1
Sejarah Perekonomian Islam, Sejarah Ekonomi Islam, Ekonomi Islam :Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Ekonomi Syariah: SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM,
Sejarah Perekonomian Islam dari Masa ke Masa - untuk membangun sebuah bangsa yang besar diperlukan perekonomian yang mapan. oleh sebab itu sejarah perekonomian terdahulu perlu kita baca kembali untuk diterapkan di masa kini dan yang akan datang. terlebih mempelajari sejarah perekonomian islam dari masa kemasa disebabkan dulu islam terkenal dengan perekonomian yang mapan di dunia.

Perekonomian di masa Rasulullah Saw (571-632 M)

Kehidupan Rasulullah Saw dan masyarakat Muslim di masa beliau adalah teladan yang paling baik implementasi Islam, termasuk dalam bidang ekonomi. Meskipunpada masa sebelum kenabian Muhammad SAW adalah seorang pembisnis, tetapi yang dimaksudkan perekonomian di Rasulullah disini adalah pada masa Madinah. Pada periode Makkah masyarakat Muslim belum sempat membangun perekonomian, sebab masa itu penuh dengan perjuangan untuk mempertahankan diri dari intimidasi orang-orang Quraisy. Barulah pada periode Madinah Rasulullah memimpin sendiri membangun masyarakat Madinah sehingga menjadi masyarakat sejahtera dan beradab. Meskipun perekonomian pada masa beliau relative masih sederhana, tetapi beliau telah menunjukkan prinsip-prinsip yang mendasar bagi pengelolaan ekonomi. Krakter umum dari perekonomian masa itu adalah komitmennya yang tinggi terhadap etika dan norma, serta perhatiannya yang besar terhadap keadilan dan pemerataan kekayaan. Usaha-usaha ekonomi harus dilakukan secara etisb dalam bingkai syariah Islam.

Sebagaimana pada masyarakat Arab lainnya, mata pencaharian mayoritas penduduk Madinah adalah berdagang , sebagian yang lain bertani, beternak, dan berkebun. Berbeda dengan makkah yang gersang. Kegiatan ekonomi pasar relative menonjol pada masa itu, dimana untuk menjaga agar mekanisme pasar tetap berada dalam bingkai etika dan moraliitas Islam Rasulullah mendirikan Al-Hisbah. Al-Hisbah adalah institusi yang bertugas sebagai pengawas pasar. Rasulullah juga membentuik Baitul Maal, sebuah institusi yang bertindak sebagai pengelola keuangan negara. Baitul Maal ini memegang peranan yang sangat penting bagi perekonomian, termasuk dalam melakukankebijakan yang bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat.

Untuki memutar roda perekonomian, Rasulullah mendorong kerja sama usaha di antara anggota masyarakat, misalnya Muzaraah, Mudharabah, Musaqah, dan lain-lain. Sehingga terjadi peningkatan produktivitas. Namun sejalan dengan perkembangan masyarakat Muslim, maka sumber penerimaan negara juga meningkat. Sumber pemasukan negara berasal dari beberapa sumber, tertapi yang paling pokok adalah zakat dan ushr. Secara garis besar pemasukan negara ini dapat digolongkan bersumber dari umat Islam sendiri, non Muslim dan umum,, sebagaimana yang tercantum di bawah ini

· Dari kaum Muslim

Zakat, Ushr (5-10%), Ushr (2,5%), Zakat fitrah, wakaf, Amwal Fadila, Nawaib, Shadaqah yang lain, Khumus

· Dari kaum non-Muslim

Jizyah, Kharaj, Ushr (5%)

· Dari umum

Ghanimah, Fay, Uang tebusan, Pinjaman dari kaum Muslim atau non-Muslim, Hadiah dari pemimpin atau pemerintah negara lain.[1]

Harta rampasan perang (ghanimah) juga merupakan pendapatan negara, meskipun nilainya relative tidak besar jika di bandingkan dengan biaya peperangan yang dikeluarkan. Nilai harta rampasan pada dekade awal Hijrah (622-632 M) tidak lebih dari 6 juta dirham. Bila diperkirakan dengan biaya hidup di Madinah untuk rata-rata keluarga yang terdiri atas enam orang sebesar 3.000 dirham per tahun, jumlah harta itu hanya dapat menunjang sejumlah kecil dari populasi Muslim dan juga akibat perang tersebut, diperkirakan biaya untuk perang lebih dari 60 juta dirham, epuluh kali lebih besar dari harta rampasan. Kontribusi harta rampasan perang terhadap pendapatan kaum Muslim selama 10 tahun kepemimpinan Rasulullah Saw, tidak lebih dari 2 persen.

