Biografi dan Istinbath "Penggalian" Hukum Imam Malik- Biografi dan Istinbath "Penggalian" Hukum Imam Malik- Pada masa sekarang ini umat Islam dalam melakukan amaliah ibadah khususnya pada masalah furu sering terjadi perbedaan, baik itu sedikit ataupun banyak, baik tidak begitu kelihatan maupun yang jelas kelihatan, hal ini sangat berpengaruh dengan kehidupan masyarakat Islam khususnya orang awam yang belum begitu mengerti dengan permasalahan ini. Sehingga sering terjadi perselisihan antara mereka dan menganggap bahwa pendapat mereka paling benar.
Oleh karena itu perlu kiranya bagi kami untuk membahas hal itu akan tetapi kami batasi dari segi salah satu imam madzhab baik dari biografi, pemikiran, cara penetapan hukum dan lain-lain, sehingga terjadi perbedaan pendapat dengan ulama madzhab lainnya.
Dari begitu banyaknya para imam fiqh yang menjadi pedoman bagi para Ulama Fiqh dalam metode penetapan hukum, disini kami membahas salah satu Ulama Fiqh yaitu imam malik yang dimana dalam metode penetapan hukum islam banyak diikuti oleh Ulama Fiqh baik pada masa Imam Malik masih hidup maupun Ulama Fiqh sekarang, dari metode penetapan hukum ataupun pendapatnya, hal ini dikarenakan beliau dikenal dengn ahlul hadis dan ulama fikih terkemuka pada jamannya dan kehati-hatian dalam memutuskan suatu persoalan hukum.
Untuk itu, walaupun sering terjadi perbedaan dalam pendapat baik dulu maupun sekarang, hal itu jangan menjadi salah satu sebab perpecahan umat islam akan tetapi menjadi suatu khazanah keilmuan Islam, Rasul berkata “ perbedaan pendapat dalam umatku adalah rahmat”. Pada tulisan saya kali ini akan membahas mengenai Biografi dan Istinbath Hukum Imam Malik.
Baca: Biografi AL-MATURIDI
Beliau dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang kurang mampu dalam bidang material, tetapi sangat taat dalam pelaksanaan ajaran Islam dan benar-benar cinta terhadap ilmu agama Islam, khususnya bidang al-Hadits, sehingga Imam Malik sangat menguasainya dan periwayatan al-Hadist banyak diperoleh dari Nafi’ Maula Ibnu Umar yang dikenal dengan sebutan Abu Suhail (salah satu guru Imam al-Zuhri).
Pada masa itu, kota Madinah merupakan pusat ilmu pengetahuan agama, kerana banyak para Tabi’in yang menerima ilmu tersebut dari para sahabat Nabi, sehingga banyak sekali para ulama’ yang berasal dari luar daerah berdatangan kesana untuk bertukar pikiran dengan para ulama’ Madinah, di samping menuntut ilmu.
A. Biografi Imam Malik
Nama lengkap beliau adalah Malik Bin Anas bin Malikbin Abi ‘Amar al-Asybahi al-‘Arabiy al-Yamniyyah. Ibunya bernama ‘Aisyah binti Syarik al-Azdiyyah dari Kabilah al-Yamaniyyah. Beliau dilahirkan tahun 93 H / 789 M. (712 M) di Kota Madinah dan meninggal tahun 179 H/ 789 M. Dalam usia 87 tahun. Kakeknya bernama Malik, yang datang ke Madinah setelah Rasulullah saw Wafat. Sedang kakeknya termasuk golongan “Tabi’in”, yang banyak meriwayatkan al-Hadits dari Umar bin Khatab, ‘Utsman Bin ‘Affan dan Thalhah, sehingga wajar jika beliau tumbuh sebagai sosok Ulama’ terkemuka dalam bidang ilmu Hadits dan Fiqh.[1] Guru yang dianggapnya paling berpengaruh adalah Abdullah ibn Yazid ibn Hurmuz, seorang Tabi’in muda. Di antara gurunya juga adalah Nafi’, tabi’in tua dan budak dari Abdullah bin Umar.[2]Beliau dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang kurang mampu dalam bidang material, tetapi sangat taat dalam pelaksanaan ajaran Islam dan benar-benar cinta terhadap ilmu agama Islam, khususnya bidang al-Hadits, sehingga Imam Malik sangat menguasainya dan periwayatan al-Hadist banyak diperoleh dari Nafi’ Maula Ibnu Umar yang dikenal dengan sebutan Abu Suhail (salah satu guru Imam al-Zuhri).
