0
unsur jarimah al-baghyu, hukum jarimah al-baghyu dan pengertian jarimah al-baghyu
Fiqh Jinayah: Pengertian, Unsur dan Hukum Jarimah al-Baghyu (Pemberontakan) - Hukum bunuh bagi pemberontak (Hukum Jarimah al-Baghyu) dipahami oleh sebagian ulama sebagai serangan balik dan hanya ditujukan untuk mematahkan pemberontak guna mengembalikan ketaatannya kepada penguasa yang sah. Memerangi pemberontak hukumnya adalah wajib karena menegakkan hukum Allah.

Para pemberontak atau Hukum al-Baghyu merupakan kelompok jahat karena berupaya melakukan kerusakan di muka bumi. Mereka meresahkan masyarakat, merusak keamanan dan ketentraman negara, dan menimbulkan fitnah ditengah-tengah masyarakat. Islam memerintahkan pemerintah yang sah untuk mengajak dan berunding supaya mereka kembali bergabung dengan mayoritas orang islam atau mayoritas warga negara. Apabila tidak bersedia bergabung, maka pemerintah harus memerangi mereka sampai mereka sadar dan bergabung dengan pemerintahan yang didukung oleh mayoritas warga negara muslim.

Apabila ada perintah dari pemerintah untuk memerangi kaum pemberontak atau al-Baghyu, maka setiap muslim yang mampu wajib melaksanakan perintah tersebut, karena taat kepada permerintah pada hal-hal yang bukan maksiat hukumnya adalah wajib.
Rumusan Masalah
Bagaimana pengertian tentang jarimah al-baghyu, unsur-unsur, hukuman terhadap pemberontak, dan Pertanggung Jawaban Pidana dan Perdatanya.
Tujuan Penulisan Agar mahasiswa mampu mengetahui pengertian tentang jarimah al-baghyu, unsur-unsur, hukuman terhadap pemberontak dan pertanggung jawaban perdata pidananya,

 

Pengertian Al-Baghyu

Secara etimologis, al-baghyu berasal dari kata بغى – يبغي – بغيا yang berarti menuntut sesuatu. Kalau ada kalimat بغى على الناس بغيا artinya ظلم واعتدى berbuat zalim dan menganiaya. Pelakunya disebut باغ yang bentuk jamaknya adalah بغاة. Kata بغى juga berarti تكبر sombong, takabbur. Dikatakan demikian karena pelaku jarimah bersikap takabbur dengan melampaui batas dalam menuntut sesuatu yang bukan haknya. Hal ini disinggung dalam firman Allah berikut :

وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٱقۡتَتَلُواْ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَهُمَاۖ فَإِنۢ بَغَتۡ إِحۡدَىٰهُمَا عَلَى ٱلۡأُخۡرَىٰ فَقَٰتِلُواْ ٱلَّتِي تَبۡغِي حَتَّىٰ تَفِيٓءَ إِلَىٰٓ أَمۡرِ ٱللَّهِۚ فَإِن فَآءَتۡ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَهُمَا بِٱلۡعَدۡلِ وَأَقۡسِطُوٓاْۖ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ ٩

“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya. Akan tetapi, kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau ia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Hujurat (49):9)[1]

Al-baghyu (pemberontakan) sering diartikan sebagai keluarnya seseorang dari ketaatan kepada imam yang sah tanpa alasan.[2]

Pengertian secara terminologis, al-baghyu adalah usaha melawan suatu pemerintahan yang sah secara nyata, baik dengan mengangkat senjata atau tidak mengindahkan ketentuan yang digariskan pemerintah. Asy-Syafi’i, seperti dikutip H.A.Dzajuli, mengatakan, pemberontak adalah orang muslim yang menyalahi iman, dengan cara tidak menaatinya dan melepaskan diri dari iman, menolak kewajiban, yang memiliki kekuatan, argumentasi dan pimpinan.[3]

Unsur-unsur Jarimah Al-Baghyu

Dalam tindak pidana pemberontakan terdapat tiga rukun penting, yaitu :

a. Memberontak terhadap pemimpin negara yang sah dan berdaulat

Maksudnya adalah upaya untuk memberhentikan pemimpin negara dan jabatannya. Para pemberontak tidak mau mematuhi undang-undang yang sah dan tidak mau menunaikan kewajiban mereka sebagai warga negara.

