0
hak suami, hak istri, hak suami dan istri, kewajiban suami, kewajiban istri, kewajiban suami istri, harta bersama suami dan istri, gugatan suami istri
Hak dan Kewajiban Suami Istri Dalam Agama Islam - Baik UUP ataupun KHI telah merumuskan dengan jelas bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membina keluarga yang bahagia, kekal, abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Terwujudnya tujuan perkawinan tersebut sudah barang tentu sangat tergantung pada maksimalisasi peran dan tanggung jawab istri dan suami. Oleh sebab itu perkawinan tidak saja dipandang sebagai media merealisasikan syari’at Allah agar memperoleh kebaikan didunia dan diakhirat, tetapi juga merupakan sebuah kontrak perdata yang akan menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya.

Hak dan kewajiban suami-isteri

Suami-istri harus setia satu sama lain,bantu-membantu, berdiam bersama-sama, saling memberikan nafkah dan bersama-sama mendidik anak-anak.

Perkawinan oleh undang-undang di pandang sebagai suatu “perkumpulan” (echtveregining). Suami ditetapkan kepala atau pengurusnya. Suami mengurus kekayaan mereka bersama di samping berhak juga mengurus kekayaan si isteri, menentukan tempat kediaman bersama, melakukan kekuasaan orang tua dan selanjutnya memberikan bantuan (bijstand) kepada si isteri dalam hal melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Yang belakangan ini, berhubungan dengan ketentuan dalam Hukum perdata Eropah,bahwa seorang perempuan yang telah kawin tidak cakap untuk bertindak sendiri di dalam hukum. Kekuasaan seorang suami di dalam perkawinan itu di namakan “maritale macht” (dari bahasa Perancis mari =suami).[1]

Pengurusan kekuasan si isteri itu, oleh suami harus dilakukan sebaik-baiknya (“als een goed huisvader) dan si isteri dapat pertanggunganjawab tentang pengurusan itu. Kekayaan suami untuk ini menjadi jaminan, apabila ia sampai dihukum mengganti kekurangan-kekurangan atau kemerosotan kekayaan si isteri karena kesalahannya. Pembatasan yang terang dari kekuasaan suami dalah hal mengurus kekayaan isterinya, tidak terdapat dalam undang-undang,melainkan ada suatu pasal yang menyatakan, bahwa suami tak diperbolehkan menjual atau menggadaikan benda-benda yang tak bergerak kepunyaan si isteri tanpa izin si isteri (pasal 105 ayat 5 B.W). Meskipun begitu, sekarang ini menurut pendapat kebanyakan ahli hukum menjual atau menggadaikan barang-barang yang bergerak dengan tidak seizin isteri juga tak diperkenankan apabila melampaui batas pengertian “mengurus” (“beheren”).

Pasal 140, membuka kemungkinan bagi si isteri untuk (sebelum melangsungkan pernikahan) mengadakan perjanjian bahwa ia berhak mengurus sendiri harta kekayaannya. Juga dengan “pemisahan kekayaan” (“scheiding van goedern”) atau dengan “pemisahan meja dan tempat tidur” si isteri dengan sendirinya memperoleh kembali haknya untuk mengurus kekayaan sendiri.

Jikalau suami memberikan bantuan (bijstand), suami-isteri itu bertindak bersama-sama : si isteri untuk dirinya sendiri dan si suami untuk membantu isterinya. Jadi mereka itu bersama-sama, misalnya pergi ke notaris atau menghadap hukum. Menurut pasal 108 bantuan itu dapat di ganti dengan suatu persetujuan tertulis. Dalam hal yang demikian, si isteri dapat bertindak sendiri dengan membawa surat kuasa dari suami. Perlu di terangkan, bahwa perkataan acte dalam pasal 108 tersebut,tidaklah berarti surat atau tulisan,melainkan ”perbuatan hukum”. Perkataan tersebut berasal dari bahasa Perancis, “acte” yang berarti perbuatan.

