0

sebab perbedaan ijtihad
Pengertian Ijtihad

Sumber hukum islam ketiga adalah akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berusaha, berikhtiar dengan seluruh kemampuan yang ada padanya untuk memahami kaidah-kaidah hukum yang fundamental yang terdapat dalam al-qur’an, kaidah-kaidah hukum yang bersifat umum yang terdapat dalam hadits da merumuskannya menjadi garis-garis hukum yang dapat diterapkan pada suatu kejadian tertentu.

Akal adalah kunci untuk memenuhi agama, ajaran dan hukum islam. Manusia, khusunya umat islam tidak akan dapat memahami islam tanpa mempergunakan akal. Oleh karena itu, Nabi Muhammad saw menyatakan bahwa agama adalah akal, tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal. Jika pernyataan ini dikaitkan dengan hukum, berarti bahwa hukum dan hukuman itu berkaitan dengan akal, tidak ada hukum atau hukuman bagi orang yang tidak berakal. Sehingga akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam sistem agama islam, karena akal adalah wadah yang menampung aqidah, syari’ah dan akhlaq. 
Artikel terkait: Pengertian Asbab An-Nuzul Menurut Para Pakar Fiqh

Akal yang mempunyai fungsi sangat penting dalam kehidupan manusia, tumbuh dan berkembang menuju kesempurnaan melalui proses. Akan tetapi, bagaimanapun posisi peranan akal dalam ajaran islam, harus tetap mendapatkan bimbingan dan petunjuk dari Allah SWT yang berupa wahyu. Hal ini karena selain manusia itu lemah,pelupa dan acuh tak acuh, pada dirinya sendiri terdapat hambatan-hambatan yang menyebabkan ia tidak mampu mempergunakan akalnya secara benar dan baik. 

 

Sebab-sebab perbedaan dalam ijtihad

Dalam melakuan Ijtihad ada beberapa yang mempengaruhi Mujtahid dalam berpikir sehingga menimbulkan beberapa perbedaan antar mujtahid satu dan yang lain, berikut adalah yang menyebabkan perbedaannya:

1. Perbedaan dalam methode memahami ayat al-Qur’an

Para ulama’ sepakat untuk menyatakan bahwa al-Qur’an merupakan dasar pokok dan utama serta pertama bagi para mufti dan berijtihadnya, sebab setiap masalah harus dikembalikan kepadanya sebagai sumber hukum pertama dan utama. Dan para sahabat masih harus mencari orang-orang yang benar-benar memahami masalah asbab al Nuzul ayat. Meskipun demikian, masih saja terjadi perselisihan dan perbedaan pandangan diantara mereka.

Adapun terjadinya perbedaan di kalangan mereka disebabkan adanya hal-hal seebagai berikut:
  1. Adanya perbedaan wawasan dan pengetahuan yang telah mereka miliki, disamping perbedaan lamanya mereka bergaul dengan Rasulullah saw.
  2. Adanya “Ta’arrudl al-Nushush” (pertentangan antar ayat-ayat), misalnya masalah “Iddah Wafat” dan “Iddah Hamil” yang disebabkan perbedaan di dalam memahami makna lafdliyyah ayat dalam al-qur’an, seperti lafal " قروء" dalam ayat.
  3. Adanya susunan ayat yang mengandung dua presepsi atau wajah, seperti ayat tentang “Ila’ ( Suami bersumpah tidak akan mencampuri istrinya atau menidurinya ).

2. Perbedaan dalam methode memahami al-sunnah

Al-hadits yang dikeluarkan oleh Rasulullah selama 22 tahun lebih itu disebabkan adanya kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat pada waktu itu. Diantara kasus-kasus tersebut ada yang disepakati dan ada pula yang dibatalkan. Begitu juga keadaan para sahabat yang bermacam-macam, ada yang lebih dahulu masuk islam dan ada yang baru saja masuk. Ada yang juga sebagian waktunya dipergunakan untuk mencari ilmu. Begitu juga waktu untuk berijtihad, dimana para sahabat itu ada yang hampir seluruh waktunya dipergunakan untuk mengikuti jejak Rasulullah dan mereka ini jelas wacana keagamaannya lebih luas dari yang lain.

Oleh sebab itu, para sahabat yang masuk islam lebih dahulu, lalu waktunya dihabiskan untuk menyertai Rasul, maka wawasan mereka dalam kemampuan memahami nash, lebih sempurna dibandingkan dengan sahabat yang masuk islamnya belakang dan waktu mereka gunakan untuk menyertai Rasul hanya sedikit. Dengan keadaan inilah maka Hadits Nabi yang diterima para sahabat tersebut tentu tidak sama.

