Ayat Al-Qur’an telah memberikan ketentuan bahwa nafkah
keluarga yang memerlukan bantuan menjadi beban keluarga-keluarga yang
mampu. Kewajiban memberi nafkah tersebut bagi seseorang disebabkan oleh
adanya hubungan saling mewarisi dengan orang yang diberi nafkah.
Pengertian Memberi Nafkah
Pengertian Nafkah
ialah tanggung jawab utama seorang suami dan hak utama istrinya.
Apabila diberikan kepada istri dengan lapang dada, tanpa sedikitpun
unsur kikir, merupakan kontribusi utama yang dapat mendatangkan
keseimbangan dan kebahagiaan rumah tangga.[1]
Nafkah
menjadi hak dari berbagai hak istri atas suaminya sejak mendirikan
kehidupan rumah tangga. Oleh karena itu, syariat Islam menetapkan, baik
istri kaya ataupun fakir dalam firman Allah Swt. :
ﻠِﻴُﻨﻔِﻖْﺬُﻮﺴَﻌَﺔٍﻤِّنﺴَﻌَﺘِﻪِ
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.”(QS. Ath-Thalaq :7).[2]
Melihat begitu besar urgensinya, Allah Swt. Dan Rasul-Nya memerintahkan untuk ditunaikannya.
Firman Allah Swt tentang nafkah.:
“Kaum
laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka(laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita)
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka.” (An-Nisa:34).
Dan firman-Nya tentang perihal nafkah,
“
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah berilah nafkah menutrut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi
nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan
beban kepada seseorang kecuali sesuai dengan apa yang Allah berikan
kepadanya.” (At-Thalaq:7).
Dari
Mu’awiyah bin Hidah r.a berkata, saya berkata, “Wahai Rasulullah,
apakah salah satu hak istri dai kami?” Rasulullah bersabda,
ﺃَنْﺘُﻄْﻌِﻤَﻬﺎَﺇﺬﺍﻄَﻌِﻤْﺖَﻮَﺘَﻜْﺴُﻮَﻫَﺎﺇﺬَﺍﺍﻜْﺘَﺴَﻴْﺖَﻮَﻻَﺘَﻀْﺮِﺐِﺍﻠْﻮَﺠْﻪَﻮَﻻَﺘﻘَﺒﱢﺡْﻮَ ﻻَﺘَﻬْﺠُﺮْﺇﻻﱠﻔﻲﺍﻠﺒَﻴْﺖِ٠
Yaitu,
kalian memberinya makan bila kalian makan, dan memberinya pakaian bila
kalian berpakaian. Janganlah kalian memukul wajah, menjelek-jelekkan,
dan janganlah mengasingkannya kecuali di rumah (HR. Abu Daud dan Ibnu
Majah(shahih)).[3]
Ungkapan
“....janganlah mengasingkannya kecuali di rumah,” maksudnya, apabila
suami hendak menghukumnya, cukuplah dengan memisahkan tempat tidurnya,
bukannya mengusir atau menyakitinya dengan kata-kata kasar.[4]
Hadis mengenai Memberi Nafkah dan kandungannya
Artinya,
Hakim Muawiyah Qusyairi menerima berita ini dan bapaknya RA, bahwa ia
bertanya kepada Rasulullah SAW, “hai Rasulullah, apakah hak istri salah
seorang kami atas suaminya?” jawab Beliau, “Hendaklah ia memberikan
makanannya, jika makan, memberikan pakaian, jika ia berpakaian”.(HR
Muslim)
Termasuk
suatu kesalahan atas suami jika hanya memakan sesuatu sendiri dan
istrinya tidak dibolehkannya, lain halnya jika membahyaakan istri.
Artinya,
Abu Hurairah RA menceritakan, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “tangan
diatas (memberi) lebih baik dari tangan dibawah (yang menerima
pemberian), maka mulai dari orang yang ia tanggung nafkahnya, karena
istri dapat berkata kepada suaminya, “berilah saya makanan ataukah saya
diceraikan?”
Hadis diatas mengajarkan agar mencukupkan nafkah istri
atau keluarga lebih dahulu sebelum kepada orang lain. Termasuk istri
atau keluarga yang jahat, jika nafkahnya sudah memadai, tetapi ia
menutup pintu kemugkinan suami berbuat baik terhadap karibnya yang lain.
