0
fiqh sosial, buku fiqih islam, kh sahal mahfudz, pemikiran sahal mahfudz
KH MOHAMMAD AHMAD SAHAL MAHFUDZ DAN FIQIH SOSIAL - Hukum dalam masyarakat manapun bertujuan mengendalikan masyarakat. Ia adalah sistem yang ditegakkan guna melindungi hak-hak individu maupun sosial. Sistem hukum dalam setiap masyarakat mempunyai sifat karakter dan ruang lingkupnya sendiri, demikian juga dengan islam. Agama ini juga memiliki sistem hukum sendiri yang dikenal dengan fiqih. Fiqh bukanlah hukum murni dalam pengertiannya yang sempit, ia mencakup seluruh bidang kehidupan. Adapun tujuan disyariatkannya hukum islam adalah merealisasikan dan melindungi kemaslahatan umat manusia.

Kemaslahatan yang ingin diwujudkan dalam hukum islam itu menyangkut seluruh aspek kepentingan manusia,salah satu ulama’ pembeharuan metode panggalian hokum islam adalah KH. MA. Sahal Mahfudz dengan gagasan fiqih sosialnya merupakan pengembangan dari cara lama dalam menggali suatu hukum islam dengan mengimplementasikan istinbath hukumnya secara manhajy dari pada metode qauly sehingga keputusan-keputusan hukum yang dihasilkan lebih mengena dan memenuhi harapan masyarakat sekarang, sehingga pemikiran-pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh penting untuk dikaji.
 

Rumusan Masalah

  1. Bagaimana Pola Pemikiran Sosial KH. Sahal Mahfudh dalam menggali suatu hokum islam?
  2. Apa Metode Istinbath hukum yang dipakai oleh KH. Sahal Mahfudh dalam menggali suatu hukum islam?
 

Tujuan Penulisan

  1. Mengetahui Pola Pemikiran Sosial KH. Sahal Mahfudh dalam menggali suatu hokum islam.
  2. Mengetahui Metode Istinbath hukum yang dipakai oleh KH. Sahal Mahfudh dalam menggali suatu hukum islam.

1. Biografi KH. MA. Sahal Mahfudh

KH.Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh yang lebih dikenal dengan nama KH. Sahal, beliau lahir di Desa Kajen Kecamatan Margoyoso Kabupaten Pati Jawa Tengah pada tanggal 17 Desember 1937 M. Beliau anak ketiga dari enam bersaudara pasangan KH. Mahfudh Salam dan Nyai Hj. Badriyah. Ayah KH. Sahal yakni KH.Mahfudh Salam adalah saudara sepupu dari KH. Bisri Syamsuri, salah seorang pendiri Jam’iyah NU yang sangat disegani. Istri KH. Shal sendiri yaitu Hj. Dra. Nafisah adalah cucu KH. Bisri Syamsuri. Dengan begitu, KH. Sahal mempunyai nasab yang kuat sebagai keturunan kyai ternama dalam komunitas NU.

Ketika KH. Sahal berusia 7 tahun, ayahnya meninggal di penjara militer Ambarawa 1944 pada saat melawan tentara Jepang. Dari segi pendidikan, KH. Sahal sudah mulai belajar agama pada usia 6 tahun di Madrasah Ibtidaiyah Kajen. Kemudian pada 1950-1953, KH. Sahal melanjutkan studinya Mathali’ul Falah Kajen. Setelah tamat Tsamawiyah Sahal muda melanjutkan pendidikannya di Pare Kediri dan pesantren Sarang Rembang. Setelah tamat dari Sarang, beliau melanjutkan studinya di Makkah selama tiga tahun(1961-1963) di bawah bimbingan KH. M. Yasin Fadani. Disiplin ilmu yang dipelajari KH. Sahal cukup beragam mulai dari tafsir, fiqh, hadits, ushul fiqh, tauhid, tasawuf, mantiq, balaghoh, dan lain-lain.