Pada masa itu, kota Madinah merupakan pusat ilmu pengetahuan agama, kerana banyak para Tabi’in yang menerima ilmu tersebut dari para sahabat Nabi, sehingga banyak sekali para ulama’ yang berasal dari luar daerah berdatangan kesana untuk bertukar pikiran dengan para ulama’ Madinah, di samping menuntut ilmu.
Pola Pikir dan Metode Istinbath Imam Malik
Imam Malik adalah seorang Imam Mujtahid dan ahli ibadah sebagaimana imam Abu Hanifah. Karena ketekunan dan kecerdasan yang dimilikinya, beliau tumbuh dengan cepat sebagai ulama kenamaan dalam bidang Ilmu al-Hadits dan fiqh.
Karena merasa memiliki kewajiban untuk membagi pengetahuan yang telah dimilikinya kepada orang lain yang membutuhkannya. Maka beliau mulai mengajar dan menulis, sehingga wujudlah kitab Muwatha’ yang menjadi rujukan pertama para ahli fiqh dan al-Hadist, bahkan tidak sedikit dari golongan muhadditsin yang mempelajarinya, sebab susunannya telah diatur sistematis menurut sistim fiqh, bahkan Imam Syafi’iy menanggapinya dengan menyatakan bahwa tidak ada satupun kitab setelah kitab Allah dimuka bumi ini yang yang lebih sah dari pada kitab Imam Malik.
Namun demikian, beliau sering mengalami berbagai macam kekejaman dan keganasan yang sangat berat dari penguasa, lantaran sikapnya yang tidak mau mencabut fatwanya yang bertentangan dengan khalifah al-Manshur dari Bani Abbasiyyah di Baghdad, akibatnya beliau mendapat siksaan berat dan dihukum penjara.
Imam Malik termasuk salah satu ulama’ yang sangat teguh dalam membela kebenaran. Bahkan beliau sangat berani dalam menyampaikan apa-apa yang telah diyakini akan kebenarannya, misalnya pada suatu ketika Harun al-Rasyid memperingatkan beliau untuk tidak mengatakan sepotong Hadist tertentu, tetapi tidak dihiraukannya, lalu beliau membacakan al-Quran surat al-Baqarah ayat 159. Yang artinya:
“sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa-apa yang Allah turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, maka akan dilaknat oleh Allah dan semua makhluk”.
Sedang dalam masalah hukum dan fatwa, beliau sangat berhati-hati dalam membuat keputusan yang akan diambilnya. Hal ini dibuktikan dengan pernyataannya sendiri yang mengatakan bahwa “Aku tidak pernah memberikan fatwa dan meriwayatkan suatu Hadist, selama 70 orang Ulama’ belum mau membenarkan dan mau mengakui kebenaran yang akan fatwanya.
Karena merasa memiliki kewajiban untuk membagi pengetahuan yang telah dimilikinya kepada orang lain yang membutuhkannya. Maka beliau mulai mengajar dan menulis, sehingga wujudlah kitab Muwatha’ yang menjadi rujukan pertama para ahli fiqh dan al-Hadist, bahkan tidak sedikit dari golongan muhadditsin yang mempelajarinya, sebab susunannya telah diatur sistematis menurut sistim fiqh, bahkan Imam Syafi’iy menanggapinya dengan menyatakan bahwa tidak ada satupun kitab setelah kitab Allah dimuka bumi ini yang yang lebih sah dari pada kitab Imam Malik.
Namun demikian, beliau sering mengalami berbagai macam kekejaman dan keganasan yang sangat berat dari penguasa, lantaran sikapnya yang tidak mau mencabut fatwanya yang bertentangan dengan khalifah al-Manshur dari Bani Abbasiyyah di Baghdad, akibatnya beliau mendapat siksaan berat dan dihukum penjara.
