Fungsi dan Peran Hukum di Lingkungan Masyarakat
Fungsi dan Peran Hukum di Lingkungan Masyarakat - Derrida dan Positions (1981) mengungkapkan bahwa jejak kekerasan dalam hukum selalu terlupakan oleh perjalanan waktu dan tersembunnyikan oleh berbagai fiksi tentang moralitas penegak hukum. Akibatnya, kita sering tidak mengenali lagi adanya kekerasan yang diproduksi oleh berbagai produk hukum dan menganggapnya sebagai sebuah hal yang wajar, bahkan tidak jarang menganggapnya sebagai keharusan moral dalam kehidupan masyarakat di Indonesia.
Rumusan Masalah
- Bagaimana konflik di masyarakat?
- Bagaimana hukum penyelesaian konflik?
- Bagaimana alternative penyelesaian konflik?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui konflik di masyarakat
2. Untuk mengetahui hokum penyelesaian konflik
3. Untuk mengetahui alternative penyelesaian konflik
Konflik di Masyarakat
Pertentangan atau konflik sosial jika ditinjau secara psikologis dapat dikatakan sebagai refleksi dari kondisi psikis manusia dalam kerangka interaksi sosialnya. Struktur energi psikis manusia yang terdiri atas ego dan super ego merupakan proses dinamik individu. Dalam proses tersebut sering terjadi pertentangan antara kebutuhan dan keinginan ego dengan norma-norma yang dipegang oleh super ego. Ego sebagai lembaga yang bekerja untuk mencapai tujuan berada pada garis persimpangan antara keinginan untuk secepatnya tercapai dengan kekuatan super ego yang selalu mempertimbangkan norma dan nilai dalam usaha mencapai tujuan ego.Interaksi antara individu dalam kelompoknya mempertemukan berbagai macam ego dan berbagai pertimbangan super ego dan tentu saja hal ini menyebabkan pentingnya pelembagaan ego dan super ego tersebut dalam suatu proses integrasi. Jika teori psiko-analitis itu kita proyeksikan dalam kehidupan sosial untuk mengkaji konflik sosial, maka prinsip-prinsip seperti diatas akan kita temukan sebagai gejala sosial. Pertentangan sosial dengan integrasi dalam hal ini mempunyai fungsi ganda dalam mencapai tujuan ego atau lembaga ego.
Dalam hal ini ego diwakili oleh adanya harapan-harapan dan super ego diwakili oleh adanya standar normatif. Pertentangan antara harapan dan standar normatif ini dapat terjadi di mana-mana, baik dalam kelompok kecil maupun kelompok yang lebih besar, baik dalam suatu status sosial tertentu maupun antar kelas sosial.
Dalam mengkomunikasikan harapannya kelompok yang berkepentingan dihadapkan pada kekuatan norma dan tata nilai masyarakat yang secara konsensual diterima sebagai nilai universal. Antara komunikasi harapan dengan standar normatif tidak selalu sejalan, sehingga komunikasi harapan ini masih harus melalui proses pertimbangan super ego. Ketidaksesuaian pandangan antara kedua kekuatan tersebut menimbulkan suatu sikap yang bertentangan yang diwujudkan dengan kesalahpahaman di antara keduanya. Pada tahap pertama akan lahirlah yang dikatakan dengan pernyataan konflik baik dalam bentuk pernyataan maupun bentuk-bentuk langsung dalam berbagai aksi.
Dalam menghadapi standar normatif ini kelompok yang berkepentingan akan selalu berusaha membentangkan tujuan-tujuannya atau harapan-harapannya di atas tebaran tata nilai yang dijadikan standar dengan berusaha mengadakan rasionalisasi.
Dalam hal ini sering mengakibatkan terjadinya konflik dalam bentuk perdebatan. Bentuk lain yang lebih ekstrim dari konflik ini adalah penyimpangan tingkah laku yang diaktualisasikan secara demonstratif maupun tingkah laku yang bersifat mediator. Rasionalisasi yang dilancarkan oleh pihak ego dimaksudkan untuk mencapai penafsiran moralitas yang relevan yang memungkinkan masing-masing pihak mewujudkan kehendaknya. Rasionalisasi yang sering memperuncing konflik dipengaruhi pula oleh proses sosialisasi individu di mana hubungan manusia dengan norma-norma telah berubah, sehingga ia merasa benar-benar harus berbuat sesuai dengan apa yang diharapkan. Disinilah puncak dari suatu konflik.
