0
Asbab An Nuzul, macam-macam Asbab An Nuzul, kaidah Asbab An Nuzul, konsep Asbab An Nuzul

Macam-Macam Asbab An-Nuzul 

1. Dilihat dari Sudut Pandang Redaksi-Redaksi yang Dipergunakan dalam Riwayat Asbab N-Nuzul


Ada dua jenis redaksi yang digunakan oleh perawi dalam mengungkapkan riwayat asbab an-Nuzul, yaitu sharih (visionable/jelas) dan muhtamilah menunjukkan asbab an-Nuzul, dan tidak mungkin pula menunjukkan yang lainnya. Redaksi yang digunakan termasuk sharih bila perawi mengatakan: “sebab turun ayat ini adalah…

Atau ia menggunakan kata “maka” (fa taqibiyah) setelah ia mengatakan peristiwa tertentu. Misalnya ia mengatakan: “Telah terjadi…, maka turunlah ayat…

Contoh riwayat asbab an-Nuzul yang menggunakan redaksi sharih adalah sebuah riwayat yang dibawakan oleh Jabir bahwa orang-orang Yahudi berkata, “Apabila seorang suami mendatangi “qubul” istrinya dari belakang, anak yang lahir akan juling.” Maka turunlah ayat, surat al-baqarah ayat 223 yang artinya “Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu hendaki.”
 
Adapun redaksi yang digunakan termasuk muhtamilah bila perawi mengatakan: “ayat ini turun berkenaan dengan…”
 
Misalnya, riwayat Ibnu Umar yang mengatakan: “Ayat, istri-istri kalian adalah (ibarat) tanah tempat bercocok tanam, turun berkenaan dengan mendatangi (menyetubuhi) istri dari belakang.” Atau perawi mengatakan: “Saya kira ayat ini turun berkenaan dengan…”
Mengenai riwayat asbab an-Nuzul yang menggunakan redaksi “muhtamilah”, Az-Zarkasy menuturkan dalam kitabnya Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an: “Sebagaimana diketahui, telah terjadi kebiasaan para sahabat Nabi dan tabi’in, jika seorang diantara mereka berkata, ‘Ayat ini diturunkan berkenaan dengan…’. Maka yang dimaksud adalh ayat itu mencakup ketentuan hukum tentang ini atau itu, dan bukan bermaksud menguraikan sebab turunnya ayat.”

2. Dilihat dari Sudut Pandang Berbilangnya Asbab An-Nuzul untuk Satu Ayat atau Berbilangnya Ayat untuk Asbab An-Nuzul


a. Berbilangnya Asbab An-Nuzul untuk Satu Ayat (Ta’addud As-Sabab wa Nazil Al-Wahid).
Pada kenyataannya, tidak setiap ayat memiliki riwayat asbab an-Nuzul dalam satu versi. Ada kalanya satu ayat memiliki beberapa versi riwayat asbab an-Nuzul. Tentu saja, hal itu tidak akan menjadi persoalan bila riwayat-riwayat itu tidak mengandung kontradiksi. Bentuk variasi itu terkadang dalam redaksinya dan terkadang pula dalam kualitasnya. Untuk mengatasi variasi riwayat asbab an-Nuzul dalam satu ayat dari sisi redaksi, para ulama mengemukakan cara-cara berikut.

v Tidak Mempermasalahkannya

Cara ini ditempuh apabila variasi riwayat-riwayat asbab an-Nuzul ini menggunakan redaksi muhtamilah (tidak pasti). Misal satu versi menggunakan redaksi: “Ayat ini diturunkan berkenaan dengan …”. Dan versi lain menggunakan redaksi: “Saya kira ayat ini diturunkan berkenaan dengan …”.