Ketidak cakapan seoarang isteri itu, di dalam hukum perjanjian dinyatakan secara tegas (pasal 1330); seorang perempuan yang telah kawin dipersamakan dengan seoarang yang berada dibawah curatele atau seorang yang belum dewasa. Mereka ini semuanya dinyatakan “tidak cakap” untuk membuat suatu perjanjian. Tetapi perbedaannya masih ada juga, yaitu seorang isteri bertindak sendiri (meskipun didampingi oleh suami atau telah dikuasakan), sedangkan orang yang belum atau dewasa orang curandus tidak pernah tampil kemuka dan selalu harus diwakilkan oleh orang tua, wali atau curator.

Selanjutnya perlu di terangkan, bahwa ketidakcakapan seorang isteri, hanyalah mengenai perbuatan-perbuatan hukum yang terletak di lapangan hukum kekayaan dan yang mungkin membawa akibat-akibat bagi kekayaan si isteri itu sendiri. Karena itu, mengakui seorang anak yang lahir diluar pernikahan atau memintakan curatele terhadap ayahnya ia dapat lakukan sendiri dengan tak usah di bantu oleh suami, begitu pula sebagai wali atau curatrice atau sebagai directrice suatu N.V. ia dapat bertindak sendiri. Hanya untuk memangku jabatan-jabatan ini, ia harus mendapat persetujuan atau kuasa dahulu dari suaminya,sebab memegang jabatan-jabatan itu memang mungkin membawa akibat-akibat bagi kekayaanya sendiri.

Terhadap ketentuan, bahwa seorang isteri harus di bantu oleh suaminya, diadakan beberapa kekecualian berdasarkan anggapan, untuk perbuatan-perbuatan itu si isteri telah mendapat persetujuan atau kuasa dari suaminya (veronderstelde machtiging). Yang dimaksud disini, perbuatan-perbuatan si isteri untuk kepentingan rumah-tangga dan apabila si isteri mempunyai pekerjaan sendiri. Misalnya pembelian-pembelian di toko, asal saja dapat dimasukkan pengertian “keperluan rumah-tangga biasanya dan sehari-hari” (demikian pasal 109), adalah sah dan harus di bayar oleh suaminya. Dalam praktek oleh hakim dipakai sebagai ukuran nilainya tiap rumah-tangga, sehingga misalnya pembelian sebuah lemari es bagi isteri seorang direktur bank dapat dianggap sebagai keperluan rumah-tangga biasa dan sehari-hari akan tetapi tidak sedemikian halnya seorang isteri jurutulis.

Teranglah, bahwa sang suami selalu berhak untuk mempermaklumkan kepada orang-orang pihak ketiga, bahwa ia tidak mengizinkan isterinya untuk bertindak sendiri meskipun mengenai hal-hal dalam lapangan rumah-tangga itu.

Bantuan suami juga tidak diperlukan, apabila si isteri di tuntut di depan hakim dalam perkara pidana, begitu pula apabila si isteri mengajukan gugatan terhadap suaminya untuk mendapatkan perceraian atau pemisahan kekuasaan, atau ia sendiri di gugat oleh suaminya untuk mendapat perceraian.

Peraturan tentang ketidakcakapan seorang isteri itu oleh Mahkamah Agung di anggap sekarang tidak berlaku lagi.

Dan memang ketentuan pasal 108 BW tentang ketidakcakapan seorang isteri itu dianggap sudah dicabut oleh Undang-undang Perkawinan, pasal 31 (1) yang mengatakan, bahwa perkawinan suami-isteri masing-masing berhak melakukan perbuatan hukum.

Sekian dengan singkat kedudukan suami-isteri didalam perkawinan.

