0

Peranan filsafat dalam kehidupan manusia
A. Pengetahuan Dan Teknologi Dewasa Ini

Pengaruh Pemikiran Filsafat Terhadap Pola Pikir Dan Pola Hidup Manusia di Era Globalisasi - Ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dimanfaatkan oleh manusia secara positif-konstruktif maupun secara negatif-destruktif tergantung kepada moral dan mental manusia yang berperan sebagai pencipta, pengembang, dan penggunanya. ilmu pengetahuan dan teknologi selalu terkait dengan pemilik dan pemakainya yakni manusia yang seringkali tidak mampu untuk mengendalikan nafsu serakahnya sendiri dalam artian moral.Manusia dalam kehidupannya sangat tergantung dan berhutang budi kepada ilmu pengetahuan dan teknologi.[1]

Merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa peradaban manusia yang berkembang dari peradaban sederhana menuju ke peradaban yang sangat maju dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berkat kemajuan pada kedua bidang inilah, maka manusia menjadi sangat dimudahkan dalam menjalankan kehidupannya. Ilmu pengetahuan dan teknologi telah membantu manusia untuk memenuhi segala kebutuhannya secara lebih cepat dan lebih mudah.

Umat manusia, misalnya, dimudahkan karena ditemukannya alat-alat kedokteran yang canggih sehingga penyakit kita lebih mudah dideteksi dan usia harapan hidup menjadi semakin panjang, alat-alat transportasi yang lebih cepat dan aman, alat-alat komunikasi yang begitu sophisticated yang membuat dunia terasa semakin sempit. Manusia juga dimudahkan untuk memanfaatkan segala sumber daya alam untuk mencapai kesejahteraan hidupnya.

B. Peran Filsafat secara Umum: Masalah-masalah yang Dihadapi Filsafat

Sejak kelahirannya sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan lebih kurang abad ke-6 sebelum masehi sampai dengan perkembangannya dewasa ini, filsafat selalu saja berhadapan dengan masalah-masalah mendasar yang abadi dan tidak pernah terpecahkan dengan baik. Boleh dikatakan bahwa filsafat dihadapkan dengan masalah-masalah yang ituitu saja, masalah yang sama, akan tetapi manusia dengan akal dan pengalamannya belum atau tidak mampu untuk memberikan jawaban yang satu dan sama, melainkan berbeda atau bahkan bertentangan

Harry J Gesler, dengan bahasa yang lebih sederhana dan lebih terfokus kepada masalah-masalah moral, menjelaskan bahwa masalah-masalah yang seringkali dihadapi dalam filsafat dapat dilihat dalam beberapa pertanyaan berikut:
Apakah Tuhan ada? Apakah tindakan manusia bersifat bebas atau ditentukan? apakah manusia dapat dijelaskan dengan pengerian material? bagaimana manusia dapat mengetahui dan apa yang dapat manusia ketahui? apakah kodrat dan metodologi dalam keputusan moral? prinsip apa yang harus kita pegang dalam hidup?[2]
Dalam sejarah perkembangan filsafat, terlihat bahwa manusia memberikan jawaban yang beragam bahkan sering kali bertentangan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Masing-masing mendasarkan kepada keyakinan, pendekatan dan cara kerja yang dipandangan benar. Karena itu pula, maka dalam filsafat berkembang aliran yang beragam tergantung kepada keyakinan awal, pendekatan dan cara kerja tadi. Sebagian aliran sangat tergantung kepada penggunaan akal, sebagian lagi tergantung kepada pengalaman inderawi, sementara sebagian yang lainnya berusaha untuk menggabungkan keduanya. Atau ada pula yang sama sekali terlepas dari keduanya. Sehingga dalam sejarah dikenal adanya aliran-aliran Rasionalisme, Empirisme, Kritisisme, Pragmatisme,dan lain sebagainya.

C. Peran Filsafat Terhadap Pola Pikir dan Pola Hidup Manusia

Banyak orang yang sering kali mengeluarkan pendapat, bahkan dengan sedikit nada sinis, mempertanyakan apa fungsi atau perannya filsafat bagi keilmuan dan kehidupan. Pertanyaan itu merupakan pertanyaan yang wajar dan tidak salah. Karena selama seseorang belum mengenal filsafat (suatu cabang ilmu pengetahuan yang cenderung tidak terlalu aplikatif dan cenderung kepada kontemplasi atau perenungan kritis), maka ia tidak akan mungkin mampu untuk memahaminya dengan baik.

