0
Kedudukan peradilan agama
Kedudukan Pengadilan Agama Pada Masa Orde Reformasi- Seiring dengan tuntutan adanya reformasi di bidang hukum, pengadilan agama mengalami perubahan yang signifikan baik itu status maupun kedudukan dan kewenanganya. Dalam kewenangannya pegadilan Agama dalam penyatuatapan di bawah Mahkamah Agung mendapat kewenangan baru yakni mengadili, sengketa yang terkait dengan bidang zakat, infaq, sedekah, serta ekonomi syariah.

Pengadilan Agama merupakan pengadilan yang di akui eksistensinya menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 yang mana sangat berpengaruh besar bagi perkembangan dalam Pengadilan agama.

Rumusan Masalah

  1. Bagaimana Penataan Peradilan Agama Pada Masa Reformasi ?
  2. Apa Dasar Hukum dan Wewenang Peradilan Agama ?
  3. Bagaimana Kedudukan Peradilan Agama dalam UUD 1945, UU Nomor 35 Tahun 1999 dan UU Nomor 4 Tahun 2004 ?
  4. Bagaimana Eksistensi Peradilan Agama Pasca Penyatuatapan ke MA ?
Tujuan Penulisan
  1. Mengidentifikasi dan memahami Peradilan Agama di Indonesia pada era reformasi.
  2. Mengidentifikasi dan memahami perkembangan Peradilan Agama di Indonesia pasca Penyatuatapan ke Mahkamah Agung.

A. Penataan Pengadilan Agama Pada Masa Reformasi 

Dalam usaha untuk memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman sebagai wujud dari kemandirian lembaga yudikatif, maka sesuai dengan tuntutan reformasi di bidang hokum telah dilakukan perubahan terhadap Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dengan Undang-Undangn Nomor 35 tahun 1999 tentang perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan kehakiman.

Konsekuensi dari diundangkanya UU No. 35 Tahun 1999 tersebut, diletakkan kebijakan bahwa, segala urusan mengenai peradilan baik yang menyangkut teknis yudisial maupun urusan organisasi,administrasi, dan finansial berada satu atap di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.[1] Kebijakan ini dalam istilah populernya biasa disebut “kebijakan satu atap (one roof system). Dengan adanya kebijakan ini maka lembaga-lembaga peradilan yang ada di Indonesia-Pengadilan Umum, Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Agama dan Pengadilan Militer-segera dialihkan ke Mahkamah Agung RI. Kebijakan ini juga dilakukan untuk memisahkan kekuasaan eksekutif dengan yudikatif dengan tujuan untuk memantapkan posisi lembaga peradilan pada segi-segi hokum formal dan teknis pengadilan.
Memasuki era reformasi, seiring dengan tuntutan adanya reformasi di bidang hokum, peradilan agama pun mengalami perubahan yang cukup signifikan, baik menyangkut status dan kedudukan maupun kewenangannya. Dengan mengikuti paradigma separation of power, status dan kedudukan Pengadilan Agama kemudian dilepaskan dari baying-bayang eksekutif yakni Departemen Agama, untuk selanjutnya dimaksukkan dalam satu atap (one roof system) di bawah Mahkamah Agung dan Badan lainnya. Dari segi kewengananya, peradilan Agama mendapatkan kewenangan baru, yakni mengadili sengketa yang terkait dengan bidang; zakat, infaq, sedekah, serta ekonomi syariah.

Perubahan signifikan menyangkut kewenangan pengadilan agama, secara konstitusional diperoleh melalui UU No. 3 Tahun 2006 sebagai perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang pengadilan agama yang disetujui DPR tanggal 21 Februari 2006. UU ini muncul sebagai konsekuensi adanya UU No.4 Tahun 2004. Pada Pasal 2 UU No. 3 Tahun 2006 tersebut ditegaskan bahwa, peradilan agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama islam mengenai perkara tertentu.

