0
Pengertian dan Macam-macam Asas Legalitas

Fiqh Jinayah: Pengertian dan Sumber Hukum Asas Legalitas

Pengertian dan Sumber Hukum Asas Legalitas - Pemberlakuan Asas Legalitas bertujuan untuk melindungi Hak Asasi Manusia, karena Hak Asasi Manusia adalah hak yang paling hakiki, yang tidak boleh dikurangi sedikitpun. Salah satu ketentuan dari asas Legalitas adalah melarang berlakunya undang-undang secara surut (retroaktif).

Namun dalam kenyataannya masyarakat selalu mengalami perkembangan, dan hukum selalu mengikuti perkembangan masyarakat tersebut. Dalam konteks yang demikian hukum seharusnya tidak selalu tertinggal dengan perkembangan masyarakat. Maka salah satu pergeseran paradigma yang telah dicapai yaitu dengan memberlakukan asas retroaktif (berlaku surut) yang secara nyata menyimpangi asas legalitas dengan tujuan untuk melindungi Hak Asasi Manusia, serta tercapainya suatu rasa keadilan[1].

B. Rumusan masalah
  1. Bagaimana pengertian Asas legalitas dan sumber hukumnya?
  2. Bagaimana dasar hukum syara’ dan hukum positif Asas legalitas? 

 

A. Pengertian Asas Legalitas

Kata asas berasal dari bahasa arab asasun yang berarti dasar atau prinsip, sedangkan kata “legalitas” berasal dari bahasa latin yaitu lex yang berarti undang-undang[2]. Asas legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang mengaturnya. Asas ini berdasarkan Al-Qur’an surah al-Isra’ ayat 15 dan surah al-An’am ayat 19[3]. Secara historis asas legalitas pertama kali di gagas oleh Anselm van Voirbacht dan penerapannya di Indonesia dapat dilihat Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi “suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan peraturan perundang-undangan pidana”

B. Sumber hukum Asas Legalitas Berdasarkan Hukum Islam

Dasar hukum asas legalitas dalam Islam adalah:
  1. surat al-Isra ayat 15
  2. surah al-Qashash ayat 59
  3. surat al-An’an ayat 19
  4. surat al-Baqarah ayat 286

Dasar hukum

1. Al-Qur’an dalam surat al-Isra ayat 15

مَّنِ ٱهۡتَدَىٰ فَإِنَّمَا يَهۡتَدِي لِنَفۡسِهِۦۖ وَمَن ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيۡهَاۚ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٞ وِزۡرَ أُخۡرَىٰۗ وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبۡعَثَ رَسُولٗا ١٥



Dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang Rasul

2. Al-Qur’an surat al-Qasas ayat 59

وَمَا كَانَ رَبُّكَ مُهۡلِكَ ٱلۡقُرَىٰ حَتَّىٰ يَبۡعَثَ فِيٓ أُمِّهَا رَسُولٗا يَتۡلُواْ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتِنَاۚ وَمَا كُنَّا مُهۡلِكِي ٱلۡقُرَىٰٓ إِلَّا وَأَهۡلُهَا ظَٰلِمُونَ ٥٩



Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat Kami.

3. Al-Qur’an dalam surat al-Anam ayat 19

قُلۡ أَيُّ شَيۡءٍ أَكۡبَرُ شَهَٰدَةٗۖ قُلِ ٱللَّهُۖ شَهِيدُۢ بَيۡنِي وَبَيۡنَكُمۡۚ وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانُ لِأُنذِرَكُم بِهِۦ وَمَنۢ بَلَغَۚ أَئِنَّكُمۡ لَتَشۡهَدُونَ أَنَّ مَعَ ٱللَّهِ ءَالِهَةً أُخۡرَىٰۚ قُل لَّآ أَشۡهَدُۚ قُلۡ إِنَّمَا هُوَ إِلَٰهٞ وَٰحِدٞ وَإِنَّنِي بَرِيٓءٞ مِّمَّا تُشۡرِكُونَ ١٩

19. Katakanlah: "Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?" Katakanlah: "Allah". Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Dan Al Quran ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya). Apakah sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain di samping Allah?" Katakanlah: "Aku tidak mengakui". Katakanlah: "Sesungguhnya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah)"

4. Al-Qur’an dalam surat al-Baqarah ayat 286

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ لَهَا مَا كَسَبَتۡ وَعَلَيۡهَا مَا ٱكۡتَسَبَتۡۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذۡنَآ إِن نَّسِينَآ أَوۡ أَخۡطَأۡنَاۚ رَبَّنَا وَلَا تَحۡمِلۡ عَلَيۡنَآ إِصۡرٗا كَمَا حَمَلۡتَهُۥ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِنَاۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلۡنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِۦۖ وَٱعۡفُ عَنَّا وَٱغۡفِرۡ لَنَا وَٱرۡحَمۡنَآۚ أَنتَ مَوۡلَىٰنَا فَٱنصُرۡنَا عَلَى ٱلۡقَوۡمِ ٱلۡكَٰفِرِينَ ٢٨٦

286. Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir"

Berdasarkan beberapa ketentuan yang terdapat dalam ayat Al-Qur’an tersebut, kemudian para fuqaha merumuskan kaidah hukum Islam yang di ambil dari substansi ayat tersebut, seperti sebagai berikut:

لاحكم ﻷﻓﻌﺎل قبل ورود ﺍﻠﻨﺺ

“ tidak adahukuman bagi perbuatan orang yang berakal sebelum adanya ketentuan nas”.