Setelah kepulangannya dari Makkah, pada usia 26 tahun beliau memrgang kendali pesantern peninggalan ayahnya dan sekaligus sebagai direktur Perguruan Islam Mathali’ul Falah Kajen. Disamping itu pada tahun 1967 beliau menjabat sebagai katib syuriah NU cabang Pati. Bulan september 1982, ratusan kyai berkumpul di Pemalang untuk membahas sebuah persoalan pelik yakni kawin lari. Sementara para kyai kebingungan menentukan status hukum kawin lari, KH. Sahal tampil menjelaskan duduk persoalan kawin lari, latar belakang sosiologis dan lain-lain dengan menyebutkan kutipan kitab Syarqowi.

Menurut beliau kawin lari harus dilihat dari berbgai sudt pandang dan akar persoalan. Kecemerlangan dan kearifan beliau mengantarkannya pada posisi Rois Syuriah NU Jawa Tengah periode 1982-1985. Kemudian beliau dipercaya memegang posisi Rois Syuriah Pengurus Besar NU sampai tahun1989. Pada tahun 1989 KH. Sahal menjabat sebagai Rektor di Institut terkemuka di Kota Jepara yaitu Institut Islam Nahdlatul Ulama yang sekarang telah menjadi Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara. KH. Sahal Mahfudh wafat pada bulan Januari tahun 2014 M di Kajen Pati Jawa Tengah. 
Artikel terkait: Biografi DR. KH. MA. Sahal Mahfudh

2. Pola Pemikiran Sosial KH. Sahal Mahfudz

Semua aktivitas sosial dan intelektual KH. Sahal Mahfudh tetap dilakukan dalam koridor fiqh baik itu dalam fiqh sosial. Artinya apa yang dilakukannya mempunyai landasan normatif yang bisa dipertanggung jawabkan secara hukum. Sebuah ikhtiar yang tidak semua kyai dapat melakukannya. Dalam mengoperasionalakn fiqih, beliau memakai jalan lain dan harus merombak doktrin dan tradisi yang selama ini melekat dalam tubuh NU. Atau dalam bahasa fiqihnya diperlukan tajdid(pembaharuan). Telah diketahui bahwa tajdid mempunyai wilayah yang terbatas, artinya kualitas tajdid mesti dinilai dari konteks historisitas dan lokalitasnya. Dalam konteks inilah, maka pemikiran hukum KH. Sahal pun tidak terlepas historitas dan lokalitas itu.

Salah satu pemikiran hukum KH Sahal Mahfudz yaitu masalah hubumgan agama dan negara. Bagi KH Sahal Mahfudz, jagad kepolitikan merupakan realitas historis atau sunnatullah yang tidak bisa terelakkan. Agama dan negara menurut KH Sahal Mahfudz adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Politik merupakan kebutuhan hidup menurut naluri manusia, karena didasarkan atas realitas bahwa manusia itu mahluk sosial. Sebagai mahluk sosial, dalam memenuhi kebutuhannya selalu berkumpul, bergaul dan berinteraksi dengan sesamanya. Dengan begitu manusia membutuhkan perekat antar individu. Di sinilah agama menjadi penting.

Seperti yang diungkapkan Sayyid Baqir Shadr “terdapat jarak yang sangat jauh antara situasi sosial ketika nash-nash itu diturunkan dengan situsi social ketika nash-nash itu dijadikan rujukan”.[1]