Variasi riwayat asbab an-Nuzul di atas tidak perlu dipermasalahkan karena yang dimaksud oleh setiap variasi itu hanyalah sebagai tafsir belaka dan bukan sebagai asbab an-Nuzul. Ini berbeda bila ada indikasi jelas yang menunjukkan bahwa salah satunya memaksudkan asbab an-Nuzul.

v Mengambil versi riwayat asbab an-Nuzul yang menggunakan redaksi sharih
Cara ini digunakan bila salah satu versi riwayat asbab an-Nuzul itu tidak menggunakan redaksi sharih (pasti). Misalnya riwayat asbab an-Nuzul yang menceritakan kasus seorang lelaki yang menggauli istrinya dari bagian belakang. Mengenai kasus itu, naïf berkata, satu hari, aku membaca ayat “nisa’ukum hartsun lakum”. Ibn Umar kemudian berkata “Tahukah engkau mengenai apa ayat ini diturunkan? “Tidak”, jawabku. Ia melanjutkan “Ayat ini diturunkan berkenaan dengan menyetubuhi wanita dari belakang”. Sementara Ibn Umar menggunakan redaksi yang tidak sharih (pasti), dalam salah satu riwayat Jabir, dikatakan, “Seorang Yahudi mengatakan bahwa apabila seseorang menyetubuhi istrinya dari belakang, anak yang lahir akan juling. Maka diturunkanlah ayat:

“Nisa’ukum hartsan lakum”.

Dalam kasus semacam di atas, riwayat Jabir-lah yang harus dipakai karena ia menggunakan redaksi sharih (pasti).

v Mengambil versi riwayat yang sahih (valid)
Cara ini digunakan apabila seluruh riwayat itu menggunakan redaksi “sharih” (pasti), tetapi kualitas salah satunya tidak sahih. Misalnya dua riwayat asbab an-Nuzul kontradiktif yang berkaitan dengan diturunkannya ayat: “Demi waktu matahari sepenggalah naik, dan demi malam apabila telah sunyi. Tuhan-mu tidak meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu. (QS. Adh-Dhuha:1-3)

Versi pertama yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari-Muslim dari Jundab mengatakan: “Rasulullah SAW, menderita sakit sehingga tidak mendirikan shalat malam selama dua atau tiga malam. Lalu, datanglah seorang wanita lalu berkata, “Ya Muhammad, sesungguhnya saya berharap setan telah meninggalkanmu karena saya tidak melihat dekat denganmu selama dua atau tiga malam”. Maka, turunlah ayat … (Adh-Dhuha [93]:1-3).”

Versi kedua yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dan Ibn Abi Syaiban dari Hafsah bin Maisarah, dari ibunya, dari neneknya (khadam Rasulullah) mengatakan: “Seekor anak anjing masuk ke dalam rumah Rasulullah dan bersembunyi di bawah tempat tidur sampai mati. Oleh karena itu, selama empat hari Rasulullah tidak menerima wahyu. Nabi berkata, ‘Wahai Khaulah! Apakah yang telah terjadi di rumah Rasulullah? (sehingga) Jibril tidak datang kepadaku.’ Maka aku pun (khaulah) berkata, “Alangkah baiknya jika ku periksa langsung keadaan rumahnya dan menyapu lantainya. Aku masukkan sapu ke bawah tempat tidur dan mengeluarkan bangkai anjing darinya. Nabi kemudian datang dalam keadaan dagu gemetar. Oleh karena itu, ketika menerima wahyu, dagu Nabi selalu bergetar. Maka Allah menurunkan surat Adh-Dhuha [93]:1-3.”

Studi kritik terhadap versi kedua menempatkan status riwayatnya pada kualitas tidak sahih. Dalam hal ini, Ibn Hajar mengatakan bahwa kisah keterlambatan Jibril menyampaikan wahyu kepada Nabi karena anak anjing memang masyhur, tetapi keberadaannya sebagai asbab an-Nuzul adalah asing (gharib) dan sanadnya ada yang tidak dikenal. Oleh karena itu, yang harus diambil adalah riwayat lain yang sahih.