Zakat dan Ushr merupakan sumber pendapatan poko, terutama setelah tahun ke-9 H dimana zakat mulai diwajibkan. Berbeda dengan sumber penerimaan yang lain yang pemanfaatannya ditentukan oleh Rasulullah Saw. Zakat hanya boleh diberikan kepada pihak-pihak tertentu yang telah digariskan oleh Alqur’an (QS At Taubah: 60). Untuk orang-orang non-Muslim, Rasulullah memungut jizyah sebagai bentuk kontribusi dalam penyelenggaraan negara. Pada masa itu besarnya jizyah satu dinar per tahun untuk orang dewasa yang mampu membayarnya. Perempuan, anak-anak, pengemis, pendeta, orang tua, penderita sakit dan semua yang menderita penyakit dibebaskan dari kewajiban ini.

Beberapa sumber pendapatan yang tidak terlalu besar berasal dari beberapa sumber, misalnya : tebusan taweanan perang, pinjaman dari kaum Muslim, khumus atas rikaz harta karun temuan pada periode sebelum Islam, amwal fadhla (harta kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli waris), wakaf, nawaib (pajak bagi Muslimin kaya dalam rangka menutupi pengeluaran negara selama masa darurat, zakat fitrah, kaffarat (denda atas kesalahan yang dilakukan seorang Muslim pada acara keagamaan), maupun sedekah dari kaum Muslim.

Setelah menyelesaikan masalah politik dan konstitusional, Rasulullah Saw merubah sistem ekonomi dan keuangan negara sesuai dengan ketentuan Alquran. Prinsip-prinsip kebijakan ekonomiyang dijelaskan Alquran adalah sebagai berikut :
  1. Allah Swt adalah penguasa tertinggi sekaligus pemilik absolut seluruh alam semesta.
  2. Manusia hanyalah khalifah Allah Swt di muka bumi, bukan pemnilik yang sebenarnya.
  3. Semua yang dimiliki dan didapatkan manusia adalah seizin Allah Swt. Oleh karena itu, manusia yang kurang beruntung mempunyai hak atas sebagian kekayaan yang dimiliki manusia lain yang lebih beruntung.
  4. Kekayaan harus berputar dan tidak bileh di timbun.
  5. Eksploitasi ekonomidalam segala bentuknya, termasuk riba, harus dihilangkan.
  6. Menerapkan sistem warisan sebagai media re-distribusi kekayaan.
  7. Menetapkan kewajiban bagi seluruh individu, termasuk orang-orang miskin.[2]

Para khulafaurrasyidin adalah penerus kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. Karena kebijakan mereka tentang perekonomian pada dasarnya adalah melanjutkan dasar-dasar yang di bangun Rasulullah. Khalifah pertama Abu Bakar Shiddiq (51 SH- 13 H/537-634 M) banyak menemui permasalahan dalam pengumpulan zakat, sebab pada masa itu mulai muncul orang-orang yang enggan membayar zakat. Beliau membangun lagi Baitul Maal dan meneruskan sistem pendistribusian harta untuk rakyat sebagaimana pada masa Rasulullah. Beliau juga mulai melopori sistem penggajian bagi aparat negara, misalnya untuk khalifah sendiri digaji amat sedikit, yaitu 2,5 atau 2,75 dirham setiap hari hanya dari Baitul Maal. Tunjangan tersebut kurang mencukupi sehingga ditetapkan 2.000 atau 2.500 dirham dan menurut keterangan lain 6.000 dirham pertahun.