Imam Malik termasuk salah satu ulama’ yang sangat teguh dalam membela kebenaran. Bahkan beliau sangat berani dalam menyampaikan apa-apa yang telah diyakini akan kebenarannya, misalnya pada suatu ketika Harun al-Rasyid memperingatkan beliau untuk tidak mengatakan sepotong Hadist tertentu, tetapi tidak dihiraukannya, lalu beliau membacakan al-Quran surat al-Baqarah ayat 159. Yang artinya:
“sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa-apa yang Allah turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, maka akan dilaknat oleh Allah dan semua makhluk”.
Sedang dalam masalah hukum dan fatwa, beliau sangat berhati-hati dalam membuat keputusan yang akan diambilnya. Hal ini dibuktikan dengan pernyataannya sendiri yang mengatakan bahwa “Aku tidak pernah memberikan fatwa dan meriwayatkan suatu Hadist, selama 70 orang Ulama’ belum mau membenarkan dan mau mengakui kebenaran yang akan fatwanya.
Baca juga: Pengertian serta Kedudukan Qoul dan Manhaj dalam Aswaja
Yang dimaksud dengan Maslahah al-Mursalah adalah maslahah yang ketentuan hukumnya dalam nash tidak ada. Para ulama bersepakat bahwa Mashlahah al-Mursalah bisa dijadikan sebagai dasar pengambilan hukum dengan memenuhi persyaratan diantaranya, pertama, Maslahah itu harus benar-benar Mashlahah yang pasti menurut penelitian, bukan hanya sekedar perkiraan sepintas kilas. Kedua, Mashlahah harus bersifat umum untuk masyarakat dan bukan hanya berlaku pada orang tertentu yang bersifat pribadi. Ketiga, Mashlahah itu harus benar-benar yang tidak bertentangan dengan ketentuan Nash atau Ijma.[5]
Metode Istinbath Hukum Imam Malik
Dengan melihat sikap kehati-hatian dan ketelitian Imam Malik dalam menetapkan hukum Islam, selalu berpegang teguh pada hal-hal sebagai berikut:1. Al-Qur’an.
Sebagaimana Imam-imam lainnya, Imam Malik menempatkan Al-Quran sebagai sumber hokum paling utama dan memanfaatkannya tanpa memberikan prasyarat apapun dalam penerapanya.2. Al-Sunnah.
Dalam hal ini, Imam Malik mengikuti pola yang dilakukanya dalam berpegang teguh kepada al-Qur’an. Artinya: Jika dalil syara’ itu menghendaki adanya penta’wilan, maka yang dijadikan pegangan adalah arti ta’wil.[3]3. Ijma’ Ahl Madinah
Imam Malik berpandangan bahwa karena sebagian besar masyarakat Madinah merupakan keturunan langsung para sahabat dan Madinah sendiri menjadi tempat Rasulullah SAW menghabiskan sepuluh tahun terakhir hidupnya, maka praktik yang dilakukan semua masyarakat Madinah pasti diperbolehkan, jika tidak malah dianjurkan oleh Nabi SAW sendiri. Oleh karenanya Imam Malik menganggap praktek umum masyarakat Madinah sebagai bentuk Sunnah yang sangat otentik yang diriwayatkan dalam bentuk tindakan, bukan kata-kata.4. Fatwa sahabat
Ketentuan hukum yang telah diambil oleh sahabat besar berdasarkan pada Naql.5. Qiyas
Imam Malik pernah menerapkan penalaran deduktifnya sendiri menegenai persoalan-persoalan yang tidak tercakup oleh sumber-sumber yang telah disebutkan sebelumnya. Namun demikian, ia sangat berhati-hati dalam melakukannya karena adanya subyektifitas dalam bentuk penalaran seperti itu.6. Istislah (Mashlahah Mursalah)
