP3ES), hlm. 47-53.
Post a Comment
Silahkan di Share kalau dianggap bermanfaat