Pola relasi agama dan negara dalam pandangan KH Sahal Mahfudz mengacu pada simbiosis mutualisme. Keduanyan saling mempemgaruhi dan membutuhkan untuk mewujudkan kemaslahatan umat. Pendapat KH Sahal Mahfudz ini didasarkan pada analisa Abu Hasan al Mawardi dan Abu Ya’la al Hanbali dalam kitab al Akhkam al Shulthaniyah. Selin dua sarjana itu. Dari hasil penelitian para ulama, sebagaimana dikutip oleh Ibrahim Hosen, dapat diklasifikasikan menjadi tiga aspek, yakni: dharuriat (primer), hajjiyat (sekunder), tahsiniyat (pelengkap).[2] Dalam rumusan ushul Syathibi di sebutkan bahwa dalam dharuriat ditunjukkan tujuan syariah adalah menjaga lima hal (dharuriyat al khams) yakni: al din (agama), al nafs ( jiwa), al nasl (keturunan), al mal (harta benda), dan al aql (akal pikiran).

Berangkat dari terminologi ini, maka kekuasaan politik harus sejalan dengan tujuan syariat, yaitu memelihara agama, akal, harta, dan keturunan.

Dalam pemahaman KH Sahal Mahfudz, pemimpin tidak hanya mereka yang memegang jabatan formal-struktural, mereka yang memegang kekuasaan kultural juga disebut pemimpin. Denagn begitu posisi presiden, gubernur, bupati dan yang lainnya itu sama dengan ulama, kyai, kepala adat, kepala suku dan yang lainnya. Tidak ada yang lebih tinggi antara satu dan yang lainnya, perbedaannya hanya sebatas fungsional.justru kepemimpinan kultural memiliki fungsi yang strategis, yakni sebagai kekuatan untuk mendinamisir masyarakat, memberikan pendidikan politik tentang hak dan kewajiban seorang warga negara. Bangunan politik yang demikian didasarkan pada kaidah ushul fiqh tasharruf al imam man-uthun bi al maslahah (kebijakan pemimpin harus berorientasi pada kemaslahatan rakyat).

3. Metode Istinbath Hukum

Metode penggaliam hukum (al istinbath al-ahkam) KH Sahal Mahfudz pada dasarnya dibagi dalam dua tipologi. Pertama, metodetekstual(madzhab qauli) dan kedua, metode kontekstual/metodologis (madzhab manhaji). [3]

Metode tekstual digunakan KH Sahal Mahfudz terutama ketika memberikan “fatwa hukum” disuara merdeka sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan kepadannya. Sedangkan metode kontekstual dilakukan KH sahal dalam forum forum ilmiah keagamaan seperti bathsul matsail NU, seminar atau ketika KH.Sahal berijtihad sendiri untuk memecahkan persoalan yang pelik.

a. Metode tekstual (madzhab qauly)

Metode ini digunakan ketika memberikan fatwa hukum terutama diharian suara merdeka. Dalam operasionalnya KH Sahal Mahfudz menggunakan kitab- kitab yang digunakan oleh ulama syafi’iyah. Kitab kitab yang sering dijadikan rujukan KH.Sahal antara lain: nihayatuz zain, subulussalam, mizan al-qubro, rowai albayan, al-iqna, al bajuri, fathul muin dan banyak kitab besar ulama syafi’iyah. Sedangkan ulama yang sering dijadikan referensi antara lain arrofii, annawawi, alqoffal, ar rozi dan ulama syafi’iyah seperti al ghozali, al mawardi dan lain-lain.

Fatwa hukum KH.Sahal bersifat eklektik yakni mengambil beberapa perndapat dari beberapa fuqoha yang mendukung atau sesuai dengan pertanyaan yang diajukan, tanpa diiringi dengan analisa.Sebagai contoh dalam sebuah kutipan yang menegaskan pendapat KH. Sahal Mahfudz yang tidak memperbolehkan air musta’maluntuk bersuci karena tergolong thohir ghairu muhtohir. KH.Sahal Mahfudz juga mengutip pendapat syirozi dalam al muhazzab yang memperbolehkan air musta’mal untuk bersuci karena termasuk thohir muhtohir.[4] Menurut pendapat KH Sahal Mahfudz pendapat al syirozi itu mempunyai banyak khilaf sebab dalam kitab al muhazzab sendiri assyirozi tidak mencantumkan pendapatnya secara tegas tentang kedudukan air musta’mal.