Sekalipun dapat dikatakan bahwa hampir seluruh waktu para sahabat itu dipergunakan untuk menyertai Rasul, tidak semuanya al-Hadits diterimanya. Hal ini terjadi pada sahabat berikut:

a. Abu Bakr al-Shiddiq, yang tidak mengetahui jawaban dari pertanyaan sahabat tentang “Pusaka Nenek”, sebab dalam al-Qur’an dan al- Hadits belum pernah ditemukannya. Lalu para sahabat dikumpulkan untuk mencari jawabannya. Dari peristiwa itulah, maka sahabat Mughirah bin Syu’bah dan Muhammad bin Maslamah menjawab dengan mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw. pernah memberikan bagian nenek perempuan sebanyak seperenam (1/6) dari harta pusaka.

b. Khalifah Umar bin Khathab, yang berfikir lama sekali dalam memahami maslah Abdurrahman bin Auf menjelaskan sabda Nabi dengan mengatakan bahwa Nabi bersabda sebagai berikut:

سُنُّوْا بِهِمْ سُنُّةُ اُهْلِ الْكِتُابِ (رواه الشا فعى واحمد بخارى وابو داوود)

Perlakukanlah mereka itu ( Kafir Majusi ) sebagaimana perlakuan terhadap ahli kitab.

c. Masalah “Mufawwidlah”, artinya Wanita yang langsung menyerahkan dirinya kepada seorang laki-laki dengan tidak menetapkan besar kecilnya mahar yang suaminya mati sebelum disetubuhi. Sedang yang dipersoalkan disini adalah

- Apakah wanita ini mendapatkan “Mahar” atau tidak ?

- Apakah status thalaq karena kematian suami itu sama dengan status thalaq karena ditalaq suami yang masih hidup ?

Dalam menanggapi masalah tersebut, sahabat satu dengan yang lain berbeda pendapat, diantaranya ialah:

1. Ali dan Zaid bin ‘Umar berpendapat bahwa “Mati itu sama dengan Talak” dan tidak berhak untuk mendapatkan “Mahar Mitsil”

2. Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa “Mati itu tidak sama dengan talak”. Dan berhak mendapatkan “Mahar Mitsil”. Hal ini berdasarkan al-Hadits tentang masalah “Mufawwidlah” yang terjadi pada diri “Barwa’ binti Mas’ud yang isinya menjelaskan bahwa wanita Mufawwidlah itu berhak menerima “Mahar Mitsil”.

d. Masalah Mandi-Wajib bagi wanita yang rambutnya tebal. Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan para sahabat, yaitu”

1. Umar berpendapat wanita tersebut harus menguraikan rambutnya supaya airnya dapat merata diatas kepala.

2. ‘Aisyah berpendapat setelah mendengar fatwa ‘Umar sambil merasa geli hatinya dengan mengatakan:

لقد كنت اغسل انا ورسول الله صلى الله عليه وسلم من اناء واحد وما ازيد ان افرغ على رأس ثلا ث افرغات

Benar-benar akau mandi bersama Rasulullah dari satu bejana, sedangkan aku tidak melebihi menuangkan air diatas kepalaku dari tiga kali siraman.

e. Masalah Nasikh-Mansukh dalam al-Hadits. Dalam hal ini terjadi perbaedaan pandangan dikalangan para sahabat, yang disebabkan adanya sahabatb yang belum mengetahui bahwa al-hadits itu sudah di-nasakh, seperti Ibnu Mas’ud. Sedang hadits yang me-nasakh sudah diketahui oleh sahabt lain yang diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash.

Dari kenyataan seperti itulah, maka para sahabat sangat berhati-hati dalam menerima riwayat al-hadits, sebagaimana yang terjadi pada diri sahabat ‘Umar bin Khathab yang menolak al-hadits tentang Fatimah binti Qaisy yang telah di talaq bain, dimana oranng yang tertalak bain tidak berhsk menerima “Nafaqah dan “tempat tinggal”.

Dengan demikian, maka dapat diketahui bahwa perselisihan antara sahabat satu dengan yang lain dalam masalah keberadaan al-hadits itu, disebabkan adanya hal-hal sebagai berikut, yaitu:
  1. Tidak tersebarnya al-Hadits secara meluas.
  2. Terlalu teliti dan hati-hatinya para sahabat Nabi dalam menerima suatu periwayatan al-Hadits.