B. Dasar Hukum dan Wewenang Pengadilan Agama

Pada era reformasi ini keberadaan Pengadilan Agama selain didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelumnya juga terdapat peraturan perundang-undangan yang menjadi dasr hukum keberadaan Pengadilan Agama dan kewenangannya, peraturan perundang-undangan tersebut antara lain :
  1. UU no. 35 tahun 1999 tentang perubahan UU no.14 tahun 1970 tentang pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman di Indonesia
  2. UU no. 14 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman di Indonesia.
  3. UU no. 18 tahun 2001 tentang pembentukan Mahkamah Sayar’iah di Nanggro Aceh Darussalam.
  4. Kepres RI no. 21 tahun 2004 tentang pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dilingkungan Peradilan Umum, Tata Usaha Negara Dan Peradilan Agama.
  5. UU tahun 2006 tentang perubahan atas UU NO. 7 1989 tentang Pengadilan Agama.

C. Kedudukan Pengadilan Agama Dalam UUD 1945

UUD 1945 Pasal 24 ayat (2) menyatakan : Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

D. Kedududkan Peradilan Agama Dalam UU No. 35 Tahun 1999

Pada tahun 1999 akhirnya diundangkan UU No. 35 Tahun 1999 tanggal 31 Agustus 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagai realisasi awal dari semangat supremasi hukum yang dikumandangkan dalam gerakan reformasi secara total dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Pertimbangan penting pengubahan UU No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman adalah karena UU ini dinilai telah menyimpang dari UUD 1945 dimana telah memunculkan dualisme pembinaan peradilan oleh dua kekuasaan yang berbeda, yaitu kekuasaan yudikatif dan kekuasaan eksekutif.[2]

Pembinaan peradilan pada waktu itu dipisahkan menjadi dua, yaitu Pertama: pembinaan teknis yudisial berada di bawah Mahkamah Agung yang merupakan pelaksana kekuasaanyudikatif dan kedua: pembinaan administrasi, organisasi dan finansial berada di bawah Departemen-departemen yang merupakan pelaksana kekuasaan eksekutif di bawah Presiden. UU No. 35 Tahun 1999 ini merupakan koreksi atas UU No. 14 Tahun 1970 dan sebagai jembatan yang mengantarkan penyatuatapan semua badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, baik secara teknis yudisial maupun secara administrasi, organisasi dan finansial, keluar dari masing-masing Departemennya semula dan masuk ke Mahkamah Agung.

Perkembangan penting dalam UU No. 35 Tahun 1999 ini berkaitan dengan organisasi, administrasi dan finansial pengadilan sebagai berikut:
  1. Pembinaan organisasi, administrasi dan finansial semua badan peradilan yang semula berada di bawah departemen masing-masing dialihkan ke Mahkamah Agung (Pasal 11 ayat 1).
  2. Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial pengalihan tersebut diatur lebih lanjut dengan UU sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing (Pasal 11 ayat 2).
  3. Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial pengadilan tersebut dilakukan secara bertahap, paling lama 5 tahun sejak UU ini mulai berlaku (Pasal 11 A ayat 1).
  4. Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial bagi Peradilan Agama waktunya tidak ditentukan (Pasal 11 A ayat 2).
  5. Pelaksanaan pengalihan secara bertahap ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