Adapun terhadap variasi riwayat asbab an-Nuzul dalam satu ayat, versi berkualitas, para ulama mengemukakan langkah-langkah berikut: 

ð Mengambil versi riwayat yang sahih
Cara ini mengambil bila terdapat dua versi riwayat tentang asbab an-Nuzul satu ayat, satu versi berkualitas sahih, sedangkan yang lainnya tidak. Misalnya dua versi riwayat asbab an-Nuzul kontradiktif untuk surat Adh-Dhuha [93] ayat 1-3.

ð Melakukan studi selektif (tarjih)
Langkah ini diambil bila kedua versi asbab an-Nuzul yang berbeda-beda itu kualitasnya sama-sama sahih. Seperti asbab an-Nuzul yang berkaitan dengan turunnya ayat tentang roh. Versi asbab an-Nuzul yang dikeluarkan oleh Al-Bukhari dari Ibn Mas’ud mengatakan: “aku berjalan bersama Rasulullah di Madinah, dalam keadaan beliau bertekan pada pelepah kurma. Beliau kemudian melewati sekelompok orang Yahudi. Sebagian dari mereka berkata kepada sebagian yang lainnya. ‘Alangkah baiknya bila kalian menanyakan sesuatu kepadanya (Muhammad)’. Karena itu, mereka berkata, ‘Ya Muhammad terangkan kepada kami tentang roh’. Nabi berdiri sejenak sambil mengangkat kepala. (Saat itu pun) aku tahu ternyata beliau pun membacanya.’ Katakanlah, permasalahan roh adalah sebagian dari urusan Tuhan-ku. Dan tidak diberikan kepada kamu ilmu, kecuali sedikit saja.”

Versi asbab an-Nuzul yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Tirmidzi dari Ibnu Abbas mengatakan: “Orang-orang Quraisy berkata kepada orang-orang Yahudi, ‘Berikan kepada kami tentang sesuatu yang akan ditanyakan kepada lelaki ini (Nabi)’. Mereka menjawab,’Bertanyalah kepadanya tentang roh’. Maka mereka pun bertanya tentangnya kepada Nabi. Maka Allah menurunkan: Wa yasalunaka ‘an ar-ruh …”

Riwayat yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Tirmidzi keduanya berstatus sahih. Akan tetapi, mayoritas ulama lebih mendahulukan hadis Bukhari daripada hadis Tirmidzi, karena hadis Bukhari lebih unggul (rajih), sedangkan hadits Tirmidzi tidak unggul (marjuh). Alasan yang dikemukakan mereka adalah bahwa Ibn Mas’ud menyaksikan kejadian sendiri di atas sedangkan Ibn Abbas hanya mendengarnya dari orang lain.[1] Dalam kasus di atas, As-Suyuthi berkomentar sebagai berikut:

“Studi tarjih menyimpulkan bahwa riwayat Bukhari dipandang lebih sahih daripada riwayat Tirmidzi, karena Ibn Mas’ud menghadiri langsung kejadian di atas.”

ð Melakukan studi kompromi (jama’)
Langkah ini diambil bila kedua riwayat yang kontradiktif itu sama-sama memiliki status kesahihan hadis yang sederajat dan tidak mungkin dilakukan tarjih. Misalnya, dua versi riwayat asbab an-Nuzul yang melatarbelakangi turunnya ayat mu’amalah surat An-Nur [24] ayat 6. Dalam versi riwayat Al-Bukhari dan Muslim melalui jalur Shahal ibn Sa’ad dikatakan bahwa ayat itu turun berkenaan dengan salah seorang sahabat yang bernama Uwaimir yang bertanya kepada Rasulullah tentang apa yang harus dilakukan oleh seorang suami yang mendapatkan istrinya berzina dengan orang lain. Akan tetapi, dalam versi Bukhari melalui jalur Ibn Abbas dikatakan bahwa ayat tersebut turun dengan dilatarbelakangi oleh kasus Hilal ibn Umyyah yang menuduh istrinya di depan Rasulullah berzina dengan Sarikh Ibn Sahma’. Kedua riwayat itu benar-benar berkualitas sahih dan tidak mungkin dilakukan studi tarjih antara keduanya. Oleh karena itu, perlu dilakukan studi kompromi (jama’). Dua kejadian itu berdekatan masanya. Oleh karena itu, kita mudah mengompromikan keduanya. Dalam jangka waktu yang tidak begitu berselang lama, kedua orang sahabat itu bertanya kepada Rasulullah tentang masalah serupa, maka turunlah ayat mu’amalah untuk menjawab kedua orang itu. Dalam kasus ini Al-Khatib berkata: “Kedua penanya itu kebetulan bertanya pada satu waktu.

