0
Fiqh Jinayah, Perbandingan Sanksi Ta’zir dan Hukuman Hudud, Qishash Serta Diyat, Hukuman Ta'zir, Hukum Hudud, Hukum Qishas
Fiqh Jinayah: Perbandingan Sanksi Ta’zir dan Hukuman Hudud, Qishash Serta Diyat - Jinayah atau lengkapnya fiqh jinayah merupakan suatu bagian dari bahasan fiqh. Kalau fiqh adalah ketentuan yang berdasarkan wahyu Allah SWT dan bersifat amaliyah (operasional) yang mengatur kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Allah dan sesama manusia, maka fiqh jinayah secara khusus mengatur tentang pencegahan tindak kejahatan yang dilakukan manusia dan sanksi hukuman yang berkenaan dengan kejahatan itu.

Tujuan umum dari ketentuan yang ditetapkan Allah itu adalah mendatangkan kemaslahatan untuk manusia, baik mewujudkan keuntungan dan manfaat bagi manusia, maupun menghindarkan kerusakan dan kemadlaratan dari manusia.[1]

B. Rumusan Masalah

1. Apakah perbandingan antara sanksi ta’zir dengan hukuman qishash, hudud dan diyat?

C. Tujuan

1. Mengetahui bagaimana perbandingan antara sanksi ta’zir dengan hukuman qishash, hudud dan diyat.


Wahbah Zuhaili dengan mengutip Al-Qarafi mengemukakan bahwa ada sepuluh perbedaan antara hukuman ta’zir dan hukuman hudud, qishash serta diyat.

1. Dari segi ukuran hukuman[2] (Perbandingan Sanksi Ta’zir dan Hukuman Hudud, Qishash Serta Diyat)

Hukuman had, qishas dan diyat telah ditentukan dan ditetapkan bentuk serta polanya oleh syara’, baik bentuk hukumannya maupun jenis dan kategori kejahatannya. Sehingga seorang hakim tidak memiliki kewenangan dan otoritas untuk menentukannya sesuai dengan situasi dan kondisi pelaku kejahatan atau situasi dan kondisi kejahatan yang dilakukan.

Adapun hukuman ta’zir, maka penentuan ukurannya diserahkan kepada penilaian dan kebijakan hakim untuk memilih bentuk hukuman dan sanksi yang pas dan sesuai dengan situasi dan kondisi terdakwa, kepribadiannya, catatan kriminalitasnya, tingkat efektifitas pengaruh suatu hukuman terhadap dirinya, tingkatan kondisi kejahatannya dan seberapa jauh efek kejahtan itu terhadap masyarakat.

Fuqaha sepakat, tidak ada batasan minimal untuk suatu hukuman ta’zir. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat seputar batas maksimal hukuman ta’zir. Ulama Malikiyah mengatakan, hukuman ta’zir adalah tidak memiliki batas. Dengan kata lain, tidak ada batas maksimal untuk hukuman ta’zir. Hal ini berdasarkan pada ijma para sahabat dalam kasus bahwa Ma’n Ibnu Zaidah membuat surat palsu dengan mengatasnamakan Umar dan memalsukan stempel Umar, kemudian dijatuhi hukuman dera sebanyak seratus kali atas perbuatannya itu.

2. Dari segi kewajiban melaksanakan hukuman (Perbandingan Sanksi Ta’zir dan Hukuman Hudud, Qishash Serta Diyat)

Hukuman had, qishas dan diyat ketika korban tidak memberikan ampunan, maka penguasa wajib melaksanakannya. Di dalamnya tidak boleh ada pengampunan, pembebasan, memintakan ampunan dan pengguguran karena alasan apapun.

Adapun hukuman ta’zir ada perbedaan pendapat di antara para ulama. Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad mengatakan, apabila hukuman ta’zir itu adalah untuk hak Allah SWT maka wajib dilaksanakan sama seperti hukuman had, kecuali jika menurut dugaan kuat sang imam, hukuman selain cambuk seperti teguran keras dan perkataan sudah bisa memberikan kemaslahatan. Dengan kata lain, bahwa hukuman ta’zir apabila itu karena hak Allah SWT maka imam tidak boleh meninggalkannya, akan tetapi ia wajib melaksanakannya. Akan tetapi, di dalamnya boleh ada pemberian ampunan dan memintakan ampunan jika memang ada suatu kemaslahatan menghendaki hak itu, atau pelaku sudah jera tanpa harus dihukum ta’zir.

Adapun hukuman ta’zir karena menyangkut hak individu, maka individu yang menjadi korban boleh memberi ampunan atau menuntut selain hukuman ta’zir. Hal ini bergantung pada adanya pelaporan perkara ke Pengadilan. Akan tetapi, apabila korban menuntut dilaksanakannya hukuman ta’zir, imam harus melaksanakannya, tidak boleh memberikan ampunan, tidak boleh memintakan ampunan dan tidak boleh menggugurkannya.