Abu
Hurairah RA menceritakan, bahwa ada seorang laki-laki datang menemui
Nabi SAW seraya bertanya, “hai Rasulullah, saya punya uang satu dinar
bagaimana ini?” jawab Beliau, “belanjakan untuk keperluan dirimu”.
Tanyanya, “Ada lagi?”, Jawab Beliau, “berikan kepada keluargamu”.
Tanyanya, “ada lagi?”, jawab beliau, “berikan kepada pembantumu”.
Tanyanya, “ada lagi?” jawab beliau, “ kamulah yang lebih tahu untuk
siapa itu”
Mengenai penentuan jumlah Nafkah
Jika
istri hidup serumah dengan suami, maka suaminya wajib menanggung
nafkahnya, istri mengurus segala kebutuhan, seperti makan, minum,
pakaian, tempat tinggal. Dalam hal ini, istri tidak berhak meminta
nafkah dalam jumlah tertentu, selama suami melaksanakan kewajibannya
itu.
Jika suami bakhil, yaitu tidak memberikan nafkah
secukupnya kepada istri tanpa alasan yang benar, maka istri berhak
menuntut jumlah nafkah tertentu baginya untuk keperluan makan, minum,
pakaian, dan tempat tinggal. Hakim boleh memutuskan berapa jumlah nafkah
yang harus diterima oleh istri serta mengharuskan suami untuk
membayarnya jika tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh istri ternyata
benar.[5]
Istri
boleh mengambil sebagian harta suaminya dengan cara yang baik,
sekalipun tanpa sepengetahuan suami untuk mencukupi kebutuhannya apabila
suami melalaikan kewajibannya. Orang yang mempunyai hak boleh mengambil
haknya sendiri jika mampu melakukannya, berdasarkan sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Nasa’i dari
Aisyah;
ﻋَﻦﻋﺎﺌِﺸَﺔﺮ٠ﻉ٠ﺍَﻦﻫﻨْﺪًﺍﺒﻨْﺖَﻋُﺘْﺒَﺔَﻘَﺎﻠَﺖْ:ﻴَﺎﺮَﺴُﻮْﻞَﺍﻠﻠﱠﻪِ٬ﺍﻦﱠﺍﺒﺎَﺴُﻔْﻴﺎَﻦَﺮَﺠُﻞ
ﺸَﺤﻴْﺡٌﻮَﻠﻴْﺴﻰﻴُﻌْﻄِﻴْﻨِﻰﻮَﻮَﻠَﺪِﻱﺍِﻻﱠﻤﺎﺍَﺨَﺬْﺖُﻤِﻨْﻪُﻭَﻫُﻭَﻻَﻴَﻌْﻠَﻢْﻘﺎﻞ:ﺤُﺬﻯﻤَﺎﻴَﻜْﻔْﻴﻚِ
ﻭَﻮَﻟَﺪَﻚِﺒِﺎﻠْﻤَﻌْﺮُﻮْﻒِ۰﴿ﺮﻭﺍﻩﺍﺤﻤﺪﻭﺍﻠﺒﺨﺎﺭﻯﻭﻤﺴﻠﻢﻭﺍﺒﻭﺪﺍﻭﺪﻭﺍﻠﻨﺴﺎﺌﻰ﴾
“Dari
Aisyah r.a. sesungguhnya Hindun binti ‘Utbah pernah bertanya “Wahai
Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan adalah seseorang yang kikir. Ia tidak
mau memberi nafkah kepadaku sehingga akau harus mengambil darinya tanpa
sepengetahuannya.” Maka Rasulullah SAW. Bersabda, “Ambillah apa yang
mencukupi bagimu dan anakmu dengan cara yang baik.” (HR Ahmad, Bukhari,
Muslim, Abu Dawud, dan Nasa’i).
Hadis di atas menunjukkan bahwa jumlah nafkah
diukur menurut kebutuhan istri, dengan ukuran yang baik bagi setiap
pihak tanpa mengesampingkan kebiasaan yang berlaku pada keluarga istri.
Oleh karena itu, jumlah nafkah berbeda menurut keadaan, zaman, tempat,
dan keberadaan manusia.