Kalau kedua versi riwayat asbab an_nuzul itu sahih atau tidak sahih atau tidak bisa dilakukan studi tarjih dan jama’, maka hendaklah kita anggap ayat itu diturnkan berulang kali. Dalam istilah ilmu-ilmu Al-Qur’an hal itu bisa disebut “Berulangnya turun ayat” (ta’addud an-nuzul). Sebagai contoh ada dua versi asbab an-Nuzul yang melatarbelakangi turunnya surat Al-Ikhlas [112]. Satu riwayat mengatakan bahwa surat itu turun untuk menjawab pertanyaan kelompok musyrikin Mekah. Riwayat lain mengatakan bahwa surat itu turun untuk menjawab kelompok ahli kitab di Madinah. Karena kedua riwayat sama-sama sahih dan tidak mungkin untuk dilakukan studi tarjih dan jama’; maka kita anggap ayat tersebut turun dua kali.

Variasi Periwayatan Asbab An-Nuzul 

b. Variasi Ayat untuk Satu Sebab (Ta’addud Nazil wa As-Sabab Al-Wahid)

Terkadang suatu kejadian menjadi sebab bagi turunnya, dau ayat atau lebih. Hal ini dalam ‘Ulum Al-Qur’an disebut dengan istilah “Ta’addud Nazil wa as-Sabab al-Wahid” (terbilang ayat yang turun, sedangkan sebab turunnya satu). Contoh satu kejadian yang menjadi sebab bagi dua ayat yang diturunkan, sedangkan antara yang satu dengan yang lainnya berselang lama adalah riwayat asbab an-Nuzul yang diriwayatkan oleh Ibn Jarir Ath-Thabari, Ath-Thabrani, dan Ibn Mardawiyah dari Ibn Abbas: “Ketika Rasulullah duduk di bawah naungan pohon kayu, beliau bersabda, ‘Akan datang kepada kamu seorang manusia yang memandangmu dengan dua mata setan, janganlah kalian ajak bicara apabila ia datang menemuimu.’ Tidak lama sesudah itu, datanglah seorang lelaki yang bermata biru. Rasulullah kemudian memanggilnya dan bertanya. ‘Mengapa engkau dan teman-temanmu memakiku?, Orang tersebut pergi dan datang kembali beserta teman-teamnnya. Mereka bersumpah dengan nama Allah bahwa mereka tidak menghina Nabi. Terus-menerus mereak mengatakn demikian sampai Nabi memaafkannya, maka turunlah surat At-Taubah [9] ayat 74 (mereka {orang-orang munafik itu} bersumpah dengan {nama} Allah, bahwa mereka tidak mengatakan {sesuatu yang menyakitimu}. Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah islam, dan mengingini apa yang mereka tidak dapat mencapainya; dan mereka tidak mencela {Allah dan Rasul-Nya}, kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertobat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan di akhirat; dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pelindung dan tidak {pula} penolong di muka bumi).”
Demikian pula, Al-Hakim meriwayatkan hadis ini dengan redaksi yang sama dan mengatakan, “Maka Allah menurunkan surat Al-Mujadalah [58] ayat 18-19.”