Istislah adalah menegkalkan apa yang telah ada karena suatu hal yang belum diyakini.[4]Yang dimaksud dengan Maslahah al-Mursalah adalah maslahah yang ketentuan hukumnya dalam nash tidak ada. Para ulama bersepakat bahwa Mashlahah al-Mursalah bisa dijadikan sebagai dasar pengambilan hukum dengan memenuhi persyaratan diantaranya, pertama, Maslahah itu harus benar-benar Mashlahah yang pasti menurut penelitian, bukan hanya sekedar perkiraan sepintas kilas. Kedua, Mashlahah harus bersifat umum untuk masyarakat dan bukan hanya berlaku pada orang tertentu yang bersifat pribadi. Ketiga, Mashlahah itu harus benar-benar yang tidak bertentangan dengan ketentuan Nash atau Ijma.[5]
7. Al-Istihsan
Menurut Imam Malik adalah menentukan hokum dengan mengambil mashlahah sebagai bagian dalil yang bersifat menyeluruh dengan maksud mengutamakan Istidlalul Mursah dari pada Qiyas, sebab mengunakan istihsan itu, tidak berarti hanya mendasarkan pada pertimbangan perasaan semata, tetapi mendasarkan pada Maqashid al-Syari’ah secara keseluruhan.8. Sadd al-Zara’i
Menutup jalan atau sebab yang menuju kepada hal-hal yang dilarang. Dalam hal ini Imam Malik menggunakannya sebagai salah satu dasar pengambilan hukum, sebab semua jalan atau sebab yang bisa mengakibatkan terbukanya suatu keharaman, maka sesuatu itu jika dilakukan hukumnya haram.9. Syar’u man Qablana
Prinsip yang dipakai oleh Imam Malik dalam menetapkan hukum adalah kaidah dan prinsip ini dijadikan sebagai salah satu dasar pengambilan hukum oleh Imam Malik.10. Istishab
Tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau yang akan datang berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah berlaku dan sudah ada dimasa lampau, maka sesuatu yang sudah diyakini adanya, kemudian datang keraguan atas hilangnya sesuatu yang telah diyakini adanya tersebut, maka hukumnya tetap seperti hukum pertama yaitu tetap ada.Karya dan Pengikut Madzhab Maliki
Imam Malik memiliki beberapa karya yang ditulis semasa waktu beliau hidup dan ada pengikut yang setia kepadanya sebagaimana berikut:1. Karya Imam Malik
Penyabaran suatu pemikiran dari seorang tokoh, dapat dilihat dari adanya dan tidaknya karya yang telah dihasilkan dengan dukugan para murid dan pendukung yang siap menyebarkan dan mengembangkannya. Sedang diantara karya Imam Malik terbesar adalah:- Kitab “Al-Mudawanah al-kubra”.
- Kitab “Al-Muwaththo” yang ditulis tahun 144 H. Atas anjuran Khalifah Ja’far al-Manshur.
Dari hasil penelitian jumlah atsar Rasulullah, sahabat dan tabi’in yang ada didalamnya adalah 1.720 buah. Dan didalam pembahasannya, ditemukan adanya dua aspek pembahasan, yaitu aspek al-Hadist. Dan aspek al-Fiqh.
1) Aspek Al-Hadist
Dalam aspek ini, lebih disebabkan karena al-Muwatho’ banyak sekali yang mengandung al-Hadist, baik yang berasal dari Rasulullah, sahabat maupun tabi’in. Semuanya kebanyakan didapat dari sejumlah orang yang jumlahnya ,encapai 95 orang yang berasal dari Madinah kecuali empat orang, dan jumlah al-Hadist yang diterimanya tidak banyak, bahkan ada yang hanya satu atau dua buah saja, yaitu: Abu al-Zubair dari Makkah, Humaid al-Ta’wil dari Bashrah, Ayyub al-Sahtiyaany dari Bashrah, Ibrahim bin Abi Ablah dari Syam. Atho’ bin Abdullah dari Khurasan dan Abdul Karim dari Jazirah Arab.Adapun orang-orang yang meriwayatkan al-Hadist kepada Imam Malik tersebut, ada yang berjumlah besar, seperti ibnu shihab al-Zuhry, Nafi’ dan Yahya ibn Sa’ad. Sedang mereka itu kebanyakan para sahabat yang sudah lama berdomisili di Madinah.