لا جرﻴﻤﺔ ولا عقوﺒﺔ ﺇلا ﺒﺎﻠﻨﺺ

“ tidak ada tindak pidana dan tidak ada hukuman kecuali adanya nas”.

ﺍلاصل فى ﺍﻷﺸﻴﺎء ﺍلاﺒﺎﺤﺔ ﺤﺗﻰ ﻳﺪﻞ ﺍﻠﺪﻠﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺍﻠﺘﺤﺮﻴﻢ

“ pada asalnya semua perkara dan perbuatan adalah diperbolehkan , kecuali adanya dalil yang mengharamkan atau melarang perbuatan tersebut”.

لا يمكن ﺍﻋﺗﺒﺎﺮ فعل ﺍو ترك ﺠﺮﻳﻤﺔ ﺍلا ﺒﺎﻠﻨﺺ صر يح يحرم ﺍلفعل ﺍو ﺍﻠترك ﻓﺎﻦ لم يرد نص صريح يحرم ﺍﻠفعل ﺍو ﺍﻠترك فلا ﻤﺴﺌﻮﻟﻳﺔ علي ﻔﺎعل ﺍوﺘﺎرك ولا ﻋﻗﺎﺐ

“ suatu perbuatan atau sikap yang tidak dilakukan, tidak bias dipandang sebagai suatu jarimah sebelum adanya nas yang tegas melarang perbuatan atau sikap yang tidak dilakukan tersebut. Apabila tidak ada ketentuan nas yang mengaturnya maka perbuatan seseorang tidak bias dimintai pertanggungjawaban pidana dan tidak dapat dipidana”. [4]

C. Penerapan Asas Legalitas

Asas legalitas diterapkan oleh syara’ pada semua jarimah dengan cara yang berbeda, baik pada jarimah hudud, qishash, maupun ta’zir[5].

a. Dalam jarimah hudud dan qishash

Dalam jarimah hudud dan qishash yang hukumannya telah ditentukan oleh syara’, nash-nash tentang hukuman tersebut secara tegas dan jelas dinyatakan dalam Al-Qur’an dan sunnah. Untuk jarimah zina larangan dan hukumnya terdapat dalam:

1. Surat Al-isra’ ayat 32

وَلَا تَقۡرَبُواْ ٱلزِّنَىٰٓۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةٗ وَسَآءَ سَبِيلٗا ٣٢

Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.

2. Surat An-Nur ayat 2

ٱلزَّانِيَةُ وَٱلزَّانِي فَٱجۡلِدُواْ كُلَّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا مِاْئَةَ جَلۡدَةٖۖ وَلَا تَأۡخُذۡكُم بِهِمَا رَأۡفَةٞ فِي دِينِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۖ وَلۡيَشۡهَدۡ عَذَابَهُمَا طَآئِفَةٞ مِّنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٢

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.

Untuk jarimah Qadzaf nash tentang hukumanya terdapat dalam surat An-Nuur ayat 4 yang artinya:

Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik[6] (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.


b. Dalam jarimah ta’zir

Penerapan asas legalitas dalam jarimah ta’zir berbeda penerapan asas legalitas dalam jarimah huddud dan qishash. Abdul Qadir Audah membagi hukuman ta’zir kepada tiga bagian:

1. Hukuman ta’zir atas perbuatan maksiat.
Para ulama’ sepakat bahwa hukuman ta’zir diterapkan atas setiap perbuatan maksiat, yang tidak dikenakan had dan tidak pula kifarat, baik perbuatan maksiat tersebut menyinggung hak Allah maupun hak adami.

2. Hukuman ta’zir dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umum.
Menurut kaidah umum yang berlaku selama ini dalam syari’at islam, hukuman ta’zir hanya dikenakan terhadap maksiat, yaitu perbuatan yang dilarang karena zat perbuatannya itu sendiri sebagai penyimpangan dari aturan pokok tersebut.

3. Hukuman ta’zir atas perbuatan pelanggaran (mukhalafah).
Pelanggaran (mukholafah) adalah melakukan perbuatan makruh atau melakukan perbuatan mandub.
Untuk menjatuhkan ta’zir atas perbuatan mukhalafah, disyaratkan berulang-ulangnya perbuatan yang dapat dikenakan hukuman, jadi. Sebenarnya penjatuhan itu bukan karena perbuatannya itu sendiri melainkan karena berulang-ulang, sehingga perbuatan itu menjadi adat kebiasaan.