Kaidah Asbab An-Nuzul


Ada sebuah persoalan yang penting dalam pembahasan asbab an-Nuzul, misalkan telah terjadi suatu peristiwa atau ada suatu pertanyaan, kemudian satu ayat turun untuk memberikan penjelasan atau jawabannya, tetapi ungkapan ayat tersebut menggunakan redaksi ‘amm (umum) hingga boleh jadi mempunyai cakupan yang lebih luas dan tidak terbatas pada kasus pertanyaan itu, maka persoalannya adalah apakah ayat tersebut harus dipahami dari keumuman lafazh ataukah dari sebab khusus (spesifik) itu. Dengan kata lain, apakah ayat itu berlaku secara khusus ataukah umum? Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa yang harus menjadi pertimbangan adalah keumuman lafazh dan bukannya kekhususan sebab (al-‘ibrah bi ‘umum al-lafzhi la bi khusus as-sabab). As-Suyuthi, memberikan alasan bahwa itulah yang dilakukan oleh para sahabat dan golongan lain. Ini bisa dibuktikan, antara lain, ketika turun ayat zihar dalam kasus Salman Ibn Shakhar, ayat li’an dalam perkara Hilal Ibn Umayyah, dan ayat qadzaf dalam kasus tuduhan terhadap ‘Aisyah, penyelesaian terhadap kasus-kasus tersebut ternyata juga diterapkan terhadap peristiwa lain yang serupa.

Zamakhsyari dlam penafsiran surat Al-Humazah [104] mengatakan bahwa boleh jadi surat ini diturunkan karena sebab khusus, namun ancaman hukuman yang tercakup di dalamnya jelas berlaku umum, mencakup semua orang yang berbuat kejahatan yang disebutkan. Ibn Abbas pun mengatakan bahwa ayat [5]:8 tentang kejahatan pencurian berlaku umum, tidak hanya bagi pelaku pencurian seseorang wanita dalam asbab an-Nuzul itu.

Ibn Taimiyyah berpendapat, bahwa banyak ayat yang diturunkan berkenaan dengan kasus tertentu bahkan, kadang-kadang menunjuk pribadi seseorang, kemudian dipahami sebagai berlaku umum. Misalnya surat Al-Maidah [5]: 49 tentang perintah kepada Nabi untuk mengadili secara adil, ayat ini sebenarnya diturunkan bagi kasus Bani Quraidzah dan Bani Nadhir. Namun, menurut Ibnu Taimiyyah tidak benar jika dikatakan bahwa perintah pada Nabi itu hanya berlaku adil terhadap kedua qabilah itu.

Di sisi lain, ada juga ulama yang berpendapat bahwa ungkapan satu lafazh Al-Quran harus dipandang dari segi kekhususan sebab bukan dari segi keumuman lafazh (al-‘ibrah bi khusus as-sabab la bi bi’ umum al-lafazh). Jadi cakupan ayat tersebut terbatas pada kasus yang menyebabkan sebuah ayat diturunkan. Adapun kasus lainnya yang serupa, kalaupun akan mendapat penyelesaian yang sama, hal itu bukan diambil dari pemahaman terhadap ayat itu, melainkan dari dalil lain yaitu dengan qiyas, apabila memang memenuhi syarat-syarat qiyas, ayat qadzaf, misalnya diturunkan khusus sehubungan dengan kasus Hilal dengan istrinya. Adapun kasus lain yang serupa dengan kasus tersebut, hukumnya ditetapkan melalui jalan qiyas.

Perlu diberikan catatan bahwa perbedaan pendapat diatas hanya terjadi pada kasus ayat yang bersifat umum dan tidak terdapat petunjuk bahwa ayat tersebut berlaku kusus. Jika ternyata ada petunjuk demikian, seluruh ulama sepakat bahwa hokum ayat itu hanya berlaku itu kasus yang disebutkan itu. Misalnya, riwayat Ibn Abbas tentang penafsiran surat Ali Imran [3]: 188. Ayat ini khusus berbicara tentang perilaku tertentu dari Ahli Kitab, walaupun lafazhnya lebih umum dari sebab turunya. Jadi, ayat ini tidak bisa dipergunakan untuk kasus lain dengan berpegang kepada keumuman lafazh.