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat kita katakan bahwa pada awalnya konflik di mulai dengan pertentangan yang bersifat ideologis dan kemungkinan akan berakhir pada saat salah satu pihak memaksakan pengertian mereka tentang moral maupun suatu harapan yang diikuti dengan kesadaran bahwa salah satu di antaranya telah berbuat kekeliruan. Ini harus kita sadari sebagai konsekuensi teringan dari suatu konflik ideologis atau perbedaan ideologi. Konsekuensi yang lebih berat juga bisa muncul dalam bentuk sangsi maupun aksi tertentu.[1]
Hukum Penyelesaian Konflik
Salah satu sumber utama konflik dan kekerasan di berbagai daerah adalah kondisi penegak hukum di Indonesia yang sangat lemah. Ditambah lagi dengan berbagai bentuk diskriminasi dan marginalisasi dalam pengaturan social ekonomi, politik dan pemanfaatan sumber daya alam, bahkan kehidupan budaya. Berbagai perasaan ketidakadilan dan ketidakpuasan umum pun berkecambuk dan meledak menjadi tragedi kemanusiaan yang sangat memilukan dan mengerikan.[2]Penduduk yang mendiami wilayah negara republik Indonesia harus mengatakan bahwa pelaksanaan hukum di negeri ini telah menjadi sumber utama yang menyebabkan timbulnya berbagai konflik dan kekerasan di Indonesia. Periode otoritarian yang intens selama empat dasawarsa pada masa orde lama dan orde baru telah menghasilkan sistem hukum represif yang tidak saja dirasakan akibatnya secara langsung oleh masyarakat, tetapi secara tidak langsung telah membentuk kesadaran, perilaku, dan struktur sosial yang bersendikan pada kekerasan sebagai norma utama. Oleh karena itu, wajah hukum di Indonesia adalah biografi kekerasan yang kita lakukan selama bertahun-tahun.
Melalui berbagai produk perundang-undangan maupun praktek hukum yang dilakukan oleh birokrasi, aparat keamanan dan pengadilan, dapat diketahui bagaimana kekerasan beroperasi serta memproduksi diri dalam berbagai sikap dan perilaku sosial masyarakat di Indonesia. Pelaksanaan hukum di Indonesia telah melembagakan kekerasan dalam berbagai bentuk pengaturan, kebijakan dan putusan hukum yang menyebabkan terjadinya ketimpangan social ekonomi, diskriminasi dan perilaku kekerasan sehari-hari.
Sebagai contoh tindakan penganiayaan dan pembunuhan yang dilakukan dalm berbagai peristiwa main hakim sendiri atau konflik di berbagai daerah justru sering memperoleh dukungan dan pengesahan adri lingkungan masyarakat sekitar. Akibatnya ketika aparat keamanan mengambil tindakan hukum terhadap pelakunya, masyarakat justru memberikan reaksi balik dengan menuntut pembebasan pelaku dan menyerang aparat keamanan. Sepertinya kekerasan merupakan keharusan moral yang harus dilakukan untuk menyelesaikan suatu masalah atau konflik.
Keadaan tersebut disebabkan masyarakat Indonesia tertentu mengalami kesulitan untuk mengenali lagi referensi lain dalam kehidupan sosialnya selain kekerasan itu sendiri. Pola represifnyang beroperasi selama rezim otoritarian telah memberikan pengalaman kekerasan pada masyarakat Indonesia, sehingga mereka kehilangan kapasitas, kreativitas sosial dan imajinasi hukum dalam menyelesaikan berbagai konflik yang dihadapi selain yang menggunakan cara-cara kekerasan. Apa yang dilakukannya tidak lebih dari bentuk reproduksi atau berbagai nilai dan norma yang dikenalinya dari berbagai aturan serta praktik hukum yang dialaminya.