Irmayanti M Budianto pernah mencatat beberapa peran filsafat, baik dalam kehidupan maupun dalam bidang keilmuan:
Pertama, filsafat atau berfilsafat mengajak manusia bersikap arif dan berwawasan luas terdapat berbagai masalah yang dihadapinya, dan manusia diharapkan mampu untuk memecahkan masalah-masalah tersebut dengan cara mengidentifikasinya agar jawaban-jawaban dapat diperoleh dengan mudah.

Kedua, berfilsafat dapat membentuk pengalaman kehidupan seseorang secara lebih kreatif atas dasar pandangan hidup dan atau ide-ide yang muncul karena keinginannya.

Ketiga, Filsafat dapat membentuk sikap kritis seseorang dalam menghadapi permasalahan, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan lainnya (interaksi dengan masyarakat, komunitas, agama, dan lain-lain) secara lebih rasional, lebih arif, dan tidak terjebak dalam fanatisme yang berlebihan.
Keempat, terutama bagi para ilmuwan ataupun para mahasiswa dibutuhkan kemampuan untuk menganalisis, analisis kritis secara komprehensif dan sistematis atas berbagai permasalahan ilmiah yang dituangkan di dalam suatu riset, penelitian, ataupun kajian ilmiah lainnya. Dalam era globalisasi, ketika berbagai kajian lintas ilmu pengetahuan atau multidisiplin melanda dalam kegiatan ilmiah, diperlukan adanya suatu wadah, yaitu sikap kritis dalam menghadapi kemajemukan berpikir dari berbagai ilmu pengetahuan berikut para ilmuannya.[3]

Dalam pandangan Hamami dan Wibisono (1986: 126-27), filsafat melalui metode-metode pemikirannya tidak akan dapat langsung mempersembahkan programe-programme kebijakan yang manfaatnya dapat dinikmati secara praktis dan konkret sebagaimana halnya dengan ekonomi, teknik dan ilmu-ilmu terapan yang lainnya. Segi kelemahan filsafat, dalam arti sifat dan coraknya yang abstrak dengan lemparan analisis-analisis kritisnya yang sering tidak tersentuh oleh mereka yang telah terbiasa untuk berpikir secara praktis, merupakan salah satu sebab mengapa para ahli filsafat terisolir dan jarang diajak untuk berpartisipasi dalam penentuan strategi pembangunan, apalagi dalam pelaksanaan programme- programme kegiatan yang sudah bersifat teknis operasional.

Padahal keabstrakan dengan spekulasi-spekulasinya yang paling dalam justru membawa filsafat kepada kekuatan radikalnya. Dengan berpikir secara abstrak spekulatif dan mengambil jarak dari penggumulan masalah-masalah teknis praktis, filsafat justru dapat melihat sesuatu permasalahan dari semua dimensi, sehingga hal-hal yang belum tersentuh oleh ilmu-ilmu lain dapat pula dijadikan titik perhatiannya. Peranan filsafat adalah menunjukkan adanya perspektif yang lebih dalam dan luas, sehingga kehadirannya akan disertai dengan berbagai alternatif penyelesaian untuk ditawarkan mana yang paling sesuai dengan perubahan waktu dan keadaan.[4]

Apabila kita berbicara mengenai peran filsafat dalam menghadapi dekadensi moral. Filsafat mungkin hanya dapat menjelaskan sebab-sebab munculnya dekadensi moral, menjelaskan caracara mengatasi sebab-sebab tersebut, menerangkan cara-cara penanganan dekadensi moral. Sementara pelaksanaannya sendiri sangat tergantung kepada manusianya sendiri.