Kegunaan Asbab An-Nuzul


Az-Zarqani dan As-Suyuthi mensinyalir adanya kalangan yang berpendapat bahwa mengetahui asbab an-Nuzul merupakan hal yang sia-sia dalam memahami Al-Qur’an. Mereka beranggapan bahwa mencoba memahami Al-Qur’an dengan meletakkan ke dalam konteks historis adalah sama dengan membatasi pesan-pesannya pada ruang dan waktu tertentu. Namun, keberatan seperti ini tidaklah berdasar, karena tidak mungkin menguniversalkan pesan Al-Qur’an di luar masa dan tempat pewahyuan, kecuali melalui pemahaman yang semestinya terhadap makna Al-Qur’an dalam konteks kesejarahannya.

Sementara itu, mayoritas ulama sepakat bahwa konteks kesejarahan yang terakumulasi dalam riwayat-riwayat asbab an-Nuzul merupakan satu hal yang signifikan untuk memahami pesan-pesan Al-Qur’an. Dalam satu statemennya, Ibn Taimiyyah mengatakan: “Asbab an-Nuzul sangat menolong dalam menginterpretasi Al-Qur’an.”[2]

Ungkapan senada dikemukakan oleh Ibn Daqiq Al-‘Ied dalam pertanyaannya: “Penjelasan terhadap asbab an-Nuzul merupakan metode yang kondusif untuk menginterpretasikan makna-makna Al-Qur’an.”[3]

Bahkan, Al-Wahidi menyatakan ketidakmungkinan untuk menginter-pretasikan Al-Qur’an tanpa mempertimbangkan aspek kisah dan asbab an-Nuzul. Urgensi pengetahuan akan asbab an-Nuzul dalam memahami Al-Qur’an yang diperlihatkan oleh para ulama salaf ternyata mendapat dukungan dari para ulama khalaf. Menarik untuk dikaji adalah pendapat Fazlur Rahman yang menggambarkan Al-Qur’an sebagai puncak dari sebuah gunung es. Sembilan sepersepuluh dari bagiannya terendam di bawah perairan sejarah, dan hanya sepersepuluhnya yang hanya dapat dilihat. Rahman lebih lanjut menegaskan bahwa sebagian besar ayat Al-Qur’an sebenarnya mensyaratkan perlunya pemahaman terhadap situasi-situasi historis yang khusus, yang memperoleh solusi, komentar dan tanggapan dari Al-Qur’an .[4] Uraian Rahman tersebut secara eksplisit mengisyaratkan asbab an-Nuzul dalam memahami Al-Qur’an. 