Jelas bahwa kewajiban nafkah
hanya diberikan kepada yang berhak, yaitu dengan memberikan sesuai
kebutuhan bukan menentukan jumlah nafkah yang harus diberikan karena
dikhawatirkan terjadinya keborosan penggunaan dalam keadaan tertentu.
Maksudnya pemberian belanja secukupnya dalam arti sesuai dengan besarnya
kebutuhan hidup yang wajar bagi istri. Demikianlah maksud dari sabda
Rasulullah, “dengan cara yang baik” bukan sebaliknya, sepeerti boros
atau kikir. Apabila suami tidak memberikan nafkah yang menjadi
kewajibannya, maka istrinya boleh mengambil apa yang dapat mencukupi
dirinya jika ia seorang dewasa dan berakal sehat, bukan seorang pemboros
atau orang yang gemar berbuat mubazir. Sebab, orang-orang seperti ini
tidak boleh diserahi harta benda, sebagaiman firman Allah SWT :
Artinya
: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna
akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu).” (QS. Al-Nisa’ : 5).
Dengan
demikian, jika suami berkewajiban memberi nafkah berbuat durhaka,
sedangkan istrinya yang berhak menerima nafkah tidak sehat, maka wajib
menyerahkan nafkah tersebut kepada walinya atau orang tuanya yang adil
untuk mengendalikan nafkahnya.
Istri
juga berhak mendapatkan tempat tinggal beserta peralatannya sesuai
dengan keadaan suaminya. Dalam hal ini, tidak meutup kemungkinan untuk
menanggungnya secara bersama-sama.
Syarat-syarat wajib Nafkah
Ada
sebuah Hadis yang artinya, “Bahas bin Hakim menceritakan daripadanya
dan neneknya RA, bahwa neneknya bertanya, “Hai Rasulullah, kepada siapa
saya harus berbuat baik?” jawab Beliau, “ kepada Ibumu”, saya bertanya
lagi, “ kemudian siapa lagi?” kepada Ibumu”. Saya bertanya lagi, “
kemudian kepada siapa?”, jawab beliau, “kepada Ibumu”. Saya bertanya
lagi, “kemudian kepada siapa?” jawab beliau, “ Bapakmnu dan kemudian
siapa yang lenih dekat, dan lebih dekat”.
Nafkah keluarga menjadi wajib apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.
Adanya hubungan kerabat yang mewajibkan adanya hubungan
waris-mewaris antara kerabat yang membutuhkan dan kerabat yang mampu.
b. Adanya kebutuhan kerabat yang menuntut nafkah.
c. Kerabat yang menuntut nafkkah tersebut tidak mampu berusaha sendiri.
d. Orang yang dibebani kewajiban nafkah cukup mampu, kecuali kewajiban nafkah untuk anak atau orang tua.
e. Satu agama, kecuali nafkah untuk anak dan orang tua.
c. Nafkah Anak
Kewajiban ayah memerlukan syarat-syarat sebagai berikut :
a. Anak-anak membutuhkan nafakah (fakir) dan tidak mampu bekerja.
b. Ayah mempunyai harta dan berkuasa memberi nafkah yang menjadi tulang punggung kehidupannya.
Atas dasar adanya syarat-syarat nafkah,
apabila anak fakir telah sampai pada umur mampu bekerja, meskipun belum
baligh, dan tidak ada halangan apa pun untuk bekerja, gugurlah
kewajiban ayah untuk memberi nafkah kepada anak. Berbeda halnya apabila
anak yang telah mencapai umur dapat bekerja itu terhalang untuk bekerja
disebabkan sakit atau kelemahan-kelemahan lain. Maka, ayah tetap
berkewajiban memberikan nafkah untuk anaknya itu.
Anak perempuan dibebankan kepada ayah untuk memberi nafkah
kepadanya sampai ia kawin, kecuali apabila anak telah mempunyai
pekerjaan yang dapat menopang hidupnya tetapi ia tidak boleh dipaksa
untuk bekerja mencari nafkah sendiri. Apabila ia telah kawin, nafkahnya
menjadi kewajiban suami. Apabila suaminya meninggal dan tidak mendapat
warisan yang cukup untuk nafkah hidupnya, ayahnya berkewajiban lagi
memberi nafkah kepadanya, seperti pada waktu belum menikah.