C. Dekadensi Moral Sebagai Pengaruh Negatif Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Perkembangan ilmu pengetahuan sering kali melupakan faktor manusianya, di mana bukan lagi teknologi yang berkembang seiring dengan perkembangan dan kebutuhan manusia, namun juga justru sebaliknya dimana manusialah akhirnya yang harus menyesuaikan diri dengan teknologi. Teknologi tidak lagi berfungsi sebagai sarana yang memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia melainkan dia berada untuk tujuan eksistensinya sendiri. Sesuatu yang terkadang harus dibayar mahal oleh manusia yang kehilangan sebagian arti dari kemanusiaannya. Manusia sering dihadapkan dengan situasi yang tidak bersifat manusiawi, terpenjara dalam kisi-kisi teknologi, yang merampas kemanusiaandan kebahagiaannya.[5]

Padahal ilmu pengetahuan dan teknologi sebenarnya bertujuan untuk mempermudah manusia dalam menjalani kehidupannya, namun kelihatannya yang terjadi malah berbeda. Manusia kesulitan untuk meletakkan ilmu pengetahuan dan teknologi pada jalur tujuannya dengan benar. Manusia kelihatan bukan lagi pemilik dan pengguna ilmu pengetahuan dan teknologi, tapi hamba dari keduanya. Dewasa ini, ilmu pengetahuan bahkan telah berada di ambang kemajuan yang mampu untuk mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri.

Ilmu pengetahuan bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan untuk mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan kata lain, ilmu pengetahuan bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia untuk mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan untuk mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu pengetahuan bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, melainkan juga ikut menciptakan tujuan hidup itu sendiri.[6]
Menghadapi kenyataan seperti ini, menurut Suriasumantri, ilmu pengetahuan yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya: Untuk apa sebenarnya ilmu pengetahuan itu harus dipergunakan? Di mana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Ke arah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan? Pertanyaan semacam ini jelas tidak merupakan urgensi bagi ilmuwan-ilmuwan masa lalu, namun menjadi penting bagi para ilmuwan yang hidup pada masa kini. Dan untuk menjawab pertanyaan ini, maka ilmuwan berpaling kepada hakikat moral. [7]

D. Perisai dalam Wujud Tanggung Jawab Etis Ilmuwan

Ilmuwan Bintarto pernah menuturkan sebuah kutipan yang diambilnya dari Ensiklopedi Indonesia terbitan PT Ichtiar Baru Van Hoeve bahwa ‘intisari dari filsafat adalah cara berfikir menurut logika dengan bebas sedalam-dalamnya sampai ke dasar persoalannya’. Sementara itu, manusia terdorong untuk menemukan suatu orientasi hidup yang dapat memberikan arah dan pegangan bagi perbuatan serta perilakunya. Orientasi ini adalah filsafat dalam bentuknya yang masih pra-ilmiah.[8]

Filsafat bersifat universal karena objek kajiannya berkaitan erat dengan seluruh kenyataan (realitas). Dengan kata lain, pandangan filsafat terhadap segala sesuatu ditempatkan pada latar belakang arti seluruh realitas manusia. Apabila disesuaikan dengan objek kajiannya, maka filsafat dapat meliputi beberapa cabang, seperti filsafat manusia, filsafat pengetahuan, filsafat ketuhanan, dan sebagainya.[9]

Ketika masalah dekadensi moral yang menjadi objek kajian dalam filsafat, maka cabang filsafatnya adalah filsafat moral atau etika. Selain itu, karena dekandensi moral sendiri dalam tulisan ini ditelisik sebagai pengaruh negatif dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka cabang filsafat lainnya yang terkait filsafat ilmu pengetahuan, terutama bagian aksiologinya.

Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan hasil karya ilmuwan secara individual yang kemudian disosialisasikan kepada masyarakat. Peranan ilmuwan inilah yang menonjol dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan mampu mengubah wajah peradaban. Kreativitas ilmuwan yang didukung oleh sistem komunikasi sosial yang bersifat terbuka menjadi proses pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berjalan sangat efektif .

Dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka seorang ilmuwan harus memiliki kepekaan dan tanggung jawab besar terhadap pelbagai konsekuensi etis ilmu pengetahuan dan teknologinya. Sebab dialah satusatunya orang yang dapat mengikuti dari dekat perkembanganperkembangan yang konkret. Namun memang seorang ilmuwan sebenarnya tidak dapat berbuat banyak untuk mencegah penyalahgunaan hasil penemuannya. Manusia tampaknya tetap cenderung untuk menciptakan pedang yang bermata dua, yaitu satu dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan, mata yang lain dipakai untuk mendatangkan kerusakan.