D. Azas legalitas antara syara’ dan hukum positif.

Asas legalitas baru dikenal oleh hukum positif pada akhir abad kedelapan belas masehi sebagai hasil dari revolusi perancis[7]. Sebelum masa tersebut para hakim bisa bertindak sekehendak hatinya dalam menentukan macamnya jarimah dan hukumnya. Pendirian hukum positif sama dengan syara’, bahwa permulaan tindak pidana tidak dapat dihukum,akan tetapi dikalangan sarjana-sarjana hukum positif terdapat perbedaan pendapat tentang saat dimana pembuat dianggap telah mulai melakukan jarimahnya itu. Pertama, menurut aliran obyektif, saat tersebut ialah ketika ia melakukan perbuatan material yang membentuk suatu jarimah. Dengan kata lain aliran ini melihat kepada obyek atau perbuatan yang telah dikerjakan oleh pembuat. Kedua, menurut aliran subyektif, aliran ini memakai niatan dan pribadi pembuat untuk mengetahui maksud yang dituju oleh perbuatannya itu. Denagan kata lain, aliran ini menekan kepada subyek atau niat pembuat. Dari perbandingan syara’, ternyata pendirian syara’ dapat menampung kedua aliran tersebut. Akan tetapi syara’ menambahkan syarat yaitu aoabila apabila perbuatan penbuat bias dikualifikasikan sebagai perbuatan maksiat / perbuatan salah, baik yang bisa menyiapkan jalan untuk jarimah yang dimaksudkan atau tidak. [8]

Meskipun pada masa sekarang asas legalitas itu masih dipakai, namun sudah diperlonggar, tidak seperti pada masa pertamanya yang diterapkan secara ketat. Di Indonesia asas legalitas ini masih tetap dipakai, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 1 ayat (1) KUH Pidana Indonesia yang berbunyi: “tiada suatu perbuatan dapat dipidana melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu terjadi”.[9]

Kesimpulan

Demikian makalah kami yang bertemakan Asas Legalitas, semoga dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan anda mengenai asas legalitas khususnya dan pada hukum umumnya. dari makalah asas legalitas dapat disumpal sebagaimana berikut:
 
Asas legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang mengaturnya. Dasar hukum asas legalitas dalam Islam adalah:
  1. surat al-Isra ayat 15
  2. surah al-Qashash ayat 59
  3. surat al-An’an ayat 19
  4. surat al-Baqarah ayat 286

Asas legalitas diterapkan oleh syara’ pada semua jarimah dengan cara yang berbeda, baik pada jarimah hudud, qishash, maupun ta’zir.
 

Saran

Dalam penyusunan makalah ini kami sadar bahwa masih banyak kekurangan baik kerapian dalam penulisan atau pun kekurang-lengkapan isi dari makalah ini. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan sarannya agar kami dapat memperbaiki kekurangan dan kesalahan kami.


DAFTAR PUSTAKA


Munajat, Makhrus, M.Hum. Hukum Pidana Islam Di Indonesia. 2009. Yogyakarta : Teras

Ali, Zainuddin, Prof. Dr. M.A. Hukum Pidana Islam. 2007. Jakarta : Sinar Grafika

A. Hanafi, asas-asas hukum pidana Islam .1990. Jakarta : Bulan Bintang

M.Budiarto, K-Wantjik Saleh, kitab undang-undang hukum pidana, 1982. Jakarta : Ghalia Indonesia

Muslich, Ahmad Wardi, Drs. H. . pengantar dan asas hukum pidana Islam.2006. Jakarta : Sinar Grafika

http://zainabyanl.blogspot.com/

  1. http://zainabyanl.blogspot.com/
  2. Drs. Makhrus Munajat, M. Hum. hukum pidana islam di Indonesia. hal. 21
  3. Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M. A. hukum pidana islam. hal. 3
  4. Drs.makhrus munajat,M.Hum.hukum pidana islam di Indonesia.hal 24
  5. Drs. H. Ahmad Wardi Muslich. pengantar dan asas hukum pidana Islam. Hal. 32
  6. Yang dimaksud wanita-wanita yang baik disini adalah wanita-wanita yang Suci, akil balig dan muslimah.
  7. A. Hanafi, asas-asas hokum pidana Islam ,Bulan Bintang, Jakarta, cet. 4, 1990, hal. 71
  8. Drs.makhrus munajat,M.Hum.hukum pidana islam di Indonesia.hal 48-50
  9. M.Budiarto, K-Wantjik Saleh, kitab undang-undang hukum pidana, Ghalia Indonesia, cet. kedua, 1982, hal. 9

Post a Comment

Silahkan di Share kalau dianggap bermanfaat

 
Top