Imam Syafi’I mengatakan, bagi imam, hukuman ta’zir adalah tidak wajib sehingga terserah kepada dirinya, ia bisa melaksanakannya atau tidak melaksanakannya. Hal ini berdasarkan pada kisah yang terdapat dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah SAW tidak menjadi hukuman ta’zir kepada seorang sahabat anshor yang menyatakan perkataan tidak baik kepada beliau berkaitan dengan hak pengairan Az-Zubair ra., “apakah itu karena Zubair adalah putra bibi Anda?!” Karena hukuman ta’zir tidak ditentukan, maka itu tidak wajib bagi imam, sama seperti seorang ayah memukul anaknya atau seorang guru memukul muridnya.

Dasar yang melatarbelakangi perbedaan pendapat antara hukuman had dan hukuman ta’zir dalam hal ini adalah, hukuman had adalah murni untuk Allah, sedangkan qishas adalah terkait dengan hak individu (korban) sehingga ia boleh memberikan ampunan di dalamnya. Adapun hukuman ta’zir, ada yang merupakan hak Allah dan ada yang merupakan hak individu.[3]

3. Dari segi kesesuaian dengan prinsip dasar dan kaidah umum yang berlaku(Perbandingan Sanksi Ta’zir dan Hukuman Hudud, Qishash Serta Diyat)

Hukuman ta’zir disesuaikan dengan prinsip dasar atau kaidah umum yang menetapkan bentuk hukuman ta’zir yang dijatuhkan berbeda-beda sesuai dengan kejahatan yang dilakukan. Adapun hukuman had, sifatnya tetap dan pasti, tidak berbeda-beda di karenakan perbedaan ukuran dan tingkat keseriusan kejahatan yang dilakukan. Hal ini berdasarkan bukti bahwa dalam kasus pencurian, syari’at menyamakan antara pencurian harta sedikit seperti halnya satu dinar dengan pencurian harta banyak seperti seribu dinar misalnya.

Juga dalam kasus menenggak minuman keras, syari’at menyamakan hukuman hadnya antara pelaku yang menenggak hanya satu tetes saja dengan pelaku yang menenggak banyak misalnya. Sedangkan dalam hukuman qishas dan diyat syari’at menyamakan antara pembunuhan dengan korbannya adalah seorang ilmuan yang sholeh, bertaqwa, pemberani dan pahlawan, dengan kasus pembunuhan dengan korbannya orang biasa.[4]

4. Dari segi relativitas keberlakuannya berkaitan dengan ruang dan waktu (Perbandingan Sanksi Ta’zir dan Hukuman Hudud, Qishash Serta Diyat)

Hukuman ta’zir sangat tergantung kapan dan dimana akan diberlakukan, bahkan bisa jadi sebuah sanksi di suatu tempat atau waktu tidak cocok lagi diberlakukan di tempat atau waktu lain. Hal ini jelas berbeda dengan hudud, qishas dan diyat.[5]

5. Dari segi keterkaitan dengan kemaksiatan (Perbandingan Sanksi Ta’zir dan Hukuman Hudud, Qishash Serta Diyat)

Hukuman ta’zir adalah sebuah pendisiplinan yang keberadaannya mengikuti mafsadah yang ditimbulkan. Dalam banyak kasus, sering kali hukuman ta’zir dijatuhkan tanpa ada tindakan kemaksiatan, seperti ta’zir yang dilakukan dalam rangka mendisiplinkan dan memperbaiki perilaku anak kecil, binatang dan orang gila, karena apa yang mereka lakukan tidak terkategorikan sebagai kemaksiatan.[6]

Sedangkan hudud, qishas dan diyat selalu berkaitan dengan kemaksiatan, seperti pembunuhan, pelukaan, dan lainnya.[7]

6. Dari segi digugurkannya sanksi (Perbandingan Sanksi Ta’zir dan Hukuman Hudud, Qishash Serta Diyat)

Hukuman ta’zir terkadang bisa gugur meskipun kita berpegang pada pendapat yang mengatakan bahwa pelaksanaan hukuman ta’zir adalah wajib bagi iamam. Jika pelakunya anak kecil atau pelakunya orang mukallaf namun pelanggaran yang dilakukan adalah sebuah pelanggaran yang remeh yang jika dijatuhi hukuman maka tidak mewujudkan apa yang dikehendaki dari penjatuha hukuman itu. Sebab jika dijatuhi hukuman yang ringa, hal itu tidak bsa member efek jera. Namun, jika dijatuhi hukuman berat, itu tidak bisa dilakukan karena kasus kejahtana ynag dilakukan adalah kejatahan yang remenh.