Akibat-akibat lain dari perkawinan Suami dan Istri:

  1. Anak yang lahir dari perkawinan,adalah anak sah (wettig);
  2. Suami menjadi waris dari si isteri dan begitu sebaliknya, apabila salah satu meninggal di dalam perkawinan;
  3. Oleh undang-undang dilarang jual beli antara suami dan isteri;
  4. Perjanjian perburuhan antara suami dan isteri tak diperbolehkan;
  5. Pemberian benda-benda atas nama tak diperbolehkan antara suami-isteri;
  6. Suami tak diperbolehkan menjadi saksi didalam suatu perkara istrerinya dan sebaliknya;
  7. Suami tak dapat di tuntut tentang beberapa kejahatan terhadap isterinya dan begitu sebaliknya (misalnya pencurian).

Pencampuran Kekayaan Suami dan Istri

Sejak mulai perkawinan terjadi, suatu pencampuran antara kekayaan suami dan kekayaan isteri (algehele gemeenschap van goederen), jikalau tidak diadakan perjanjian apa-apa. Keadaan yang demikian itu berlangsung seterusnya dan tak dapat diubah lagi selama perkawinan.[2] Jikalau orang ingin menyimpang dari peraturan umum itu, ia harus meletakkan keinginannya itu dalam suatu “perjanjian perkawinan” (huwelijksvoorwaarden). Perjanjian yang demikian ini, harus diadakan sebelumnya pernikahan ditutup dan harus diletakkan dalam suatu akte notaris. Juga keadaan sebagaimana diletakkan dalam perjanjian itu, tak dapat diubah selama perkawinan. Kekayaan bersama itu oleh undang-undang dinamakan “gemeenschap”.

Dalam perjanjian perkawinan dapat diperjanjikan, bahwa meskipun akan berlaku percampuran kekayaan antara suami dan isteri, beberapa benda tertentu tidak akan termasuk percampuran itu. Juga seorang yang memberikan sesuatu benda kepada salah satu pihak dapat memperjanjikan bahwa benda tersebut tidak akan jatuh didalam percampuran kekayaan. Benda yang demikian itu, akan menjadi milik pribadi pihak yang memperolehnya.

Hak mengurus kekayaan bersama (“gemeenschap”) berada ditangan suami, yang dalam hal ini mempunyai kekuasaan yang sangat luas. Selain pengurusan itu tak bertanggungjawab kepada siapapun juga, pembatasan terhadap kekuasaannya hanya terletak dalam larangan untuk memberikan dengan percuma benda-benda yang tak bergerak kepada lain orang selain kepada anaknya sendiri, yang lahir dari perkawinan itu (pasal 124 ayat 3).

Terhadap kekuasaan suami yang sangat luas itu, kepada si isteri hanya diberikan hak untuk apabila si suami melakukan pengurusan yang sangat buruk (wanbeheer) meminta kepada hakim supaya diadakan “pemisahan kekayaan”, atau kalau suami mengobralkan kekayaannya dapat dimintakan curatele.

Selain dua macam tindakan tersebut yang dapat diambil oleh si isteri dalam perkawinan, ia juga diberikan hak untuk, apabila perkawinan dipecahkan, melepaskan haknya atas kekayaan bersama (afstand doen van de gemeenschap). Tindakan ini bermaksud untuk menghindarkan diri dari penagihan hutang-hutang gemeenschap.

Pasal 140 ayat 3, mengizinkan untuk memperjanjikan didalam perjanjian perkawinan, bahwa suami tak diperbolehkan menjual atau menggadaikan benda-benda atas nama yang jatuh dalam gemeenschap dari pihak si isteri dengan tiada izin si isteri.

Selanjutnya dapat diterangkan, bahwa yang dari buku tabungan, meskipun sudah jatuh dalam gemeenschap, si isteri dapat memakai sendiri menurut kehendaknya sendiri dan begitu pulahalnya dengan gajinya, asal saja untuk keperluan keluarga.

Si isteri dapat diberi kekuasaan oleh hakim untuk menjual atau menggadaikan benda-benda gemeenschap dalam hal suaminya sedang bepergian atau tidak mampu memberikan izinnya.