Tanggung jawab etis bukanlah berkeinginan untuk mencampuri atau bahkan ‘menghancurkan’ otonomi ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi bahkan dapat sebagai umpan balik bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri, yang sekaligus akan lebih memperkukuh eksistensi manusia.[10]

Tanggung jawab etis yang dipikul seorang ilmuwan bukan saja karena dia adalah anggota masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung di masyarakat namun yang lebih penting adalah karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Fungsinya selaku ilmuwan tidak berhenti pada penelaahan dan keilmuan secara individual namun juga ikut bertanggung jawab agar produk keilmuan sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
Untuk membahas ruang lingkup yang menjadi tanggung jawab etis seorang ilmuwan, maka hal ini dapat dikembalikan kepada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Sering terdengar bahwa ilmu pengetahuan beserta teknologinya itu terbebas dari sistem nilai. Ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri netral dan para ilmuwanlah yang memberikan nilai. Dalam hal ini maka masalah apakah ilmu pengetahuan dan teknologi itu terikat atau bebas dari nilai-nilai tertentu, semua itu tergantung kepada langkah-langkah keilmuan yang bersangkutan dan bukan kepada proses keilmuan secara keseluruhan.[11]

Bebas nilai dalam ilmu pengetahuan merupakan suatu masalah yang melibatkan persoalan filosofis, yakni aksiologi (nilai/value). Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan pelbagai pertimbangan mengenai apa yang dinilai dan apa yang seharusnya dinilai. Nilai dalam pengertian ini adalah suatu penilaian yang dilakukan oleh ilmuwan dalam kegiatan ilmiahnya. Penilaian dapat muncul dari orang lain, lembaga pendidikan, agama, dan juga dari dalam diri ilmuwan sendiri terhadap apa yang telah dihasilkannya. Bebas nilaikah atau tidak bebas nilaikah kegiatan ilmiah yang telah dihasilkan seorang ilmuwan?

Selama ia masih berada dalam ruang kerja ilmiahnya (seperti laboratorium), maka ia masih merasakan adanya bebas nilai. Ia tetap dapat memusatkan perhatian pada kegiatan ilmiahnya tanpa memperoleh halangan dari berbagai unsur luar. Namun, apabila telah keluar dari ruang kerja ilmiahnya kedalam masyarakat, maka hasil kerjanya berupa ilmu dan teknologi akan diuji oleh pandangan-pandangan masyarakat, lembaga, atau pun agama. Hasil kerjanya diuji apakah telah sesuai dengan peraturan pemerintah, norma adat, dan sebagainya. Ilmuwan dengan hasil karya ilmiah menjadi tidak bebas nilai.
Sebagai contoh menarikadalah masalah kloning terhadap manusia. Ketika ilmuwan berada dalam ruang kerjanya, ia mungkin mampu bekerja secara idealis tanpa sesuatu nilai pun yang akan mengaturnya. Akan tetapi, apabila hasil kerjanya disosialisasikan, maka akan terjadi kegemparan. Akan terjadi pro dan kontra. Hasil kerja ilmiah tersebut akan berhadapan banyak nilai yang ada dalam masyarakat. Kloning manusia akan dipandang sebagai kegiatan yang bukan saja mengarah kepada dekadensi moral, namun juga dehumanisasi.

Pada masalah seperti di atas, maka peranan ilmuwan menjadi sesuatu yang imperatif. Dialah yang mempunyai latar belakang pengetahuan yang cukup untuk dapat menempatkan masalah tersebut pada proporsi yang sebenarnya. Oleh sebab itu, dia mempunyai kewajiban untuk menyampaikan hal itu kepada masyarakat banyak dalam bahasa yang dapat mereka cerna. Menghadapi masalah yang kurang mereka mengerti biasanya masyarakat bersikap ekstrim. Pada satu pihak mereka bisu karena ketidaktahuan mereka, sedangkan di pihak lain mereka bersikap radikal dan irasional. Tanggung jawab seorang ilmuwan dalam hal ini adalah memberikan perspektif yang benar: untung dan ruginya, baik dan buruknya; sehingga penyelesaian yang objektif dapat dimungkinkan (Suriasumantri, 1998: 239-241).