Adapun hukuman had, jika memang statusnya sudah wajib dan positif, bagaiamanapun juga wajib dilaksanakan, dan sama sekali tidak bisa gugur karena alasan apapun.

7. Dari segi efek dan pengaruh taubat (Perbandingan Sanksi Ta’zir dan Hukuman Hudud, Qishash Serta Diyat)

Sesungguhnya hukuman ta’ir bisa gugur karena pelaku bertaubat, dan di sini tidak diketahui adanya perbedaa pendapat. Adapun hukuman had, sebagaimana akan dijelaskan maka tetap tidak bisa gugur karena taubat berdasarkan pendapat yang shahih menurut jumhur ulama selain hanbali kecuali dalam kasus kejahatan hiraabah (membegal). Karena dalam ayat hiraabah Allah SWT berfirman, “Kecuali orang-orang yang tobat (diantara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (manangkap) mereka, maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang”.(Al Maidah:34)[8]

8. Dari segi kompetensi hakim utuk memilih jenis dan bentuk sanksi (Perbandingan Sanksi Ta’zir dan Hukuman Hudud, Qishash Serta Diyat)

Hukuman ta’zir mengandung beberapa opsi pilihan. Adapun hukuman had, maka tidak ada opsi pilihan didalamnya kecuali hukuman had dalam kejahatan hirabah.

9. Dari segi pertimbangan-pertimbangan yang dapat meringankan hukuman (Perbandingan Sanksi Ta’zir dan Hukuman Hudud, Qishash Serta Diyat)

Sesungguhnya bentuk dan tingkat hukuman ta’zir berbeda-beda bergantung pada kondisi pelaku, korban dan bentuk kejahatannya. Oleh sebab itu dalam menjatuhkan vonis hukuman ta’zir harus memperhatikan dan mempertimbangkan besar kecilnya kejahatan yang dilakukan, kondisi pelaku dan korban.

Sementara untuk dapat memperingan hukuman hudud, qishash dan diyat tidak dapat dipertimbangkan dari sisi pelaku, tetapi hanya dari sisi tindak pidana.

10. Dari segi hak yang dilanggar (Perbandingan Sanksi Ta’zir dan Hukuman Hudud, Qishash Serta Diyat)

Hukuman ta’zir ada dua macam, ada hukuman ta’zir yang dijatuhkan demi memenuhi hak Allah seperti tindak kejahatan terhadap para sahabat, kejahatan terhadap Al-Qur’an dan berbagi bentuk penghinaan terhadap kehormatan-kehormatan agama Islam lainnya. Adapula hukuman ta’zir yang dijatuhkan demi memenuhi hak hamba, yakni hak individu, seperti menghujat dan menghina seseorang, memukul dan sebagainya.

Adapun hukumn had, qishash dan diyat menurut para Imam madzhab yang ada, semuanya merupakan hak Allah kecuali hukuman had untuk kejahatan qadzf.

Dengan memperhatikan sepuluh perbedaan diatas, dapat diketahui bahwa hukuman ta’zir bersifat relatif, fleksibel, temporal, dan situasional. Belum tentu satu jenis hukuman akan cocok dengan tempat dan waktu yang berlainan. Dengan demikian, ta’zir menjadi alternatif terbaik untuk diberlakukan terhadap beberapa jenis tindak pidana yang belum termasuk dalam cakupan jarimah qishash dan hudud.

Diantara sekian banyak jarimah yang belum termasuk ke dalam ranah qishash dan hudud adalah tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi merupakan jenis jarimah baru yang tidak sama dengan sariqah, hirabah, ikhtilas, intihab, ghashab dan al maksu. Karena korupsi berbeda dengan itu semua, maka sanksi yang cocok adalah ta’zir.

Namun demikian walaupun sanksi hukum bagi pelaku korupsi hanya berupa hukuman ta’zir, bukan berarti hukumannya ringan, sebab, diantara sekian banyak bentuk hukuman ta’zir bisa jadi berupa disalib, dipenjara, dipublikasikan secara besar-besaran, atau hukuman mati.[9]

A. Kesimpulan

Para ulama mengelompokkan jinayah itu dengan melihat kepada sanksi hukuman apa yang ditetapkan kepada 3 kelompok, yaitu:

1. Qisas-Diyat, yaitu tindak kejahatan yang sanksi hukumannya adalah balasan setimpal (qisas) dan denda darah (diyat). Yang termasuk dalam kelompok ini adalah pembunuhan, pelukaan, dan penghilangan bagian/anggota tubuh.