Khalifah ke dua, Umar bin khattab (40 SH-23 H/584-644 M), dipandang banyak melakukan inivasi dalam perekonomian. Umar bin khattab menyadari pentingnya sektor pertanian bagi perekonomian, karenanya ia mengambil langkah-langkah besar pengembangan bidang ini. Misalnya ia menghadiahkan tanah pertanian kepada masyarakat yang bersedia menggarapnya. Namun, siapa saja yang gagal mengelolanya selama 3 tahun maka ia akan kehilangan hak kepemilikannya atas tanah tersebut. Pada masa Umar hukum perdagangan mengalami penyempurnaan guna menciptakan perekonomian secara sehat. Umar mengurangi beban pajak terhadap beberapa barang, juga di bangun pasar-pasar, guna memperlancar arus pemasukan bahan makanan ke kota-kota.

Umar membangun Baitul Maal yang reguler dan permanen di ibu kota, kemudian dibangun cabang-cabang dan di ibu kota provinsi. Selain sebagai bendahara negara, Baitul Maal juga bertugas sebagai pelaksana kebijakan fiskal dan khalifah adalah yang berkuasa penuh atas dana tersebut. Bersamaan dengan reorganisasi Baitul Maal, umar mendirikan Diwan Islam yang pertama, yang disebut al-Diwan. Sebenarnya al-Diwan adalah sebuah kantor yang ditunjukkan untuk membayar tunjangan-tunjangan angkatan perang dan pensiun serta tunjangan lainnya dalam basis yang reguler dan tepat. Khalifah juga menunjukkan sebuah komite yang terdiri dari Nassab ternama untuk membuat laporan sensus penduduk Madinah sesuai dengan tingkat kepentingan dan kelasnya.

Permasalahan ekonomi di masa kholifah Usman bin Affan (47 SH-35 H/577-656 M) semakin rumit, sejalan dengan semakin luasnya wilayah negara Islam. Pemasukan negara dari zakat , jizyah, dan juga rampasan perang semakin besar. Pada enam tahun pertama kepemimpinannya, Balkh, kabul, Ghazni Kerman, dan Sistan ditaklukan. Untuk menata pendapatan baru, kebijakan Umar diikuti. Tidak lama, Islam mengakui empat kontrak dagang setelah negara-negara tersebut ditaklukkan, kemudian tindakan efektif diterapkan dalam rangka pengembangan sumber daya alam. Aliran air digali, jalan dibangun, pohon-pohon, buah buahan ditanam dan keamanan perdagangan diberikan dengan cara pembentukan organisasi kepolisian tetap.

Ali bin Abi Thalib (23 SH-40 H/600-661 M), Khalifah yang keempat terkenal sangat sederhana. Mewarisi kendali pemerintahan dengan wilayah yang luas, tetapi banyak potensi konflik dari khalifah sebelumnya, Ali harus mengelola perekonomian secara hati-hati. Ia secara sukarela menarik dirinya dari daftar penerima dana bantuan Baitul Maal, bahkan menurut yang lainnya dia memberikan 5.000 dirham setiap tahunnya. Ali sangat ketat dalam menjalankan keuangan negara. Salah satu upayanya yang monumental adalah pencetakan mata uang sendiri atas nama pemerintahan Islam, dimana sebelumnya kehalifahan Islam menggunakan uang dinar dari Romawi dan dirham dari Persia.[3]

Pemikiran Ekonomi Islam


Kilasan Tokoh dan Pemikirannya


Pemikiran para sarjana-sarjana Muslim pada masa berikutnya pada dasarnya berusaha untuk mengembangkan konsep-konsep Islam sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, dengan tetap bersandar kepada Alquran dan Hadis. Memang harus diakui secara jujur bahwa para sarjana Muslim pasca Rasulullah banyak membaca karya-karya pemikir Yunani-Romawi, sebagaimana juga karya Syrian-Alexandrian, Zoroastrian, dan India. Namun, demikian mereka tidak menjiplak tulisan-tulisan pemikir-pemikir Yunani-Romawi ini melainkan memperdalam, mengembangkan, memperkaya dan memodifikasinya sesuai dengan ajaran Islam.

a. Abu Hanifa (80-150 H/699-767 M)

Abu Hanifah Al-Nu’man ibn Sabit bin Zauti, lahir pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan. Ia meninggalkan banyak karya tulis, antara lain Al-Makharif fi Al-Fiqh, Al-Musnad, dan Al-Fiqh Al-Akbar. Abu hanifa menyumbangkan beberapa konsep ekonomi, salah satunya adalah salam, yaitu suatu bentuk transaksi dimana antara pihak penjual dan pembeli sepakat bila barang yang dibeli dikirimkan setelah dibayar secara tunai pada waktu kontrak disepakati.