Namun demikian, para ulama fiqh menyatakan bahwa pemberontakan yang munul karena pemerintah mengarahkan warganya untuk berbuat maksiat tidak dapat dinamakan al-baghyu. Alasan ulama adalah sabda Rasulullah SAW berikut :

عن ابن عمررضي الله عنهماعن النبي صلى الله عليه وسل قال السمع والطا عة حق مالم يؤمربالمعصية فإذا أمربمعصية فلا سمع ولاطا عة

Dari Umar RA dari Nabi SAW beliau bersabda,”Mendengar dan menaati pemimpin hukumnya haq (wajib) selama tidak memerintahkan kemaksiatan. Jika diperintah untuk melakukan kemaksiatan, tidak wajib mendengar dan menaati”. (HR. Al-Bukhari)[4].

b. Dilakukan secara demonstratif

Maksudnya adalah di dukung oleh kekuatan bersenjata. Oleh sebab itu menurut ulama fiqh, sikap sekadar menolak kepala negara yang telah diangkat secara aklamasi, tidak dinamakan al-baghyu. Misalnya, sikap Ali bin Abi Thalib yang tidak mau membaiat Abu Bakar atau sikap Ibnu Umar dan Abdullah bin Zubair yang tidak mengakui keabsahan pemerintahan Yazid bin Mu’awiyah. Sikap mereka tidak termasuk al-baghyu karena sikap mereka tidak demonstratif.

Contoh lain adalah golongan khawarij yang ada pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Mengenai hal ini, Imam Al-Syafi’i mengatakan, “sesungguhnya sekelompok orang yang menampakkan sikap seperti kaum Khawarij dengan memisahkan diri dari jama’ah, bahkan menganggap jama’ah tersebut kafir, tidak menyebabkan diperbolehkannya memerangi kelompok ini sebab mereka masih berada dibawah perlindungan Iman. Hal tersebut tidak menjadikan mereka berubah status menjadi (murtad) yang Allah SAW perintahkan untuk diperangi.[5]

c. Termasuk perbuatan pidana

Maksudnya adalah usaha untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dan berdaulat dengan cara mengacau ketertiban umum. Apabila tindakan pelaku itu tidak menjurus pada penggulingan pemerintahan dan tidak pula melakukan tindak pidana (seprerti mebunuh, merampas, memperkosa, dan merampok), maka ulama fiqh menyatakan bahwa itu tidak termasuk al-baghyu.[6]

 

Hukuman Terhadap Pemberontak

Suatu gerakan anti pemerintah dinyatakan pemberontak dan harus dihukum sebagaimana yang ditetapkan pada garis hukum.[7] Yaitu pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi adalah dibunuh atau disalib (dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik) atau dibuang dari negeri tempat kediamaannya. Sanksi hukum tersebut sebagai suatu penghinaan untuk mereka di dunia dan di akhirat memperoleh siksaan yang besar.

Penerapan hukum dimaksud akan dilaksanakan bila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
  1. Pemegang kekuasaan yang sah bersikap adil dalam menetapkan kebijakan.[8]
  2. Pemberontak merupakan suatu kelompok yang memiliki kekuatan.
  3. Dari gerakan tersebut diperoleh bukti-bukti kuat yang menunjukkan sebagai gerakan untuk memberontak guna menggulingkan pemerintahan yang sah. Jika tidak gerakan tersebut dikategorikan sebagai pengacau keamanan atau perampok.
  4. Gerakan tersebut mempunyai sistem kepemimpinan, karena tanpa ada seorang pemimpin tidak mungkin kekuatan akan terwujud.

