0
Sejarah Politik Hukum Adat Belanda di Indonesia
Sejarah perpolitikah Hukum adat di Indonesia
Hukum Adat di Indonesia

Meskipun penjajah Belanda sangat keji terhadap bangsa Indonesia dengan aturan “Cultuurstelsel” sangat menistakan rakyat dan ekonomi Indonesia . Dalam sejarah perundangan Indonesia Belanda memberi andil penting dengan dimulainya pengkodifikasian hukum tahun 1848, pembukuan hukum ke dalam kitab perundangan yang disusun secara sistematis. Pengkodifikasian itu dimulai dari hukum perdata yang merupakan tiruan dari kodikasi hukum perdata yang dibuat di negeri Belanda.
(Baca: Sejarah Hukum Adat di Indonesia)

Mengenai hukum perdata antara anggota rakyat itu dibeda-bedakan, oleh karena itu kodifikasi hukum perdata tahun 1848 itu tidak termasuk hukum adat. Oleh karena bukan saja karena pengalaman pemerintah mengenai keberlakuan hukum rakyat itu sejak zaman VOC memerlukan adanya perhatian, dan setelah kodifikasi 1848 timbul perbedaan pendapat antara Mr. Wichers yang menghendaki agar sebagian hukum perdata barat harus diberlakukan juga untuk golongan yang bukan Eropa, sedangkan Gubernur Jendral Rochussen menghendaki agar bagi golongan rakyat bukan Eropa harus berlaku hukum adat sepenuhnya.
(Baca juga: Pengertian Hukum Adat Menurut Para Ahli Hukum)

Perbedaan pendapat yang berkepanjangan itu akhirnya menempatkan dasar perundangan berlakunya hukum adat bagi golongan peribumi dan timur asing dalam pasal 11 AB yang berbunyi:

“Kecuali dalam hal-hal orang pribumi atau orang-orang yang disamakan dengan mereka (orang timur asing), dengan sukarela menaati (vrijwillige onderwerping) peraturan-peraturan hukum perdata dan hukum dagang Eropa, atau dalam hal-hal bahwa bagi mereka berlaku hukum peraturan perundangan semacam itu, atau peraturan perundangan lani,maka hukum yang berlaku dan diperlakukan oleh Hakim peribumi (Inlands rechter) bagi mereka itu adalah “godssientige wetten volksinstellingen en gebruiken” (undang-undang keagamaan, lembaga-lembaga rakyat, dan kebiasaan) mereka, asal saja peraturan-peraturan itu tidak bertentangan dengan asas-asas keadilan yang diakui umum”
(Baca juga: Sejarah dan Kedudukan Hukum Perdata Islam di Indonesia)

Ketika istilah “hukum adat” (adatrecht) belum dikenal maka istilah yang digunakan pembuat perundangan adalah “ undang-undang keagamaan, lembaga-lembaga rakyat, dan kebiasaan.

Hukum adat yang merupakan hukum rakyat menarik perhatian bagi para ilmuan untuk melakukan penelitian bagi kepentingan ilmu pengetahuan dan penjajah Belanda. Sebelumnya telah ada yang lebih dulumelakukan proses penemuan hukum adat itu seperti Willem Marsden, Stamford Raffles, Crawfurd dll.Beberapa peneliti hukum adat zaman Belanda antara lain :
  1. Van Overstraten (1791-1796
  2. Nicolaus Engelhard (1761-1831)
  3. Dirk van Hogendrop (1761-1832)
  4. Jean Chretien Baud (1789-1859)
  5. Daendels (1808-1811),
  6. Tj. Willer (1808-1865)
  7. Van Den Bossche (1852-1854) dll.
Di antara tahun 1870-1900 muncul dari beberapa pihak yang menghendaki agar bagi golongan peribumi dilakukan pula kodifikasi hukum adat, diantaranya Menteri jajahan Belanda Cremer pada tahun 1900 dan Mr. Carpentier Alting namun dibantah oleh Mr.I.A Nederburgh dan Mr. F.C. Hekmeyer, oleh karena diragukan akan dapat berlaku dengan baik, dikarenakan bagian terbesar kodifikasi itu berdasrakan sistem hukum Eropa. Laporan hasil kerja Alting tersebut tidak diperdebatkan dalam dewan perwakilan rakyat Belanda karena Menteri Cremer diganti Idenburgh.