Pada bidang lain mungkin terjadi bahwa masalah itu baru akan timbul yang disebabkan proses yang sekarang sedang berjalan. Ilmuwan berdasarkan pengetahuannya memiliki kemampuan untuk meramalkan apa yang akan terjadi. Umpamanya saja apakah yang akan terjadi dengan ilmu pengetahuan dan teknologi kita di masa depan berdasarkan proses pendidikan keilmuan sekarang. Apakah sistem pendidikan kita memungkinkan negara kita mengejar keterbelakangan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi di masa yang akan datang? Sekiranya tidak maka apakah yang harus kita lakukan? Kerugian apakah yang akan timbul sekiranya tindakan pencegahan tidak dilakukan? Demikianlah pertanyaan yang serupa dapat dikemukakan dalam berbagai bidang.

Kemampuan analisis seorang ilmuwan mungkin pula menemukan alternatif dari objek permasalah yang sedang menjadi pusat perhatian. Kemampuan analisis seorang ilmuwan dapat dipergunakan untuk mengubah kegiatan non-produktif menjadi kegiatan produktif yang bermanfaat bagi masyarakat banyak (Suriasumantri, 1998: 241).
Penelitian Penerapan di masyarakat Nilai-nilai: adat istiadat, agama, ideolgi hasil penelitian Tidak bebas nilai hasil bebas nilai teoritis penelitian singkatnya, dengan kemampuan pengetahuannya seorang ilmuwan harus dapat mempengaruhi opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang seyogyanya mereka sadari. Dalam hal ini, berbeda dengan menghadapi masyarakat ilmuwan yang elitis, dia harus berbicara dengan bahasa yang dapat dicerna oleh orang awam. Untuk itu maka dia bukan saja mengandalkan pengetahuannya dan daya analisisnya namun juga integritas kepribadiannya.

Sebuah kutipan menarik dalam buku Pengantar Filsafat karya Louis O Kattsoff. Dalam bahasa analogis, Kattsof (2004: 3) menjelaskan bahwa meskipun filsafat ‘tidak membuat roti’, namun filsafat dapat menyiapkan tungkunya, menyisihkan noda-noda dari tepungnya, menambah jumlah bumbunya secara layak, dan mengangkat roti itu dari tungkunya pada waktu yang tepat. Filsafat berperan untuk mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin, dan menerbitkan serta mengatur semua itu di dalam bentuk yang sistematis. Filsafat membawa manusia kepada pemahaman, dan pemahaman membawa manusia kepada tindakan yang lebih layak.

Suatu kenyataan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi telah banyak berjasa untuk membantu manusia dalam kehidupan kesehariannya. Akan tetapi, adalah suatu kenyataan yang tidak dapat diabaikan begitusaja pula adanya pengaruh negatif dari keduanya berupa menurunnya atau bahkan nilai-nilai moral.

Dengan kata lain, ilmu pengetahuan dan teknologi juga berpengaruh negatif pada terjadinya dekadensi moral. Pengaruh negatif yang muncul dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak seharusnya membuat manusia pesimis bahkan menyerah terhadap perkembangan tersebut. Manusia tidak seharusnya hanya mengekor kepada ilmu pengetahuan dan teknologi dan menjadi budak
Keduanya. Ilmu pengetahuan dan teknologilah yang seharusnya berada di tangan manusia atau berada di bawah kendali manusia. Kemampuan berpikir dan berimajinasi manusia dalam wujud ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat dihentikan, dibendung, atau dimatikan, namun barangkali dapat dikontrol agar tidak kebablasan. Manusia harus bertanggung jawab terhadap apa yang telah diperbuatnya. Tanggung jawab bukan saja dalam arti normatif, namun juga dalam arti kedudukan manusia itu di antara manusia-manusia lain. Berbicara mengenai tanggung jawab secara tidak langsung berbicara mengenai manusia yang mempraktikkannya, menerapkan, dan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi itu. Jari telunjuk kita dengan mudah menunjuk kepada oknum yang terkait langsung dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yakni para ilmuwan. Para ilmuwan memang memiliki tanggung jawab etis untuk mengarahkan agar perjalanan ilmu pengetahuan dan teknologi tetap pada ‘orbitnya’. Mereka harus berusaha untuk menemukan suatu orientasi hidup yang dapat memberikan arah dan pegangan bagi perbuatan serta perilaku dirinya pribadi dan masyarakat kebanyakan