b. Metode kontekstual (madzhab manhaji)

Metode KH.Sahal dalam mengistinbatkan hukum secara manhaji ini dengan cara membedakan persoalan yang tergolong ushul atau dasar dan persoalan yang termasuk furu’ atau cabang. Untuk dapat membedakan ushul dan furu’ KH. Sahal Mahfudz terlebih dahulu melakukan klasifikasi atau mengidentifikasi sebuah kebutuhan, kebutuhan iru digolongkan menjadi tiga yakni: dhoruriya (kebutuhan mendesak,hajiyyat), kebutuhan sekunder dan tahsiniyah (pelengkap). Ketiga hal itulah yang menjadi tujuan syariat (maqosid assyari’ah).

Dhoruriyah dibagi menjadi lima, yaitu al diin (agama),an nafs (jiwa), an nasl (keturunan), al mal (harta benda) dan al aql (akal pikiran).[5] Rumusan maqosidus syari’ah menurut KH.Sahal yakni menjaga agama (khifd ad dhin), melindungi jiwa (khifdh an nafs), melindungi kelangsungan keturunan, melindungi nakal pikiran dan menjaga harta benda didapat dari petunjuk alquran dan praktik rosul. Dalam rumusan maqosid syari’ah KH Sahal Mahfudz memberiakn pemahaman bahwa islam tiak mengkhususkan perannya hanya dalam aspek pengembangan kepada tuhan akan tetapi kepentingan kemanusiaan lah yang lebih diutamakan. Karena hanya dengan menjaga kesetabilan kemasyarakatan, kemaslahatan inilah tugas tugas peribadatan dapat dilaksanakan dengan baik.[6] Bagi KH. Sahal Mahfudz kepentingan umum (maslahah al ammah) harus menjadi petimbangan terdepan dalam proses pengambilan keputusan hukum. Agar kepentingan hukum tetap terjaga seorang mujtahid harus memiliki kepekaan sosial.



4. Kontribusi Fiqh Sosial KH. MA Sahal Mahfudh dalam Hukum Islam di Indonesia

Munculnya fiqih sosial merupakan hasil pergulatan intelektual yang panjang dan intensif. Istilah madhabz manhaji sebagai salah satu ciri fiqih sosial merupakan strategi dari KH Sahal Mahfudz agar wacana fiqih sosial mendapat ruang dalam NU dan memang terbukti secara perlahan namun pasti gagasan itu diterima dalam kalangan NU. Sehingga dalam pengertiannya bermadzhab lalu dipahami sebagai kerangka dasar untuk melakukan ijtihad, meskipun itu berupa ijtihad muqoyyad/ijtihad yang terbatas pada upaya penggalian hukum.

Dalamibadah sosial maupun individual, muqoyyadah (terikat oleh syarat dan rukun) maupun murthalaqoh (teknik operasionalnnya tidak terikat oleh syarat dan rukun tertentu). Ia juga menatur hubungan antar manusia dalam pergaulan maupun muamalah. disamping itu juga mengatur hubungan tatacara keluarga dalam kompoinen munakahat untuk menata pergaulan yang menjamin pergaulan syariat islam mempunyai aturan yang dijabarkan dalam komponen jinayah, jihat dan qadla. Dapat dipahami bahwa kontruksi fiqih sosial KH Sahal Mahfudz bertumpuh pada hal-hal berikut ini:
  1. Ajaran syari’at islam telah diuraikan oleh fiqih yang merupakan sarana kesejah teraan bagi manusia didunia dan akhirat (sa’adat ad daraid).
  2. Segala pertimbangan hukum harus bermuara pada terciptannya kemaslahatan umum yang bersifatobjektif.
  3. Dibutuhkan kontekstualisasi fiqih yang semula bersifat legal formalistik menjadi lebih bernuansa penaknaan sosial.