E. Kedudukan Pengadilan Agama dalam UU Nomor 4 Tahun 2004

Pertimbangan penting pengubahan UU Kekuasaan Kehakiman melalui UU No. 4 Tahun 2004 ini adalah untuk merealisasikan amanat dari UU No. 35 Tahun 1999, yakni mengalihkan semua pengadilan dari masing-masing Departemennya menjadi satu atap di bawah Mahkamah Agung untuk menjamin kemerdekaannya dari campur tangan eksekutif dan menguatkan kedudukan pengadilan. Perkembangan penting dengan diundangkannya UU ini maka kedudukan, peran dan fungsi yang diberikan kepada Peradilan Agama semakin luas dan mantap dengan perkembangan kemajuan yang sangat mendasar, yakni:
  1. Perubahan fungsi pengadilan dari sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman menjadi pelaku kekuasaan kehakiman.[3] Pasal 2 UU No. 7 Tahun 1989 menyatakan bahwa Peradilann Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman. Pembentuk UU tidak menjelaskan apa perbedaan antara dua kata dimaksud. Barangkali istilah ‘pelaku’ ini bersumber dari Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang menetapkan bahwa “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung ....dst”. konsisten dengan Pasal 2 ayat (2) UUD 1945 tersebut, maka Pasal 2 UU No. 4 Tahun 2004 menggunakan kata ‘dilakukan’. Kata ‘pelaksana’ adalah subjek yang mengerjakan sesuatu atas inisiatif, perintah atau ide pihak lain. Sedang ‘pelaku’ adalah subjek yang memiliki ide, kewenangan dan kemampuan untuk melaksanakan idenya sendiri.
  2. Terdapat penegasan larangan campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD 1945. Penegasan larangan campur tangan ini tidak ada dalam UU sebelumnya.[4]
  3. Dialihkannya pembinaan, organisasi, administrasi, dan keuangan pengadilan dari empat lingkungan peradilan dari Departemen masing-masing ke Mahkamah Agung.[5] Dengan demikian campur tangan eksekutif terhadap pembinaan organisasi, administrasi, dan finansial pengadilan tidak ada lagi dan kemandirian serta kemerdekaan hakim diharapkan lebih terjamin.
  4. Dialihkannya tata cara sumpah hakim dari praktik “diambil sumpah” oleh atasannya menjadi “mengucapkan sumpah” dihadapan pimpinannya.[6]
  5. Kedudukan Peradilan Agama sebagai sebuah lingkungan peradilan telah disejajarkan dengan Peradilan Umum sehingga tidak ada lagi istilah Peradilan Khusus bagi Peradilan Agama sebagaimana pernah diatur dalam UU No. 14 Tahun 1970 sebelumnya. Dan dengan demikian dimungkinkan dibentuknya pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama.
  6. Dilibatkannya Komisi Yudisial dalam rangka pengawasan eksternal guna menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim agung dan hakim, dan pengangkatan hakim agung. Hal ini tidak pernah ada sebelumnya.
  7. Diakuinya Mahkamah Syar’iyah di Nanggroe Aceh Darussalam sebagai peradilan negara dalam sistem peradilan nasional.[7]
  8. UU ini disamping memantapkan kedudukan Peradilan Agama, namun tanpa mengubah fungsi khusus Peradilan Agama sebagai peradilan syariah Islam, pertama, dari sudut kedudukan dan kelembagaan, maka Peradilan Agama telah sejajar dengan Badan Peradilan Umum, yakni sebagai Pengadilan Negara dibawah Mahkamah Agung. Kedua, dari sudut fungsi yang diembannya, maka Peradilan Agama tetap merupakan peradilan khusus (spesifik), yakni sebagai Peradilan Syariah Islam.

F. Eksistensi Pengadilan Agama Pasca Penyatuatapan ke MA

Proses penyatu atapan lingkungan badan peradilan agama tidak semulus penyatu atapan badan peradilan lainnya. Ia penuh liku dan menghadapi pro dan kontra. Meskipun demikian akhirnya di awal tahun 2004, peradilan agama telah benar-benar berada posisi yang tepat, yakni di bawah mahkamah agung sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman tertinggi. Sehingga peradilan agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman telah benar-benar mengalami loncatan perubahan, teerlebih lagi ketika keluarnya UU No. 3 Tahun 2006.[8]
Artikel terkait: Pengertian dan Prosedur Peninjauan Kembali

Beberapa aspek yang mengalami perubahan setelah peradilan agama disatuatapkan pada era reformasi adalah menyangkut; status dan kedudukan, struktur organisasi, tugas dan fungsi, sumber daya manusia, finansial dan sarana dan prasarana, serta kewenangan dan hukum materialnya.

1. Status dan Kedudukan 

Dalam Pasal 24 UUD 1945 hasil amandemen, secara eksplisit dinyatakan bahwa, lingkungan peradilan agama disebutkan sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia, bersama lingkungan peradilan lainnya di bawah Mahkamah Agung.

Diawal tahun 2004, terjadi perubahan sangat signifikan yang berhubungan dengan eksistensi peradilan agama, yaitu disahkannya UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai perubahan atas UU No. 35 Tahun 1999. Dalam UU No. 4 Tahun 2004 disebutkan bahwa, semua lingkungan peradilan, termasuk peradilan agama, pembinaan organisasi, administrasi dan finansialnya dialihkan dari pemerintah kepada Mahkamah Agung.