Apa yang terjadi di Sampit, Maluku, dan Poso misalnya, merupaka refleksi dari miskinnya kreativitas social dalam menyelesaikan konflik di antara mereka. Sekalipun telah dikenal adanya berbagai kearifan tradisional untuk menyelesaikan konflik, seperti prinsip sintuvu maroso pada penduduk yang mendiami Poso atau prinsip kita semua bersaudara, prinsip rumah betang pada suku Dayak atau pela gandong pada masyarakat Maluku, namun kesadaran perilaku social serta struktur social yang dikenalinya hanya menyediakan kekerasan sebagai cara yang efektif untuk menyelesaikan konflik. Model-model rekonsilasi, negosiasi atau mediasi yang umumnya tersedia dalam khazanah tradisi sebagai bentuk kearifan local menjadi tumpul dan tidak dikenali dengan baik sehingga sulit untuk dipraktikkan kembali secara utuh.
Perilaku kekerasan justru dihidupkan kembali oleh berbagai aturan dan praktik hukum negara yang mengenalkan kembali pola-pola kekerasan sebagai cara penyelesaian konflik. Aturan hukum yang disuplai oleh Negara telah menghancurkan kesadaran dan norma-norma social masyarakat lokal yang selama bertahun-tahun telah berhasil mempertahankan tatanan social di antara mereka. Sebagai contoh, penyeragaman struktur pemerintahan desa melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 yang telah menghancurkan struktuur kepemimpinan lokal. Kemudian kebijakan birokrasi dalam pengelolaan hutan yang memberikan konsesi HPH (hak pengusahaan hutan) bagi segelintir orang yang tidak saja telah menyebabkan kehancuran lingkungan alam, tetapi juga menghancurkan kesadaran kultural yang dimilikinya, ditambah lagi dengan berbagai diskriminasi yang mereka rasakan dalam berbagai kebijakan politik dan pemerintahan serta penegakan hukum yang sangat lemah yang telah melahirkan perasaan ketidakadilan yang meluas.
Contoh lain, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Undang-undang dimaksud, dalam pelaksanaannya menciptakan diskriminasi antara penduduk kelahiran setempat dengan penduduk pendatang. Yang disebutkan terakhir itu, akan melahirkan penduduk putra daerah dan penduduk pendatang. Putra daerah diharapkan mendapat prioritas pada jabatan-jabatan tertentu. Hal itu akan memicu konflik sosial di masa akan datang bila tidak diluruskan oleh perncang roh (jiwa) peraturan perundang-undangan otonomi daerah dimaksud.
Semuanya itu telah menghilangkan kapasitas dan kreativitas sosial yang mereka miliki pada saat harus berhadapan dengan konflik yang setiap saat dapat timbul dalam kehidupan sosial mereka. Mereka hanya mengenal kekerasan sebagai satu-satunya cara yang disuplai dan dilembagakan oleh berbagai aturan dan praktik hukum negara. Dalam kondisi seperti ini, tidak sepenuhnya dapat disalahkan bila mereka menggunakan kekerasan sebagai cara penyelesaian konflik. Dalam hal ini yang terjadi bukan hanya karena adanya ketidakpercayaan pada hukum dan aparat hukum, tetapi lebih dari itu, yaitu masyarakat memang tidak terlatih untuk mengembangkan kreativitas sosial dan imajinasi hukum dalam menyelesaikan berbagai konflik yang dihadapinya selain dengan jalan kekerasan.
Alternative Penyelesaian Konflik
Gejala-gejala yang Menimbulkan Pertentangan Sosial
Masih ada satu cara memandang masyarakat yang dapat menimbulkan pertentangan sosial atau konflik. Tinjauan ini lebih bersifat horisontal yaitu dengan menilai pola hubungan dan cara pandang antara satu kelompok sosial dengan kelompok sosial lainnya. Dalam hal ini beberapa kemungkinan bisa terjadi. Ketertutupan dan fanatisme satu kelompok sosial membuka peluang bagi kelompok sosial lainnya untuk merasa curiga dan memberikan gambaran negatif terhadap kelompok tersebut. Demikian pula fanatisme pada kelompok menimbulkan perasaan super dan memandang kelompok lain lebih rendah. Keterikatan satu kelompok etnis pada referens group etnisnya menyebabkan kelompok etnis tersebut mengabaikan kelompok-kelompok etnis lainnya. Kenyataan-kenyataan seperti itu juga dapat menimbulkan konflik antar kelompok sosial.Secara sistematis dalam bagian ini akan dibahas gejala-gejala perilaku sosial yang menyebabkan timbulnya konflik antar kelompok sosial yang terdiri atas prasangka, diskriminasi, dan pandangan etnosentris.[3]
Prasangka
Prasangka merupakan salah satu bentuk sikap sosial yang dapat terjadi antara satu orang dengan orang lain dan dapat pula berlaku antara satu kelompok dengan kelompok lain. Prasangka dapat berorientasi kepada hal positif, tetapi umumnya dalam studi sosilogi diarahkan kepada sikap negatif.Prasangka sebagai suatu sikap tidaklah merupakan bawaan dasar dari individu melainkan merupakan hasil proses interaksi antar individu atau golongan. Atau lebih tepat kalau prasangka itu merupakan hasil proses belajar dan pengenalan individu dalam perkembangannya. Pada prinsipnya seseorang akan bersikap tertentu terhadap orang lain atau terhadap suatu kelompok apabila ia telah memiliki pengetahuan itu tidak dapat kita pastikan apakah bersifat positif atau negatif. Pengetahuan itu akan membuat seseorang atau satu kelompok berpersepsi, berpikir, dan merasa terhadap obyek tertentu. Dari sinilah lahirnya suatu sikap dalam bentuk tingkah laku yang cenderung negatif.