2. Hudud, yaitu kejahatan atau jinayah yang sanksi hukumannya ditetapkan sendiri secara pasti oleh Allah dan atau Nabi. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah pencurian, perampokan, perzinaan, tuduhan zina tanpa bukti, minum minuman keras, maker/pemberontakan dan murtad.

3. Ta’zir, yaitu kejahatan lain yang tidak diancam dengan qisas-diyat dan tidk pula dengan hudud. Dalam hal ini ancamannya ditetapkan oleh imam atau penguasa.[10]

Ø Hukuman hudud, qishas, dan diyat selama tidak terdapat unsur pemaafan dari pihak keluarga korban, hakim tetap wajib melaksanakannya. Sementara itu, mengenai hukuman ta’zir terdapat perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad, ta’zir itu menyangkut hak Allah dan hakim wajib melaksanakannya, akan tetapi kalau menyangkut hak manusia, hakim bisa saja memaafkan pelaku atau membekukan perkaranya. Di pihak lain, Al-Syafi’I berpendapat bahwa hukuman ta’zir tidak wajib dilakukan oleh seorang hakim, boleh dilaksanakan dan boleh tidak.

Ø Hukuman ta’zir sangat sesuai dengan logika, yaitu berat dan ringannya sanksi akan sangat tergantung pada jenis jarimah yang dilakukan. Sementara itu dalam hudud, misalnya dalam masalah pencurian, hukuman potong tangan tetap harus diberlakukan jika telah mencapai nisab. Pencuri satu dinar dan seribu dinar tetap sama-sama dipotong tangannya. Demikian halnya dalam jarimah syurb al-khamr, peminum satu botol khamr hukumnya sama dengan peminum seratus botol khamr.

Ø Ta’zir tergantung pada kapan dan dimana akan diberlakukan, lain halnya dengan hudud, qishas dan diyat.

Ø Ta’zir tidak selalu berkitan dengan kemaksiatan, sedangkan hudud, qishas dan diyat biasanya berhubungan dengan kemaksiatan.

Ø Ta’zir bisa jadi jadi digugurkan jika si pelaku belum dewasa atau sudah dewasa, tetapi kejahatannya relative sepele. Sedangkan snksi had tetap harus diberlakukan dan tidak boleh digugurkan.

Ø Ta’zir terkadang dibatalkan karena pelakunya bertaubat. Sementara hudud tidak dapat dibatalkan hanya karena adanya pengakuan taubat, kecuali dalam tindak pidana perampokan.

Ø Hakim boleh memilih sanksi dalam memberlakukan hukuman ta’zir. Sebaliknya, hakim tidak boleh memilih dalam memberlakukan hukuman hudud.

Ø Dua sisi yang dapat memperingan hukuman ta’zir, yaitu pelaku atau korban dan tindak pidana. Sementara untuk dapat memperingan hukuman hudud, qishash dan diyat tidak dapat dipertimbangkan dari sisi pelaku, tetapi hanya dari sisi tindak pidana.

Ø Hukuman ta’zir selalu berkaitan dengan hak Allah dan hak hamba. Sementara itu hukuman hudud, qishash, dan diyat berkaitan dengan hak Allah, kecuali jarimah qadzf.


DAFTAR PUSTAKA

  • Irfan, nurul dan Masyrofah. Fiqh Jinayah. Jakarta: Amzah. 2013
  • Syarifuddin, amir. Garis-garis Besar Fiqh. Jakarta: Kencana. 2010
  • Zuhaili, wahbah. Fiqh Islam Wa Adillatuhu (Terjemah). Jakarta: Gema Insani. 2011


  1. [1] Amir Syarifuddin. Garis-garis Besar Fiqh. Jakarta: Kencana. 2010. hlm. 253
  2. Wahbah Az-Zuhaili.Fiqh Islam Wa Adillatuhu (Terjemah).Jakarta:Gema Insani.2011.hlm.244-245
  3. Ibid. hlm.244-245
  4. Ibid. hlm.245
  5. Nurul Irfan, Fiqh Jinayah. Jakarta: Amzah. 2013. hlm.197
  6. Wahbah.op.cit.hlm.245
  7. Nurul irfan.op.cit.hlm.196
  8. Wahbah.op.cit.hlm246
  9. Nurul Irfan. Op.cit. hal. 198
  10. Amir Syarifuddin.op.cit.hlm.256-257 
Penulis Fiqh Jinayah: Perbandingan Sanksi Ta’zir dan Hukuman Hudud, Qishash Serta Diyat:

  1. Hesti Noor Farida (1212009)
  2. Nawalin Najjah (1212025)
  3. Zazuk Nur Hafidz (1212043)

Post a Comment

Silahkan di Share kalau dianggap bermanfaat

 
Top