Salah satu kebijakannya adalah menghilangkan ambiguitas dan perselisihan dalam masalah transaksi, hal ini merupakan salah satu tujuan syariah dalam hubungannya jual beli. Dia menyebutkan contoh, murabahah. Dalam murabahah presentase kenaikan harga (mark up) didasarkan atas kesepakatan antara penjual dan pembeli terhadap harga pembelian yang pembayarannya diangsur. Perhatian Abu hanifa sangat perhatian pada orang-orang lemah. Ia tidak membebaskan perhiasan dari zakat dan akan membebaskan kewajiban membayar zakat bagi pemilik harta yang dililit hutang. Beliau tidak memperbolehkan pembagian hasil panen (muzara’ah) dari penggarap kepada pemilik tanah dalam kasus tanah yang tidak menghasilkan apa pun. Hal ini dilakukan untuk melindungi para penggarap yang umumnya orang lemah.

b. Abu Yusuf ( 113-182 H/731-798 M)

Abu Yusuf barangkali merupakan fuqoha pertama yang memiliki buku (kitab) yang secara khusus membahas masalah ekonomi. Kitabnya yang berjudul Al-Kharaj, banyak membahas ekonomi publik, khususnya tentang perpajakan dan peran negara dalam pembangunan ekonomi. Dalam pemerintahan Abu Yusuf menyusun sebuah kaidah fiqh yang sangat populer, yaitu Tasarruf al-Imam ‘ala Ra’iyyah Manutun bi al-Mashlahah (setiap tindakan pemerintah yang berkaitan dengan rakyat senantiasa terkait dengan kemaslahatan mereka). Ia menekankan pentingnya sifat amanah dalam mengelola uang negara, uang negara bukan milik khalifah, tetapi amanat Allah dan rakyatnya yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab.

Ia sangat menentang pajak atas tanah pertanian dan mengusulkan penggantian sistem pajak tetap atas tanah menjadi sistem pajak proporsional atas hasil pertanian, sistem proporsional ini dirasa lebih mencerminkan rasa keadilan. Dalam aspek mikro ekonomi, Abu Yusuf juga telah mengkaji, bagaimana mekanisme harga bekerja dalam pasar, kontrol harga, serta apakah pengaruh berbagai perpajakan terhadapnya.

c. Muhammad bin Al-Hasan Al-Shaybani (132-189 H/750-804 M)

Muhammad bin Al-Hasan telah menulis beberapa buku, antara lain kitab al-Iktisab fiil Rizq al-Mustahab (Book on Earning a Clean Living) dan kitab al Asl. Buku yang pertama banyak membahas berbagai aturan Syariat tentang ijarah, tijarah, ziraah, dan sinaah. Perilaku konsumsi ideal seorang Muslim menurutnya adalah sederhana, suka memberikan derma, tetapi tidak suka meminta-minta. Buku yang kedua membahas berbagai bentuk transaksi/kerja sama usaha dalam bisnis, misalnya salam, sharikah, dan mudharabah. Buku-buku yang ditulis Muhammad bin al-Hasan ini mengandung tinjauan normatif sekaligus positif, sebagaimana karya kebanyakan sarjana Muslim.

  1. Pusat Pengkaji dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam, Jakarta : Rajawali Pers, 2012, hlm. 97-99
  2. Azyumardi Azra, Sejarah pPmikiran Ekonomi Islam; (Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer), Depok : Gramatama Pubishing, hlm 77
  3. Pusat Pengkaji dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam, Jakarta : Rajawali Pers, 2012, hlm. 101-104 
Demikian makalah kami tentang Sejarah perekonomian Islam dari masa kemasa, semoga dapt bermanfaat bagi kita semua.

Post a Comment

  1. majunya ekonomi Islam tak bisa dilepaskan dari peran ulama yang terus mengkaji dan mengembangkannya.

    ReplyDelete

Silahkan di Share kalau dianggap bermanfaat

 
Top