Prasangka negatif (stereotype) timbul bersama dengan sikap-sikap lain yang diperoleh dari penanaman nilai-nilai tertentu dan terutama sekali oleh lingkungannya. Fanatisme yang berlebihan terhadap nilai-nilai kelompok akan menimbulkan sikap apriori terhadap kelompok lain dan selalu curiga terhadap siapa saja di luar kelompoknya.
Pandangan stereotype akan menyebabkan tidak terwujudnya sikap toleransi dalam masyarakat. Sehingga tiap-tiap kelompok akan selalu berusaha menempatkan kelompoknya sebagai yang paling utama tetapi dalam kondisi tertutup. Hal ini akan menimbulka konflik antar kelompok. Prasangka tidak hanya terjadi antara satu kelompok dengan kelompok lain tetapi juga dapat terjadi antara satu individu dengan individu lainnya.
Dengan mengetahui sebab timbulnya prasangka seperti yang telah diuraikan di atas, maka untuk kepentingan integrasi kita coba untuk menutupi permasalahan-permasalahan yang melahirkan prasangka itu dengan mencari mata rantai penghubungnya. Dalam hal ini ada beberapa usaha yang mungkin dilaksanakan yaitu:
- Di mulai dari pendidikan anak-anak di rumah dan di sekolah oleh orang tua dan guru.
- Adanya sifat keterbukaan dalam pengertian yang luas antara satu kelas sosial dengan kelas sosial lainnya, maupun antara satu kelompok sosial dengan kelompok sosial lainnya.
- Memanfaatkan berbagai media massa baik cetak maupun elektronika untuk memperkenalkan berbagai kelompok dalam masyarakat/ negara bahkan dunia.
- Interaksi antar golongan secara intensif.[4]
Selanjutnya secara psikologis, pendekatan terhadap penanggulangan masalah stereotype ini dimulai dengan memberikan pengetahuan yang integral tentang tata hubungan berbagai nilai yang ada dalam masyarakat. Dengan pengetahuan itu diupayakan agar anggota masyarakat mampu berperasaandengan nilai-nilai itu, sehingga akan terjelmalah sikap toleransi. Pengetahuan, perasaan dan sikap toleransi inilah yang akan memberikan garis yang cenderung menghilangkan sikap prasangka itu.
Etnosentris
Ada kecenderungan bahwa suatu kelompok etnis tertentu merasa bahwa kebudayaan kelompoknyalah yang menempati urutan tangga teratas. Sebagai kebudayaan yang utama. Sedangkan kebudayaan etnis lain dianggapnya sesuatu yang tidak logis, aneh, bertentangan dengan kehendak alam, dan seterusnya. Inilah sumber utama bagi suatu negara yang tergolong pluralitas seperti, india, Birma, Filipina, dan negara-negara lain yang memiliki suku bangsa termasuk Indonesia, dalam rangka integrasi rasional. Kecenderungan seperti itu disebabkan karena satu kelompok etnis mengukur kebudayaan lain dengan ukuran kebudayaannya sendiri.Kecenderungan untuk menilai unsur-unsur kebudayaan lain dengan menggunakan ukuran kebudayaan sendiri inilah yang disebut dengan sikap etnosentris. Perasaan ini adalah merupakan pengembangan dari sikap pandangan in-group dan out-group yang ditanamkan kepada anggota kelompok dengan mempertajam perbedaan-perbedaan sosial anatara satu kelompok etnis dengan kelompok etnis lainnya. Begitulah anak-anak bangsa Amerika yang sejak kecil menerima stereotype-stereotype tentang orang-orang Negro. Salah satu cara menanamkan etnosentris kepada anak-anak Amerika adalah dengan mengklaim orang Negro sebagai pelaku-pelaku kejahatan, sedangkan jika ada orang kulit putih yang melakukan kejahatan dikatakan bukan orang kulit putih, tetapi dengan menyebutkan orangnya atau kelompoknya, sebagai pengecualian.