Sedangkan sanad yang ada didalam kitab Muwatho’ itu, ada yang lengkap yang Mursal, Muttashil dan yang Muqathi’, bahkan ada yang disebut dengan istilah “Bataghat” [6]yaitu sanad yang tidak menyebutkan dari siapa Imam Malik menerimanya.
Dalam pengumpulannya, Imam Malik melakukan penyeleksian yang sangat ketat dan teliti, sehingga memakan waktu yang relatif lama dalam mewujudkan sebuah karya besar, bahkan ada yang menyatakan telah mengumpulkan sebanyak 4.000 buah al-Hadist, yang ketika beliau wafat jumlahnya tinggal 1.000 saja, sebab setiap tahunnya hadist-hadist tersebut diusahakan agar lebih sesuaiuntuk kaum muslimin dan man yang lebih mendekati kebenaran. Dalam keadaan seperti itulah, maka kedudukan Kitab Muwatho’ dikalangan Muhadditsin setelah dilakukan penelitian, memiliki kedudukan bahwa kedudukan kitab-kitab al-Hadist yang disusun oleh Imam Bukhari-Muslim.
2) Aspek Fiqh
Adapun yang dimaksutkan dengan istilah aspek “Fiqh” adalah karena kitab al-Muwatha’ ini disusun berdasarkan sistematika bab-bab pembahasan kitab-kitab fiqh, yaitu bab Thaharah, Shalat, Zakat, Shiam, Nikah dan seterusnya dan setiap bab dibagi lagi menjadi beberapa fasal, seperti dalam bab Shalat ditemukan adanya fasal tentang shalat jama’ah, shalat safar dan seterusnya, sehingga hadist-hadist yang ada dalam kitab al-Muwatha’ ini serupa dengan kitab-kitab fiqh.Dengan begitu, kitab-kitab karya Ulama’ bermadzhab Maliki itu adalah sebagai berikut:
- Al-Muwatha’ al-Sughra, Hadist koleksi Imam Malik, karya Imam Malik.
- Al-Muwatha’ al-Kubra, Kumpulan Risalah Imam Malik oleh As’adbin al-Furat al-Naisaburi.
- Al- Mudawwanah, kumpulan hasil diskusi As’ad dengan ibn al-Qasim, oleh As’ad Bin Firat Naisabury.
- Al-Asadiyah, hasil revisi Shanuun dari kitab al-Mudawwanah karya As’ad, oleh Shanuun menurut Madzhab Imam Malik.
2. Murid Imam Malik
Kebanyakan imam-imam yang termasyhur pada zaman Imam Malik adalah murid beliau dan murid-muridnya datang dari berbagai penjuru negeri, Di antara murid-muridnya adalah:- Abu Abdurrahman bin Qasim ( 745-813 M ). Beliau lahir di Mesir namun ia pindah ke Madinah dan menimba ilmu dengan Imam Malik selama lebih 20 tahun, Imam Qasim menulis sebuah buku yang mendalam tentang fiqh Madzhab yang berjudul Al-Mudawwanah, yang bahkan melampaui Al-Muwatta’ karya Imam Malik sendiri.