urgensi asbab an-Nuzul

Dalam uraian yang lebih rinci, Az-Zarqani mengemukakan urgensi asbab an-Nuzul dalam memahami Al-Qur’an, sebagai berikut:
  1. Membantu dalam memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian dalam menangkap pesan ayat-ayat Al-Qur’an. Di antaranya dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah [2] ayat 115 dinyatakan bahwa Timur dan Barat merupakan kepunyaan Allah. Dalam kasus shalat, dengan melihat zahir ayat di atas, seseorang boleh menghadap ke arah mana saja sesuai dengan kehendak hatinya. Ia seakan-akan tidak berkewajiban untuk menghadap kiblat ketika shalat. Akan tetapi setelah melihat asbab an-Nuzul-nya, tahapan bahwa interpretasi tersebut keliru. Sebab, ayat di atas berkaitan dengan seseorang yang sedang berada dalam perjalanan dan melakukan shalat di atas kendaraan, atau berkaitan dengan orang yang berjihad dalam menentukan arah kiblat.
  2. Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pngertian umum. Umpamanya dalam surat Al-An’am [6] ayat 145: “Katakanlah, ‘Tidak ku dapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang ingin memakainya, kecuali kalau makanan itu (berupa) bangkai, darahy yang mengalir, daging babi, karena semua itu kotor, atau binatang yang disembelih bukan atas nama Allah.” (QS. Al-An’am:145)
  3. Menurut Asy-Syafi’i, pesan ayat ini tidak bersifat umum (hasr). Untuk mengatasi kemungkinan adanya keraguan dalam memahami ayat di atas, Asy-Syafi’I menggunakan alat bantu asbab an-Nuzul. Menurutnya, ayat ini diturunkan sehubungan dengan orang-orang kafir yang tidak mau memakan sesuatu, kecuali apa yang telah mereka halalkan sendiri. Karena mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah dan menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah merupakan kebiasaan orang-orang kafir, terutama orang Yahudi, turunlah ayat di atas.
  4. Mengkhususkan hokum yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an, bagi ulama yang berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang bersifat khusus (khusus As-sabab) dan bukan lafazh yang bersifat umum (umum al-lafazh). Dengan demikian, ayat “zihar” dalam permulaan surat Al-Mujadalah [58], yang turun berkenaan dengan Aus Ibn Samit yang menzihar istrinya (Khaulah Binti Hakim Ibn Tsa’labah), hanya berlaku bagi kedua orang tersebut. Hukum zihar yang berlaku bagi selain kedua orang itu, ditentukan dengan jalan analogi (qiyas).
  5. Mengidentifikasikan pelaku yang menyebabkan ayat Al-Qur’an turun. Umpamanya, Aisyah pernah menjernihkan kekeliruan Marwan yang menunjuk Abd Ar-Rahman Ibn Abu Bakar sebagai orang yang menyebabkan turunnya ayat: “Dan orang yang mengatakan kepada orang tuanya “Cis kamu berdua …” (QS. Al-Ahqaf: 17). Untuk meluruskan persoalan, Aisyah berkata kepada Marwan: “Demi Allah bukan dia yang menyebakan ayat ini turun. Dan aku sanggup untuk menyebutkan siapa orang yang sebenarnya.”
  6. Memudahkan untuk menghapal dan memahami ayat, serta untuk memantapkan wahyu ke dalam hati orang yang mendengarnya. Sebab, hubungan sebab-akibat (musabbab), hukum, peristiwa, dan pelaku, masa, dan tempat merupakan satu jalinan yang bisa mengikat hati.
Taufiq Adnan Amal dan Syamsul Rizal Panggabean menyatakan bahwa pemahaman terhadap konteks kesejarahan pra-Qur’an dan pada masa Al-Qur’an menjanjikan beberapa manfaat praktis. Pertama , pemahaman itu memudahkan kita mengidentifikasi gejala-gejala moral dan social pada masyarakat Arab ketika itu, sikap Al-Qur’an terhadapnya, dan cara Al-Qur’an memodifikasi atau mentransformasi gejala itu hingga sejalan dengan pandangan dunia Al-Qur’an; Kedua, kesemuanya ini dapat dijadikan pedoman bagi umat Islam dalam mengidentifikasi dan menangani problem-problem yang mereka hadapi. Ketiga, pemahaman tentang konteks kesejarahan pra-Qur’an dan pada masa Al-Qur’an dapat menghindarkan kita dari praktik-praktik pemaksaan prakonsep dalam penafsiran.

[1]TM Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Bulan-Bintang, Jakarta, 1988, hlm. 30.
[2]Jalaluddin as-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Dar Al-Fikr, Beirut, t.t., Jilid I, hlm. 29.
[3] Ibid., hlm. 29.
[4]Jurnal “Kiblat”, 1987: hlm. 46.

Post a Comment

Silahkan di Share kalau dianggap bermanfaat

 
Top