Idenburgh berpendapat bahwa Hindia Belanda perlu diadakan unifikasi hukum yang asasnya berdasarkan hukum Eropa, sebagaimana direncanakan oleh Prof. Mr. LWG. Van den berg, sehingga redaksi pasal 75 dan pasal 109 RR tahun 1845 perlu diadakan perubahan.

Oleh karena konsep unifikasi tersebut akan berakibat terdesaknya Hukum Adat maka Van Vollenhoven yang menjadi Guru besar pada Universitas Leiden menentangnya dengan hebat.

Usul unifikasi itu diperdebatkan juga dewan perwakilan rakyat Belanda pada tahun 1906, yang dibela oleh menteri Fock yang menggantikan Idenburgh pada tahun 1904, tetapi banyak ditentang oleh para anggota DPR Belanda.

Pada akhirnya tanggal 10-12 Oktober 1906 DPR menerima usul amandemen anggota DPR van Idsinga di mana konsep unifikasi itu lalu disingkirkan dan tetap dipertahankan konsep kodifikasi. Redaksi amandemen Idsinga tersebut yang menjadi redaksi pasal 75 RR (redaksi baru) dan kemudian menjadi redaksi pasal 131 ayat 2 b IS sampai pecah perang dunia kedua.

Usul perubahan pasal 75 RR dan pasal 109 RR lama (1854) ditetapkan menjadi Undang-Undang pada tanggal 31 Desember 1906 tetapi ketentuan peralihannya baru selesai pada tahun 1915 oleh Menteri Pleyte dan redaksi baru dari kedua pasal tersebut perubahan pasal RR yang baru ini, pada tahun 1925 RR telah diganti dengn Indiesche Staatsregeling (IS) dimana pasal 75 RR redaksi baru menjadi pasal 131 IS dan pasal 109 RR redaksi baru Menjadi pasal 163 IS.

Pasal 131 IS yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 1926 itu Menyatakan bahwa:
“ Dalam Mengadakan ordonansi-ordonansi yang memuat hukum perdata dan dagang Pembuat ordonasi akan memperhatikan sebagai berikut”:
  1.  Bagi golongan Eropa berlaku hukum yang sama. . . . . .
  2. Bagi golongan pribumi, golongan timur asing dan bagian-bagian dari padanya berlaku peratuaran-peraturan hukum yang didasarkan atas agama-agama dan kebiasaan mereka, namun dapat dikecualikan terhadap peraturan-peraturan sosial mereka memerlukan kekecualian itu. Dalam hal kebetulan sosial mereka memerlukan maka dapat ditetapkan bagi mereka hukum Eropa, jika perlu diadakan perubahan, maupun hukum yang berlaku bagi mereka dan golonga Eropa bersama-sama.

Demikian politik hukum adat di masa Hindia Belanda bahkan sejak tahun 1930 diadakan perubahan politik hukum adat yanga baru di mana hukum adat ditingkatkan penelitiannya untuk menjajagi kemungkinan dilakukannya kodifikasi. Namun sampai hari ini usaha ke arah kodifikasi hanya merupakan harapan saja.
(Baca juga: Pengertian dan Prosedur Peninjauan Kembali)

Jadi menjelang runtuhnya kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia dalam perang dunia kedua, bangsa Indonesia mewarisi dua konsep hukum adat. Pertama, konsep hukum adat dari pemerintahan kolonial yang dituangkan dalam pasal 131 ayat 2 b IS yang ditujukan kepada pembentuk perundangan negara, dan kedua, konsep hukum dari kongres Pemuda Indonesia, yang ditujukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk memperkuat persatuan bangsa.

Demikian artikel saya yang berjudul "Sejarah Politik Hukum Adat Belanda di Indonesia" semoga dapat bermanfaat bagi pembelajaran di sekolah maupun di perkuliahan.




Post a Comment

Silahkan di Share kalau dianggap bermanfaat

 
Top