Sikap etnosentris dalam masyarakat pluralis akan terus berkembang jika tidak ada wadah atau sarana integrasi yang efektif berupa suatu nilai kebudayaan yang universal. Kondisi seperti ini akan menimbulkan konflik antar golongan etnis dalam suatu negara.
Diskriminasi
Prasangaka yang demikian intens dan etnosentris yang fanatik akan menjurus kepada tindakan yang bersifat otoriter terhadap kelompok yang diprasangkai dan atau terhadap kelompok etnis lain. Sikap otoriter ini membuktikan perkembangan sikap prasangka dan etnosentris yang semakin meningkat dalam arti intensitasnya. Sikap prasangaka dan etnosentris ini akan mengarah kepada sikap diskriminasi tergantung pada dukungan yang diberikan oleh kebudayaan suatu kelompok etnis terhadap sikap otoriter dalam mengembangkan kekuatan dan kekuasaannya. Jika dukungan yang diberikan kuat, akan menambah kemungkinan satu kelompok etnis menguasai dan membatasi gerak perkembangan kelompok etnis lain.Dukungan perkembangan kebudayaan yang kuat terhadap sikap otoriter ini akan menjadikan sikap otoriter ini menjadi ekstrim. Pola interaksi dan komunikasi otoriter dalam perkembangan selanjutnya akan berusaha memaksakan pola kebudayaannya terhadap orang lain dan selanjutnya menyisihkan dan tidak memberikan kesempatan berkembang bagi kelompok lain.[5]
Kesimpulan
Interaksi antara individu dalam kelompoknya mempertemukan berbagai macam ego dan berbagai pertimbangan super ego dan tentu saja hal ini menyebabkan pentingnya pelembagaan ego dan super ego tersebut dalam suatu proses integrasi. Pertentangan antara harapan dan standar normatif ini dapat terjadi di mana-mana, baik dalam kelompok kecil maupun kelompok yang lebih besar, baik dalam suatu status sosial tertentu maupun antar kelas sosial.Salah satu sumber utama konflik dan kekerasan di berbagai daerah adalah kondisi penegak hukum di Indonesia yang sangat lemah. Ditambah lagi dengan berbagai bentuk diskriminasi dan marginalisasi dalam pengaturan social ekonomi, politik dan pemanfaatan sumber daya alam, bahkan kehidupan budaya.
Secara sistematis dalam bagian ini akan dibahas gejala-gejala perilaku sosial yang menyebabkan timbulnya konflik antar kelompok sosial yang terdiri atas prasangka, diskriminasi, dan pandangan etnosentris.
DAFTAR PUSTAKA
- Ali,Zainuddin,Sosiologi Hukum,Jakarta:Sinar Grafika,2009
- Gerungan, W.A. Dr. Dipl. Psych, Psychologi Sosial,(Jakarta: Eresco, 1977)
- Noor,Arifin,ISD; Ilmu Sosial Dasar,(Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), Cet. II (Revisi)
- M. Arifin Noor, ISD; Ilmu Sosial Dasar,(Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), Cet. II (Revisi), hlm. 221-223
- Zainuddin Ali,Sosiologi Hukum,Jakarta:Sinar Grafika,2009,hlm.73-75
- M. Arifin Noor,op.cit,hlm. 226
- Gerungan, W.A. Dr. Dipl. Psych, Psychologi Sosial,(Jakarta: Eresco, 1977), hlm. 178
- M. Arifin Noor,op.cit,hlm.230
Post a Comment
Silahkan di Share kalau dianggap bermanfaat