- Abu Abdullah bin Wahab ( 742-819 M ). Ibn Wahab juga dari Mesir ia pindah ke Madinah untuk belajar kepada Imam malik, Ibn Wahab mempunyai keahlian mendiskusikan hokum hingga mencapai kemampuan tertentuy yang gurunya sendiri kemudian memberikan julukan Al-Mufti, yang berarti pengurai hukum Islam.[7]
- Asyhab bin Abul Aziz
- Asad Bin Al-Furat
- Abdul Malik Bin Al-Masjisun
- Abdullah Bin Abdul Hakim
3. Pengikut Imam Malik
Saat ini pengikut-pengikut Madzhab Maliki banyak tersebar di daerah Mesir, Sudan, Afrika Utara ( Tunisia, Aljazair dan Maroko ) Afrika Barat ( Mali, Nigeria, Chad,) dan Negara-negara Arab ( Kuwait, Qatar, Bahrain ).Perkembangan Madzhab Maliki
Pada awalnya, madzhab Imam Malik timbul dan berkembang di kota Madianah sebagai tempat kelahiran yang sekaligus tempat domisi Imam Malik, kemudian berkembang di negara Hijaz dan Mesir, sekalipun di Mesir sempat mengalami kesurutan akibat berkembangnya madzhab Syafi’i. Sekalipun demikian pada masa pemerintahan dipegang oleh al-Ayyubi, sebagai pengikut madzhab Maliki, mengalami kemajuan kembali.Selanjutnya, dimasa pemerintahan dipegang Hisyam Ibn Abdurrahman yang bermadzhab Maliki, yang mendapatkan kedudukan tinggi dengan menjabat sebagai seorang Hakim negara, sehingga memberi dampak madzhab Maliki bertambah subur dan berkembang sangat pesat. Dari realitas seperti itulah, wajar jika pada permulaannya faktor kedudukan dan kekuasaan menjadi salah satu penyebab berkembang luasnya aliran madzhab Hanafi di daerah Timur dan aliran Madzhab Malik di daerah Andalusia.
Adapun para sahabat dan murid Imam Malik yang sangat berjasa dalam mengembangkan madzhabnya adalah:
1. Di Mesir, antara lain:
- Abu Hasan Ali bin Ziayad al-Thusiy (w.183 H) sebagai pakar hukum Islam di Afrika.
- Abu Abdillah Ziyah bin Abdurrahman al-Quthubiy (w. 193 H), pembuka Madzhab Maliki di Andalusia.
- Isa bin Dinar al-Qurthubiy al-Andalusiy (w. 212 H) pakar hokum Islam di Andalusiy.
- Asad bin al-Furat bin Sinan al-Tunisy (145-213 H).
- Yahya bin yahya bin Kathir al-Laithiy (w. 234 H), penyeber Madzhab Maliki di Andalusi.
- Abul Malik bin Hubaib bin Sulaiman al-Sulami (w. 238 H).
- Sahnun Abdus Salam bin Sa’id al-Tanukhi, (w. 240 H), penyusun kitab pegangan para ulama’ Madzhab Maliki.
2. Di Hijaz dan Irak, diantaranya adalah:
- Abu Marwan Abadul Malik bin Abiu Salamah al-Majishun (w.212 H).
- Ahamad bin Mu’adl-dlal bin Ghailan al-‘Abdiy.
- Abu Ishak Isma’il bin Ishak (w.282 H).
Sedang para pengikut diadab ke-lima dan ke-enam hijriyyah diantaranya adalah Abdul Wahid al-baji, Abdul Hasan, Al-Lakhamiy, Ibnu Rusyd al-Kabir, Ibnu-Rusyd al-Hafidh dan Ibnu al-‘Araiy, kemudian disusul dengan adanya Abu Qasim al-Jizziy (w 741 H) pengarang kitab “ al-Qawanin al-Fiqhiyyah Fi Talkhishi Madzhabi al-Malikiy” dan Sayyid Khalil (w 11 767 H) dan al-Adawiy (1189 H) dan masih banyak yang lain, diantaranya adalah ‘Utsman bin al-Hakam al-Juzami, Abdurrahman Ibn Khalid Ibn Yazid Ibn Yahya, Abdurrahman ibn al-Qasim, Asyhab ibn Abdul’Aziz, Ibn Abdul Hakam, Haris ibn Miskin dan orang-orang yang semasa dengan mereka.
Oleh sebab itulah, maka dalam perkembangan selanjutnya Madzhab Maliki sebagaimana keterangan diatas yang mana lahir di Madinah dan tersiar di Hijaz kemudian dianut oleh para Ulama dan penduduk Maghribi dan Andulisia, yang pada umumnya gaya hidup mereka tidak semaju gaya hidup orang-orang di Irak , sehingga gaya hidup mereka jika dilihat dari sisi ini akan condong pada gaya hidup penduduk Hijaz,[8] sekalipun demikian, madzhab Maliki ini sampai sekarang masih saja tetap menjadi madzhab kaum muslimin hampir di seluruh Negara, bahkan Madzhab Maliki sampai sekarang masih diikuti sebagian besar kaum muslimin di Maroko, Algers, Tunisia, Lybia dan Mesir. Begitu juga di Irak Palestina, Hijaz dan lain-lain disekitar Jazirah Arabia, sekalipun pengikutnya tidak seberapa banyak, diantaranya secara keseluruhan kira-kira mendekati jumlah empat sampai lima juta pengikut.