Kesimpulan Filsafat

Filsafat atau berfilsafat mengajak manusia bersikap arif dan berwawasan luas terdapat berbagai masalah yang dihadapinya, dan manusia diharapkan mampu untuk memecahkan masalah-masalah. berfilsafat dapat membentuk pengalaman kehidupan seseorang secara lebih kreatif atas dasar pandangan hidup dan atau ide-ide yang muncul karena keinginannya. , Filsafat dapat membentuk sikap kritis seseorang dalam menghadapi permasalahan, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan lainnya (interaksi dengan masyarakat, komunitas, agama, dan lain-lain) secara lebih rasional, lebih arif, dan tidak terjebak dalam fanatisme yang berlebihan. Terutama bagi para ilmuwan ataupun para mahasiswa dibutuhkan kemampuan untuk menganalisis, analisis kritis secara komprehensif dan sistematis atas berbagai permasalahan ilmiah yang dituangkan di dalam suatu riset, penelitian, ataupun kajian ilmiah lainnya.

B. SARAN
Makalah ini sebaiknya di pelajari dan dipahami agar kiata mengetahui peran filsafat dalam kaitanya dengan pola pikir dan pola hidup pada zaman globalisasi dan kita senantiasa dapat memanfaatkan peran dari berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi informasi dewasa ini. Dalam makalah ini diakui belum sempurna. Oleh karenaya kritik dan saran kami haturkan agar makalah ini dapat lebih baik dan kami dapat menevaluasi dalam ranah perbaikan. 
 Daftar Pustaka . 

  • Bintarto, R.1994. Ekologi Manusia IL-614: Hand Out Kuliah Ekologi Manusia untuk S2 Ilmu Lingkungan. Yogyakarta: Programme Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
  • Budianto, Irmayanti M 2002. Realitas dan Objektivitas: Refleksi Kritis atas Cara Kerja Ilmiah. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
  • Gensler, Harry J 1998. Ethics: A Contemporary Introduction. London and NewYork.
  • , Abbas dan Koento Wibisono. 1986. “Peran Filsafat dalam Wawasan Lingkungan” dalam Tugas Filsafat dalam Perkembangan Budaya. Slamet Sutrisno (ed.). Yogyakarta: Liberty.
  • Kattsof, Louis O 2004. Elements of Philosophy atau Pengantar Filsafat, Soejono Soemargono (penerjemah). Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
  • Suriasumantri, Jujun S 1998. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
  • Zubair, Achmad Charris. 2002. Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia: Kajian Filsafat Ilmu. Yogyakarta: LESFI


[1] Bintarto, R.1994. Ekologi Manusia IL-614: Hand Out Kuliah Ekologi Manusia untuk S2 Ilmu Lingkungan. Yogyakarta: Programme Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.Hlm. 39

[2] Harry J Gensler, 1998. Ethics: A Contemporary Introduction. London and New York.halm.2

[3] Irmayanti M Budianto, 2002. Realitas dan Objektivitas: Refleksi Kritis atas Cara Kerja Ilmiah. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.halm. 15-16.

[4] Abbas Hamami dan Koento Wibisono. 1986. “Peran Filsafat dalam Wawasan Lingkungan” dalam Tugas Filsafat dalam Perkembangan Budaya. Slamet Sutrisno (ed.). Yogyakarta: Liberty.halm. 127

[5] Jujun Suriasumantri, S 1998. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hlm. 229-231

[7] Jujun Suriasumantri, S 1998. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hlm. 231-232

[8] Bintarto, R 1994. Ekologi Manusia IL-614: Hand Out Kuliah Ekologi Manusia untuk S2 Ilmu Lingkungan. Yogyakarta: Programme Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.hlm. 40

[9] Ibid,hlm.40
[10] Achmad Charris Zubair,. 2002. Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia: Kajian Filsafat Ilmu. Yogyakarta: LESFI.hlm. 49-50

[11] Jujun S Suriasumantri, 1998. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. hlm. 239

Post a Comment

Silahkan di Share kalau dianggap bermanfaat

 
Top