Hal terakhir yang mengembirakan adalah pada tanggal 21 Maret 2006 telah disahkan UU No. 3 Tahun 2006, merupakan perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Setelah lahirnya UU No. 3 Tahun 2006 tersebut semakin kokohlah kekuasaan dan kewenangan peradilan agama. Hal lain yang penting dalam kedudukan peradilan agama di era reformasi adalah dalam hal pembinaan dan pengawasan.[9] Dalam hal pembinaan bahwa dalam UU tersebut disebutkan bahwa pembinaan teknis peradilan, oragnisasi, administrasi, dan finansial pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung. Pembinaan teknis ini lebih mengacu pada penerapan hokum acara dalam peradilan yang bersangkutan dan penerapan segala peraturan yang berlaku menyangkut suatu perkara tertentu.

Sedangkan mengenai pengawasan dalam UU No. 3 Tahun 2006 diatur bersandingan dengan pembinaan, sebagaimana disebutkan bahwa; “pembinaan dan pengawasan umum terhadap hakim dilakukan oleh ketua Mahkamah Agung. Pembinaan dan pengawasan umum tersebut tidak boleh mengurangi kebebasan hakm dalam memeriksa dan memutus perkara”.

2. Struktur Organisasi, Tugas, dan Fungsi

Tugas pokok dan fungsi Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2005 tersebut, kemudian diimplementasikan dengan surat Sekretaris Mahkamah Agung RI Nomer: MA/SEK/07/SK/III/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Mahkamah Agung RI.[10]

Dalam keputusan tersebut, ditentukan bahwa Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama terdiri atas:
  1. Sekretariat Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama.
  2. Direktorat Pembinaan Tenaga Teknis Peradilan Agama.
  3. Direktorat Pembinaan Administrasi Peradilan Agama.
  4. Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara Perdata Agama.
  5. Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. 

3. Sumber Daya Manusia

Tonggak awal berdirinya fondasi organisasi Peradilan Agama baru dimulai tahun 2006. Yakni ketika status Badan Peradilan Agama yang awalnya hanya direktorat kemudian meningkat menjadi Direktorat Jenderal setelah berada di Mahkamah Agung. Pada Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama terdapat pengembangan jabatan, baik jumlah maupun tingkat eselonnya. Peningkatan ini disamping sebagai penopang pelaksanaan tugaas pokok dan fungsi organisasi, pada saat bersamaan juga membuka peluang bagi pengembangan karir pegawai.

4. Keadaan Finansial dan Sarana Prasarana

Di era reformasi, anggaran untuk badan peradilan dilingkungan Mahkamah Agung mengalami peningkatan seiring dengan upaya peningkatan pelayanan publik dibidang hukum dan peradilan. Begitu juga anggaran untuk lingkungan peradilan agama yang dipusatkan pada Dirjen Badilag mengalami peningkatan yang signifikan bila dibandingkan dengan sebelum satu atap, terutama sejak tahun 2005, 2006 dan 2007. Meskipun penganggaran tersebut dipusatkan di Dirjen Badilg, namun mulai dari perencanaan progam dan penentuan jumlah/alokasi anggaran sampai pada pengelolaannya diserahkan langsung kepada masing-masing Pengadilan Agama dan pengadilan tinggi agama, selain juga ada anggaran yang direncankan dan dikelola pada sekertariat Dirjen Badilang dan pada masing-masing direktorat.

5. Kewenagan dan Hukum Materiil

Menurut UU No. 7 Tahun 1989, Peradilan Agama hanya berwenang menyelesaikan perkara; perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, dan sedekah. Akan tetapi dengan diberlakukannya UU No. 3 Tahun 2006, melahirkan paradigma baru peradilan agama. Meskipun UU No. 3 Tahun 2006 merupakan perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989. Akan tetapi status peraturan perundang-undangan yang lama tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.

