0
Hak Kewarisan Dzawil Arham Menurut Para Ahli Fiqh, Dzawil Arham
Fiqh Mawaris
Hak Kewarisan Dzawil Arham Menurut Para Ahli Fiqh - Dzawil arham secara etimologi diartikan ahli waris hubungan kerabat. Namun pengertian hubungan kerabat itu begitu luas dan tidak semuanya tertampung dalam kelompok orang yang berhak menerima warisan.

Secara umum dzawil arham adalah orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan. Dikalangan ulama Ahlussunnah kata dzawil arham dikhususkan pada penggunaan dalam kewarisan pada orang-orang yang mempunyai hubungan keturunan yang tidak disebutkan oleh Allah furudhnya dalam al-Qur’an dan tidak pula dalam kelompok orang-orang yang berhak atas sisa harta. 
Artikel terkait: Nama-nama lain Al-Quran

Dengan kata lain dzawil arham adalah orang yang berhubungan keturunan selain orang yang disebutkan dalam al-Qur’an dan selain garis laki-laki melalui garis laki-laki, tentunya ia adalah perempuan yang dihubungkan kepada pewaris melalui perempuan, baik laki-laki maupun perempuan. Secara sederhana dapat terlihat perbedaan antara ashabah dan dzawil arham, yakni ashabah adalah laki-laki dan dzawil arham adalah perempuan (atau melalui perempuan).

Ahli waris yang berhak menerima warisan adalah dzaul furudh dan ahli waris ashabah, dengan cara pembagian mula-mula diberikan kepada dzaul furudh kemudian harta selebihnya diberikan kepada ahli waris ashabah. Apabila masih ada sisa dari pembagian harta warisan, maka kelebihan itu diberikan kepada kerabat lain yang belum mendapat. Kerabat lain yang belum mendapat itulah yang dinamai sebagai dzawil arham. Semua ahli fikih menyebut ahli waris dzawil arham sebagai ahli waris dalam hubungan kerabat yang bukan dzawul furudh dan bukan pula ashabah.
Artikel terkait: Pengertian, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam
Banyak perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai, apakah dzawil arham berhak menjadi ahli waris atau tidak.

Imam Syafi’I, Malik dan golongan Zhahiri berpendapat bahwa dzawil arham tidak memiliki hak atas warisan. Harta yang ditinggal (mayit) setelah diberikan kepada dzaul furudh dan si mayit tidak memiliki ashabah, atau tidak memiliki ahli waris sama sekali, maka harta tersebut diserahkan ke baitul maal.

Menurut Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal berhaknya ahli waris dzawil arham atas seluruh harta dan sisa harta bila tidak ada ahli waris sama sekali dan tidak ada ahli waris ashabah.[1]

Golongan ulama mutaakhir dari Syafi’iyah berpendapat bahwa dzawil arham berhak menerima waris dengan ketentuan baitul maal tidak kredibel, harta yang ditinggal tidak dapat dikembalikan kepada dzaul furudh secara radd atau tidak ada dzaul furudh dan ashabah sama sekali.[2]
Artikel terkait: Konsep Takhali

Ahli waris dzawil araham, menurut al-Mahalli dikalangan ulama Syafi’iyah mengelompokkan menjadi 10 macam :[3]
  1. Ayah dari ibu, setiap kakek dan nenek yang bukan dzaul furudh, termasuk ayah dari ayahnya ibu, ibu dari ayahnya ibu.
  2. Anak-anak dari anak perempuan, langsung atau melalui perantara, baik laki-laki maupun perempuan.
  3. Anak-anak perempuan dari saudara, baik kandung, seayah, atau seibu.
  4. Anak-anak dari saudara perempuan kandung, seayah atau seibu, baik laki-laki atau perempuan.
  5. Anak-anak laki-laki dan perempuan dari saudara seibu, baik laki-laki atau perempuan.
  6. Paman seibu atau laki-laki yang seibu dengan ayah.
  7. Anak-anak perempuan dari paman, baik kandung atau seayah atau seibu.
  8. Saudara-saudara perempuan dari ayah, baik kandung, seayah atau seibu.
  9. Saudara-saudara laki-laki dari ibu, baik kandung, seayah atau seibu.
  10. Saudara-saudara perempuan dari ibu, baik kandung, seayah atau seibu.
  11. Serta orang-orang yang berhubungan dengan sepuluh kelompok di atas, baik secara langsung atau melalui perantara.[4]
Demikian artikel saya yang berjudul "Hak Kewarisan Dzawil Arham Menurut Para Ahli Fiqh" semoga dapat bermanfaat dalam pengetahuan dan pembagian waris yang sedang anda lakukan dan kerjakan.


Refrensi:
[1] Ibnu Qudamah, al-Mughny VI, hlm. 316
[2] Al-Mahalli, al-Syarkh Minhaj al-Thalibin III, hlm. 138
[3] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta : Kencana, 2004, hlm. 248
[4] Ibid.

Post a Comment

Silahkan di Share kalau dianggap bermanfaat

 
Top