Lazimnya dianggap mungkin, bahwa si suami dengan kuasa khusus mengusahakan isterinya untuk bertindak atas nama gemeenschap.[3] Dan sudah barang tentu, si suami itu dapat pula mencabut perizinan yang dianggap telah ia berikan (veronderstelde machtiging). Pencabutan yang demikian ini, untuk dapat berlaku harus diumumkan.
 

Hak dan kewajiban suami dan istri dalam KUH Perdata  [4]


BAB KE LIMA

Tentang hak dan kewajiban suami dan istri

103. Suami dan istri, mereka harus setia-mensetiai, tolong menolong, dan bantu-membantu.

104. Suami dan isteri, dengan mengikat diri dalam suatu perkawinan, dan hanya karena itu pun, terikatlah mereka dalam suatu perjanjian bertimbal balik, akan memelihara dan mendidik sekalian anak mereka.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan :

Pasal 31
  1. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
  2. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
  3. Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.

Pasal 32
  1. Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
  2. Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersama.

Pasal 33

Suami isteri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.

Pasal 34

  1. (Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
  2. (2) Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.
  3. (3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugutan kepada Pengadilan.

Menurut perspektif Kompilasi Hukum Islam:

Pasal 80

Tentang kewajiban suami

1. Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami istri bersama

2. Suami melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya

3. Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada istrinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa

4. Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung:

a. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri

b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak

c. Biaya pendidikan bagi anak

5. Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b diatas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya

6. Istri dapat membebaskan suamninya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b

7. Kewajiban suami sebagaimana dimaksut ayat 5 gugur apabila istrinya nusyuz.

Pasal 81
  1. Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya atau bekas istri yang masih dalam iddah
  2. Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam ‘iddah talak atau ‘iddah wafat
  3. Tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tentram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga
  4. Suami wajib melengkapi tempat Kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat-alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya

Pasal 82
  1. Suami yang punya istri lebih dari seorang berkewajiban memberi tempat tinggal dan biaya hidup pada masing-masing istri secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung masing-masing istri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan
  2. Dalam hal para istri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan istrinya dalam satu tempat kediaman.

Pasal 83

Tentang kewajiban istri

  1. Kewajiban utama bagi seorang istri adalah berbakti lahir dan batin kepada suami didalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum islam
  2. Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya

Pasal 84
  1. Istri dapat dianggap nusyuz jika tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah
  2. Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya
  3. Kewajiban suami pada ayat (2) diatas berlaku kembali sesudah istri tidak nusyuz
  4. Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus didasarkan atas bukti yang sah.

Pasal-pasal KHI dan UUP dapat dikatakan sangat jelas mengatur kedudukan suami istri, serta kewajiban antara suami istri. Dalam beberapa hal KHI mengadopsi pasal-pasal KHI seperti berkenaan dengan kedudukan suami sebagai kepala rumah tangga dan istri sebagai ibu rumah tangga, posisi yang seimbang, kewajiban saling mencintai, menghormati dan saling membantu.

Jika suami dan istri sama-sama menjalankan tanggung jawabnya masing-masing maka akan terwujudlah ketentraman dan ketenangan hati , sehingga sempurnalah kebahagiaan rumah tangga.

Demikian makalah kami tentang Hak dan Kewajiban Suami Istri Dalam Agama Islam, semoga dapatbermanfaat bagi kita semua. amin.

DAFTAR PUSTAKA
  • Subekti, 2001, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa.
  • Subekti dan Tjitrosudibio, 2009, Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: PT. DIAN RAKYAT.
  • Rahman, Abd, 2005, Kompilasi Hukum Islam. Bandung: Fokus Media.
  • Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

[1] Subekti, pokok-pokok hukum perdata, 2001, hlm.28
[2] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata,2001, hlm.31
[3] Ibid hlm.33
[4] Subekti , Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 2009, hlm.26

Post a Comment

Silahkan di Share kalau dianggap bermanfaat

 
Top