Nafkah Orang tua
Kewajiban
anak memberi nafkah orang tua termasuk dalam pelaksanaan perintah
Al-Qur’an agar anak berbuat kebaikan kepada kedua orang tuanya. Hal ini
sesuai dengan Surat Luqman ayat 15:
“Dan
jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang
tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti
keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah
jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah
kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS.
Luqman:15).
Ayat
diatas memerintahkan agar anak berbuat yang makruf terhadap kedua orang
tuanya. Kata ma’ruf, dapat diartikan antara lain hendaknya jangan
sampai terjadi anak menikmati hidup berkecukupan, tetapi membiarkan
kedua orang tuanya dalam keadaan fakir dan memerlukan bantuan untuk
mencukupkan kebutuhan hidupnya, adalah amat tidak layak apabila orang
tua sampai meminta-minta kepada kerabat lain, padahal anak-anaknya cukup
mampu untuk memberikan nafkah hidup orang tuanya.
Kewajiban memberi nafkah
orang tua dapat gugur apabila anak tidak mampu bekerja, baik karena
menderita sakit maupun karena masalah kecil. Dalam hal ini, nafkah orang
tua dan anak menjadi tanggungan kerabat lain yang lebih dekat,
berturut-turut sesuai urutan ‘ashabah dalam hukum waris. Dalam hal tidak
ada sama sekali kerabat yang berkemampuan untuk memberikan nafkah,
nafkah orang tua itu diperoleh dari negara yang berasal dari baitul mal
kaum muslimin.
Nafkah Suami atas istri yang beriddah
Mengenai wanita yang beriddah kematian suami terdapat khilafiyah:[6]
a.
Hanafiyah, Syafiiyyah dan Jamaah berpendapat bahwa ia tidak
berhak atas nafkah dari waris suaminya berdasarkan telah terhenti
tanggung jawab suami yang meninggal itu atas istrinya.
b.
Hadi dan lain-lain berpendapat bahwa ia berhak nafkah dari waris
suaminya, karena ia dilarang keluar rumah dan sesuai QS AlBaqarah: 240
“Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dan meninggalkan istri,
hendaklah berwasiat untuk istrinya, yaitu diberi nafkah selama satu
tahun tanpa mengeluarkannya dari rumah. Akan tetapi jika mereka pindah
sendiri, maka tidak ada dosa bagimu (para wali/waris) membiarkannya
berbuat makruf (baik) terhadap dirinya. Allah Maha Kuasa lagi Maha
Bijaksana”.[7]
Perempuan,
dalam masa idah talak raj’i atau hamil berhak mendapatkan nafkah,
karena Allah berfirman dalam Surat Al-Talaq :6 yang menunjukkan bahwa
perempuan hamil berhak mendapatkan nafkah, baik dalam idah talak raj’i
atau bai’n, atau juga dalam idah kematian. Adapun dalam talak bai’n,
para ahli fikih berbeda pendapat tentang hak nafkahnya. Jika dalam
keadaan hamil, maka ada tiga pendapat :
a.
Pendapat pertama, ia berhak mendapatkan rumah, tetapi tidak
berhak mendapatkan nafkah. (pendapat Imam Malik dan Syafi’i). Mereka
berhujjah dengan firman Allah SWT QS. AL-Talaq :6.
b.
Pendapat kedua, dikemukakan oleh Umar bin Khathab, Umar bi Abdul
Aziz dan golongan Hanafi, mereka mengatakan bahwa istri berhak
mendapatkan nafkah dan rumah.
Dalam
Surat Al-Talaq: 6 tersebut menunjukkan wajibnya memberikan tempat
tinggal. Jika memberikan tempat tinggal itu hukumnya wajib, maka dengan
sendirinya juga wajib memberikan nafkah seperti makanan, pakaian, dan
lainnya.
c.
Pendapat ketiga, istri tidak berhak mendapatkan nafkah dan tempat
tinggal. Ini dikemukakan oleh Ahmad, Abu Dawud, Abu Saur, dan Ishaq.
Dalam
sebuah riwayat dari Ali, Ibnu Abbas, Al-Hasan, ‘Atha’, Sya’bi Abu Abi
Laila, dan Syi’ah Imamiyah, mereka mengemukakan alasan yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari dan Muslim, dari Fatimah binti Qais, ia berkata,
“Suamiku telah menceraikan aku tiga kali pada masa Rasulullah
Saw......ia tidak memberikan nafkah kepadaku atau tempat tinggal...”
dalam Riwayat lain disebutkan bahwa, Rasulullah Saw,. Bersabda, tempat
tinggal dan nafkah hanyalah hak bagi perempuan yang suaminya ada hak
rujuk.”