Penutup
Imam Mailiki merupakan bagian dari empat madzhab fiqh, Beliau termasuk kelompok ulama ahli Ra’yu yang mahir dalam bidang fiqh, dalam Ilmu Fiqh beliau belajar kepada ulama ahli fiqh terkenal yaitu ‘Rabi’ah’, serta beliau juga belajar bidang Ilmu fiqh kepada Abdurrahman Bin Hurmuz selama 7 tahun, sehingga semua metode pembentukan hokum bagi madzhabnya, banyak dipengaruhi oleh pola fikir Abdurrahman Bin Hurmuzt tersebut.
Metode Istidlal Imam malik dalam menetapkan hukum Islam mengunakan sikap kehati-hatian dan ketelitian dan Imam malik selalu berpegang teguh pada hal-hal berikut:
Dalam perkembangan selanjutnya Madzhab Maliki sebagaimana keterangan di atas yang mana lahir di Madinah dan tersiar di Hijaz kemudian dianut oleh para Ulama dan penduduk Maghribi dan Andulisia dan hingga sekarang masih banyak yang menganut madzhab beliau.
Metode Istidlal Imam malik dalam menetapkan hukum Islam mengunakan sikap kehati-hatian dan ketelitian dan Imam malik selalu berpegang teguh pada hal-hal berikut:
- Al-Quran
- Al-Sunnah
- Ijma’ Ahl Madinah
- Fatwa sahabat
- Qiyas
- Al Mashlahah al Mursalah
- Al-Istihsan
- Sadd al-Zara’i
- Syar’u man Qablana
- Istishhab
Dalam perkembangan selanjutnya Madzhab Maliki sebagaimana keterangan di atas yang mana lahir di Madinah dan tersiar di Hijaz kemudian dianut oleh para Ulama dan penduduk Maghribi dan Andulisia dan hingga sekarang masih banyak yang menganut madzhab beliau.
DAFTAR PUSTAKA
- Bilal Philips, Abu Ameenah, Asal-usul dan Perkembangan Fiqh: Analisis Historis atas madzhab Doktrin dan Kontribusi. Bandung: Nusamedia, 2005.
- Ma’shum Zein, Muhammad, Arus Pemikiran Empat Madzhab: Studi Analisis Istinbhath Para fuqoha’ . Jombang: Darul Hikmah, 2008.
- Sopyan, Yayan, Tarikh Tasyri’: Sejarah Pembentukan Hukum Islam. Depok: Gramatha Publishing, 2010.
- Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
- Syurbasi, Ahmad, Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzhab: Hanafi-Maliki-Syafi’i-Hambali. Jakarta: Amzah,2013.
- http://luckysetiania.blogspot.com/2012/01/imam-malik.html
__________________________________________________________________________________
- Muhammad Ma’shum Zein, Arus Pemikiran Empat Madzhab: Studi Analisis Istinbhath Para fuqoha’ ( Jombang: Darul Hikmah, 2008), hal: 141
- Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’: Sejarah Pembentukan Hukum Islam, (Depok: Gramatha Publishing, 2010), Hal: 121
- Ibid, hal: 145
- Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), Hal: 54.
- http://luckysetiania.blogspot.com/2012/01/imam-malik.html, Diakses tgl 8/3/15 jam 12.28.
- Ibid, hal 153
- Abu Ameenah Bilal Philips, Asal-usul dan Perkembangan Fiqh: Analisis Historis atas madzhab Doktrin dan Kontribusi, (Bandung: Nusamedia, 2005), Hlm: 100.
- Ibid, Hal: 157
Post a Comment
Silahkan di Share kalau dianggap bermanfaat