Dengan adanya UU No. 3 Tahun 2006, landasan hukum positif penerapan hukum islam lebih kokoh, khususnya menyangkut teknis penyelesaian sengketa kewenangan antara peradilan agama dengan peradilan umum. Ada beberapa irisan dan titik singgung antara keduanya, khususnya menyangkut hak opsi dan sengketa kepemilikan.
Baca juga: Pengertian, Dasar Hukum dan Teori Pembuktian Perdata

6. Asas-asas Hukum Peradilan Agama

Sebagaimana yang dapat disimpulkan dari UU No. 3 Tahun 2006, tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang peeradilan agama. adapun asas-asas yang berlaku pada pengadilan agama pada dasarnya hampir sama dengan asas-asas yang berlaku di pengadilan umum, yaitu antara lain:[11]
  1. Asas personalitas keislaman.
  2. Asas kebebasan.
  3. Asas tidak menolak hukumnya tidak jelas atau tidak ada.
  4. Asas hakim wajib mendamaikan.
  5. Asas sederhana, cepat, dan biaya ringan.
  6. Asas mengadili menurut hukum dan persamaan hak.
  7. Asas persidangan terbuka untuk umum.
  8. Asas hakim aktif memberi bantuan.
  9. Asas peradilan dilakukan dengan hakim majelis.

Abdullah Tri Wahyudi dalam bukunya peradilan agama di Indonesia menambahkan beberapa asas lagi yang itu juga tercamtum dalam UU No. 4 Tahun 2004 yaitu:[12]
  1. Asas pemeriksaan dalam dua tingkat.
  2. Asas kewenangan mengadili tidak meliputi sengketa hak milik.
  3. Asas hakim bersifat menunggu (hakim pasif-nemo yudex sine acto).
  4. Asas bahwa ptusan pengadilan harus memuat pertimbangan.
  5. Asas beperkara dengan biaya.
  6. Asas Ne bis in Idem.

Kesimpulan


Memasuki era reformasi, dengan adanya tuntutan reformasi dibidang hukum, peradilan agama mengalami perubahan yang cukup signifikan, baik menyangkut status, kedudukan maupun kewenangannya yaitu terdapat dalam UU No. 35 Tahun 1999, UU No. 4 Tahun 2004 dan UU No. 3 Tahun 2006.

Dan setelah mengalami penyatuatapan dengan Mahkamah Agung ada beberapa aspek yang mengalami perubahan setelah pada era reformasi diantaranya adalah menyangkut; status dan kedudukan, struktur organisasi, tugas dan fungsi, sumber daya manusia, finansial dan sarana dan prasarana, serta kewenangan dan hukum materialnya.

Saran

Demikianlah makalah ini kami susun sebaik mungkin,semoga bermanfaat bagi pembelajaran mahasiswa-mahasiswi syariah utamanya. Apabila ada salah kata atau kurangnya materi dalam menyusun makalah ini, kami para pemateri meminta maaf sebesar-besarnya.

DAFTAR PUSTAKA


  • Aripin, Jaenal, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008.
  • Arto, A Mukti, Pengadilan Agama Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2012.
  • Djalil, Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2010.
  • http:// muhammadnasikhul.blogspot.com/2013/12/makalah-pengadilan-agama-pada-masa-orde.html?m=1

  1. Selama periode 1970 sampai dengan 1998 pembinaan aparat lembaga peradilan dilakukan oleh Mahkakamah Agung bersama Mentri Kehakiman dan HAM.
  2. A Mukti Arto, Peradilan Agama Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2012, Hlm 160-161
  3. Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 jo Pasal 2, 4 ayat (2), 10, dan 31 UU N0. 4 Tahun 2004.
  4. Pasal 4 ayat (3) dan (4) UU No. 4 Tahun 2004.
  5. Pasal 13 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004.
  6. Pasal 30 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004.
  7. Pasal 15 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004
  8. muhammadnasikhul.blogspot.com/2013/12/makalah-pengadilan-agama-pada-masa-orde.html?m=1 (akses 04-11-2014 19.45 WIB)
  9. Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam bingkai reformasi hukum di Indonesia, Jakarta, kencana Prenada Media Group, 2008, Hlm 315
  10. Ibid, Hlm 316
  11. Ibid, Hlm 348-354
  12. Ibid, Hlm 355-356 

Makalah Kedudukan Pengadilan Agama Pada Masa Orde Reformasi ditulis Oleh:

  1. Ahmad Yazid
  2. Moh Misbahul Munir
  3. Umar Faruq
  4. Ari Fahrur Rozi Aufa

Post a Comment

Silahkan di Share kalau dianggap bermanfaat

 
Top