Hadis Rasulullah Saw tentang Nafkah bersabda :
ﺍَﻨﱠﻪُﻘَﺎﻞَﻠَﻬﺎﺭَﺴُﻮﻞُﺍﻠﻠﱠﻪﺺ۰ﻢ۰ﻻَﻨَﻔَﻘَﺔَﻠَﻚﺍﻻﱠﺍﻦْﺘَﻜﻭْﻨﻰﺤﺎﻤﻠَﺔً٠﴿ﺮﻮﺍﻩﺍﺤﻤﺪ ﻭﻤﺴﻠﻢﻮﺍﺒﻭﺪﺍﻮﺪﻮﺍﻠﻨﺴﺎﺌﻰ﴾
“sesungguhnya
Rasulullah Saw. Bersabda kepada Fatimah, “Tidak ada nafkah bagimu
kecuali kalau kamu hamil.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, dan Nasa’i).
Nafkah dalam Kompilasi Hukum Islam juga disebutkan bahwa :
1. Suami wajib menyediakan tempat tinggal bagi istri dan anak-anaknya, atau mantan istri yang masih dalam iddah.
2.
Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk selama
dalam ikatan perkawinan, atau dalam idah talak atau idah wafat.
Kontekstualisasi Hadis Memberi Nafkah
1. Jangan Berlaku Kikir
Dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash r.a. berkata, Rasulullah Saw. Bersabda,
ﻜﻔﻰﺒﺎﻠﻤَﺮﺀِﺇﺜﻤًﺎﺃﻦْﻴُﻀَﻴﱢﻊَﻤَﻦْﻴَﻘُﻭﺖُ۰
“Cukuplah seseorang berdosa bila menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Abu Daud(Hasan)).
Dalam hadis lain,
ﻜَﻔَﻰﺒﺎﻠْﻤﺮْﺀﺇﺜْﻤﺎﺃَﻦْﻴَﺤْﺒﺲَﻋَﻤﱠﻦْﻴَﻤْﻟﻚﻘﻮﺘﻪ٠ُ
“Cukuplah sesorang berdosa bila menahan hartanya dari orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Muslim).
Begitu pula perbuatan boros, ia banyak mendatangkan kemadharatan.
Allah Swt. Berfirman,
“Wahai
anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah setiap (memasuki) masjid,
makan dan minumlah dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Al-A’raf:31).
Hendaklah
engkau berbuat ekonomis, tanpa harus kikir ataupun boros. Semua itu
dalam rangka mewujudkan kebahagiaan bagimu dan bagi orang-orang yang
menjadi tanggunganmu.[8]
Kapan Istri Tidak Berhak Mendapatkan Nafkah
Nafkah
wajib bagi istri selama ia menunaikan berbagai tanggungan. Ia memenuhi
batasan-batasan fitrahnya. Jika ia sombong dengan fitrahnya, menyimpang
dari aturan, berpaling pada jalan, melampaui suami dalam tujuan
kehidupan rumah tangga maka ia tidak mendapatkan hak ini.
Atau
ia meninggalkan rumahnya dengan sendirian, mempergunakan banyak
waktunya di luar rumah dengan tanpa izinnya. Karena nafkah merupakan kewajiban untuk istri dengan usahanya untuk dirinya, kesepakatannya,
waktunya, kesungguhannya dengan ketenangan suami dan kebahagiaannya
berupa pemberian buah-buah kehidupan keluarga.
Adapun
jika seorang laki-laki berkurang dalam menanggung istrinya yang tetap
dan biaya hidupnya sedang ia mendapatkan dan mampu maka ia diminta untuk
melaksanakan hak dan tanggungan istri.[9]
3. Jika Suami Mengalami Kesulitan
Dari
Abu Hurairah berkata : “Nabi bersabda: Sedekah yang paling utama adalah
sesuatu yang ditinggalkan orang kaya dan melakukan sesuatu untuk orang
yang menjadi bagian keluarga.perempuan berkata kepada suaminya, ‘Engkau
hendak memberiku makan dan engkau hendak menceraikanku.’ Seorang hamba
berkata: ‘Berilah aku makan dan mintalah aku untuk bekerja.’ Anak
laki-laki berkata: ‘ Berilah aku makan, kepada orang yang
mengajakku.”[10]
Hadis
tersebut menggambarkan tentang kewajiban hak nafkah dan penguatannya.