 

Pertanggung Jawaban Pidana dan Perdata Pelaku Jarimah Al-Bghyu

Pemisahan pertanggungjawaban pidana dan perdata bagi pelaku tindak pidana al-baghyu berkaitan dengan waktu terjadinya jarimah ini,[9] yaitu sebelum serta sesudah terjadi pemberontakan dan pada saat terjadi pemberontakan.

a. Pertanggungjawaban sebelum dan sesudah terjadinya pemberontakan

Suluruh tindakan pemberontakan yang bersifat pidana dan perdata yang mereka lakukan sebelum dan sesudah pemberontakan wajib mereka pertanggungjawabkan. Apabila mereka melakukan pembunuhan, pencurian dan pemerkosaan mereka harus dikenakan sanksi pidana sesuai dengan jarimah yang mereka lakukan.

b. Pertanggungjawaban pada saat terjadi pemberontakan

Ulama’ mazhab 4 bersepakat bahwa pemberontakan yang memiliki argumentasi yang kuat, tidak berkewajiban mengganti harta dan jiwa yang terbunuh ketika terjadi kontak senjata.
Kesimpulan Jarimah al-Baghyu
Al-Baghyu adalah jenis pemberontakan yang sering diartikan keluarnya seseorang atau kelompok dari ketaatan kepada imam yang sah tanpa alasan. Artinya pemerintah yang sah dilantik adalah pemerintah yang amar ma’ruf kemudian diancam oleh seorang atau kelompok yang tidak sepaham dengan pemerintah menggunakan jalan kekerasan, maka itu hukumnya wajib diperangi. Seperti yang diterangkan dalam Hadits :

عن فجة قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسل يقول من أتاكم وأمركم جميع على رجل واحد يريد أن يفرق جما عتكم فا قتلوه

Dari Fujrah bin Suraih, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah bersabda,’barangsiapa yang menyarang kalian, padahal kalian berada dalam sebuah kesepakatan, sedangkan orang tersebut mengacaukan persatuan kalian maka bunuhlah ia.’”(HR. Muslim)

Namun pemerintah sebelum memutuskan untuk perang, sebelumnya pemerintah hendaknya menyuruh mereka (pemberontak) untuk kembali kejalan pemerintahan yang sah atau memenjarakan mereka terlebih dahulu sampai ia bertaubat. Jika memang pemberontak itu tidak mau bertaubat dan ingin melalui jalan kekerasan maka perang adalah jalan satu-satunya.
Demikianlah makalah yang berjudul Fiqh Jinayah: Pengertian, Unsur dan Hukum Jarimah al-Baghyu (Pemberontakan) dapat kami sajikan. Sekali lagi jika ada kekurangan atau salah dalam perkataan kami penulis minta maaf. Kami harap ada kritik dan saran dari sahabat sekalian untuk modal semangat kami dalam belajar. Sehingga nantinya kami bisa menampilkan yang lebih baik dari sebelumnya. Terimakasih. Wassalamualaikum wr. w.

Penulis makalah Fiqh Jinayah:

  1. Miftakhul Munir
  2. Umi Habibah


DAFTAR PUSTAKA
  • Zainuddin, Ali, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
  • Rahmat, Hakim, hukum pidana islam (fiqh jinayah), Bandung; Pustaka setia, 2000.
  • Nurul, Irvan. Masyrofah, Fiqh Jinayah, jakarta: Amzah, 2013.
  • Makhrus, Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, Yogyakarta: Teras, 2009.

  1. Nurul Irvan, Masyrofah. Fiqh Jinayah, jakarta: Amzah, 2013, hlm 59
  2. Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, Yogyakarta: Teras, 2009, hlm 158
  3. Rahmat hakim, hukum pidana islam (fiqh jinayah), Bandung; Pustaka setia, 2000, hal. 108
  4. Nurul Irvan, op cit, hlm 62
  5. Nurul Irvan, Masyrofah. Fiqh Jinayah, jakarta: Amzah, 2013, hlm 68
  6. Nurul Irvan, Masyrofah, ibid, hlm 71
  7. Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hlm 76
  8. Ibid, hlm 76
  9. Op cit, hlm 73

Post a Comment

Silahkan di Share kalau dianggap bermanfaat

 
Top