Dengan demikian bagi KH Sahal Mahfudz fiqih itu sudah semestinya bersifat sosial, karena ia merupakan hasil konstruksi fuqoha atas realita sosial yang bertumpu pada sumber-sumber hukum. Oleh kerana fiqih itu produk ijtihad, maka dengan sendirinya berdimensi sosial.[7]

Fiqih sosial memiliki lima ciri pokok yang menonjol yaitu:


  1. interpretasi teks-teks fiqih yang menonjol,
  2. perubahan pola bermadzhab secara tekstual(madzhabqauly),
  3. verifikasi mendasar mana ajaran yang pokok(ushul) dan mana yang cabang(furu’),
  4. fiqih dihadirkan sebagai etika sosial, bukan hokum positif negara,
  5. pengenalan metodologis pemikiran filosofis.[8]

Fiqih sosial yang menjadi landasan operasiaonal dalam merespon berbagai masalah keutamaan ini merupakan arena kecenderungan komitment NU dalam melakukan terapi sosial. Yaitu, suatu usaha menerjemahkan nilai-nilai agama dengan instrumen fiqih yang tidak lagi bernuansa hukuman sich, tetapi mengandung muatan kritik sosial sehingga mampu tampil memberikan kontrol terhadap segala bentuk penyimpangan yang terjadi dalam masyarakat. Baik yang bersumber dari polarisasi keagamaan, kebijakan pemerintah, kemerosotan mutu keshalehan ataupun akibat hegemoni tafsir oleh penguasa tertentu yang akan mengancam suatu tatanan nilai yang mengandung kebenaran universal.[9]

Khususnya di Indonesia di masa globalisasi dengan latarbelakang yang beranekaragam suku dan budaya tentunya permasalahan-permasalan yang ada juga semakin kompleks sehingga keberadaan fiqih social disini sangat diperlukan.
 
Kesimpulan
Semua aktivitas sosial dan intelektual KH. Sahal Mahfudz tetap dilakukan dalam koridor fiqh. Artinya apa yang dilakukannya mempunyai landasan normatif yang bisa dipertanggung jawabkan secara hukum.Metode penggaliam hukum (al istinbath al-ahkam) KH.Sahal pada dasarnya dibagi dalam dua tipologi. Pertama, metodetekstual(madzhab qauly) dan kedua, metode kontekstual/metodologis (madzhab manhaji).

ibadah sosial maupun individual, muqoyyadah (terikat oleh syarat dan rukun) maupun murthalaqoh (teknik operasionalnnya tidak terikat oleh syarat dan rukun tertentu). Ia juga menatur hubungan antar manusia dalam pergaulan maupun muamalah.
 
Saran
Sebagai mahasiswa NU sudah semestinya kita mendalami pemikiran KH. Sahal Mahfudh, untuk meningkatkan khazanah keilmuan kita tentang perkembangan hokum islam.  
 
  1. Abdullah, Mudhofir, Masail Al-Fiqhiyyah,Yogjakarta: Teras, 2009, hlm 113.
  2. Al Qurtuby,Sumanto, KH. MA. Sahal Mahfudh Era Bru Fiqh indonesia, Yogyakarta: Cermin, 1999,hlm. 1-2.
  3. Ibid.hlm 110.
  4. Ibid. Hlm 114.
  5. Hafidh, Ahmad, MerentasNalarSyari’ah, Yogjakarta:Teras, 2011,Hlm 182.
  6. Op.Cit. hlm 119.
  7. Mahfudh, Sahal , Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta:LkiS,2012, hlm5.
  8. Arifi, Ahmad, PergulatanPemikiranFiqihTradisiPolaMadzhab, Yogjakarta: Elsaq Press, 2010, hlm 309.
  9. Ibid, hlm. 147.

Post a Comment

Silahkan di Share kalau dianggap bermanfaat

 
Top