Sebagian ulama mengambil dasar dengan ucapannya: perempuan berkata:
jika engkau memberiku makan dan jika engkau menceraikanku. Berdasarkan
hal tersebut bahwa seseorang memisahkan antara laki-laki dan suaminya
jika ia mengalami kesulitan dengan nafkah dan ia memilih berpisah
dengannya.
Sebagian
ulama berpendapat bahwa jika ia mengalami kesulitan mengenai nafkah,
istri diperintah untuk mengambil utang dan tetap bersamanya dengan
sabar.[11]
Kesimpulan tentang Nafkah
Nafkah adalah pemberian seorang suami kepada istri sebagai pemenuhan semua kebutuhan dalam kehidupan. Memberi Nafkah kepada istri dan keluarga
hukumnya wajib selama istri masih melakukan kewajibannya sebagai
seorang istri. Nafkah juga wajib diberikan kepada keluarga atau kerabat
yang masih membutuhkan.
Seorang
suami wajib memberikan nafakah dengan cara yang halal. Mengenai Ukuran
nafkah disesuaikan dengan kebutuhan belanja sehari-hari.
Jika
istri sombong dengan fitrahnya, menyimpang dari aturan, berpaling pada
jalan, melampaui suami dalam tujuan kehidupan rumah tangga maka ia tidak
mendapatkan hak nafkah.
Atau
ia meninggalkan rumahnya dengan sendirian, mempergunakan banyak
waktunya di luar rumah dengan tanpa izinnya. Karena nafkah merupakan
kewajiban untuk istri dengan usahanya untuk dirinya, kesepakatannya,
waktunya, kesungguhannya dengan ketenangan suami dan kebahagiaannya
berupa pemberian buah-buah kehidupan keluarga.
Demikian makalah kami mengenai perihal Pegertian Nafkah, Syarat Nafkah, Dalil Nafkah dan Aplikasi Nafkah di KHI, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua
Demikian makalah kami mengenai perihal Pegertian Nafkah, Syarat Nafkah, Dalil Nafkah dan Aplikasi Nafkah di KHI, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua
DAFTAR PUSTAKA
- Al-quran Terjemah, Bandung: Diponegoro, 2008. Cet. 9
- Allusy, Abu Abdullah bin Abd al-Salam. Ibanatul Ahkam sharah bulughul Maram. Al-Hidayah, 2010. Juz 3
- As-Subki, Ali Yusuf, Fiqh Keluarga, pedoman berkeluarga dalam Islam, Jakarta: AMZAH, 2010.
- Hamid, Abdul Halim. Bagaimana Membahagiakan Istri, Solo: Intermedia, 2006.
- Masyhur, Kahar. Bulughul Maram, Jakarta: Rineka Cipta, 1992.
- Tihami, Sohari Sahrani,Fikih Munakahat, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
- Abdul Halim Hamid, Bagaimana Membahagiakan Istri (Solo: Era Intermedia, 2006), hlm. 71
- Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga(Pedoman Berkeluarga dalam Islam), Jakarta: Amzah, 2010, hlm. 183
- Kahar Masyhur, Bulughul Maram, 1992. Jakarta:Rineka Cipta, hal. 142
- Abdul Halim Hamid, Bagaimana Membahagiakan Istri, Ibid., hlm. 71-73
- M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 164
- Ibid, hal.144
- Al-Quran dan Terjemah, Bandung: Diponegoro hal. 39
- Abdul Halim Hamid, Bagaimana Membahagiakan Istri (Solo: Era Intermedia, 2006), hlm.74-76
- Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga(Pedoman Berkeluarga dalam Islam), Jakarta: Amzah, 2010, hlm. 187
- HR. Al-Bukhari.
- Ibid., hlm. 188
Apabila nafkah zahir termasuk sebuah rumah yang dibeli oleh suami untuk isterinya, adakah wajib nama isteri dimasukkan dalam rumah itu sebagai sebahgian dari pemilik rumah itu?
ReplyDelete