3. Perbedaan Methode Ijtihad di Kalangan Sahabat

Dalam prosedur penerapan metode penentuan hukum islam,para sahabat selalu menggunakan metode (cara)njika masalah tersebut tidak di temukan hukumnya dalam al-quran dan al-hadist, maka untuk menetapkan hukumnya mereka menggunakan Ra’yu atau ijtihad. Artinya setelah merenungkan dan menyelidiki masalahnya dan mencari yang benardiantara dalil-dalil yang dhahir dan yang bertentangan,baik pada akhirnya diputuskan sendiri maupun ditempuh dengan jalan yang lainnya.

Karna faktor penetapan seperti itulah,terjadi perselisihan,diantara mereka sesuai dengan arah dan tujuan amsing-masing. Sekalipun demikian, perselisihan diantara mereka tidak sampai meluasdeperti yang terjadi pada masa-masa sesudahnya. Hal ini disebabkan adanya hal-hal sebagai berikut:
  1. Prinsip musyawarah dikalangan para sahabat masih sangat kuat.
  2. Para sahabat maih banyak yang menetap di madinah, sehingga mudah sekali terjadi “Ijma’- Sahabat”.
  3. Periwayatan al-Hadits belum begitu meluas.
  4. Belum banyaknya masalah-masalah baru yang muncul.
  5. Para sahabat tidak mempermudah dalam memberikan fatwa. Dan ini terbatas pada kasus-kasus yang ada.
  6. Dalam memberikan fatwa, mereka selalu mengutamakan orang-orang yang lebih pantas untuk berfatwa.

Sekalipun demikian, di masa-masa sekarang sulit sekali ditemukan kitab-kitab yang khusus membukukan fatwa-fatwa mereka, karena memang tidak dibukukan.

 

4. Perbedaan Methode Ijtihad di Kalangan Tabi’in

Pada masa tabi’in, kedudukan ijtihad sebagai salah satu alat untuk menggali hukum islam semakin meluas sekalipun prinsip musyawarah sudah terlihat agak menurun dan kurang berfungsi. Hal ini terjadi karena adanya hal-hal sebagai berikut:

  1. Banyaknya para Ulama’ yang sudah terpencar seluruh wilayah islam, sehingga prinsip tersebut sulit dilaksanakan.
  2. Pecahnya suhu politik dikalangan kaum muslimin dalam masalah kepemimpinan, setelah wafatnya Utsman bin Affan. Hal ini terbagi menjadi 4 kelompok, yaitu: kelompok Kawarij, Kelompok Syi’ah, Kelompok Muawiyah dan Kelompok Murji’ah.

Dari peristiwa itulah, berakibat pada terjadinya perbedaan pandangan dalam menetapkan hukum islam. Sekalipun pada hakikatnya masing-masing kelompok tersebut sama salam hal memegangi pendirinya terhadap masalah politik, misalnya kelompok khawarij yang sangat membenci kelompok Syi’ah dengan menetapkan hukum-hukum dasar keagamaan yang sudah disesuaikan dengan pandangan politiknya, antara lain:

a. Hukum orang berbuat dosa besar adalah kafir. Hal ini ditujukan untuk mengkafirkan :
  1. Utsman lantaran tidak mau mengikuti Abu bakar dan Umar.
  2. Ali bin Abi Thalib, Muawiyah, Abu Musa dan Amr bin Ash lantaran keter;ibatan dirinya langsung ( dengan kaum Khawarij) dalam masalah Tahkim, sehingga kelompok muawiyah dianggap dlalim dan dianggap tidak mengikuti petunjuk al-Qur’an.

b. Wajib hukumnya melakukan pertentangan dan ketidak patuhan terhadap pemerintahabn yang dlalim.

c. Wajib mengetahui keabsahan pemerintah yang telah dipilih dan ditetapkan oleh kaum muslimin tanpa memandang dari suku mana saja,sehingga jika pemerintahan itu jatuh kepada orang lain,maka wajib menerimanya dan jika ternyata dzalim,maka wajib di pecatdari jabatannya dan jika tidak mau di pecat, maka halal darahnya.

d. Wajib hukumnya mengamalkan semua amalan ibadah dengan nyata, karena adanya perintah Allah yang demikian, sedang perintah Allah merupakan salah satu dari rukun iman. Oleh sebab itu ,iman adalah perwujudan dari pengakuan dengan lisan dan pelaksanaan dalam perbuatan,yamg ketiga-tiganya harus ada tanpa meninggalkan salah satunya. Dari ketetapan hukum inilah, maka dalam khawarij muncul semboyan : الالله لاحكم (Tidak ada hukum selain hukum allah) dan dari semboyan inilah, muncul semboyan Ali bin abi thallib untuk menyanggahnya, yaitu : حق يراد بها باطل كلمة / ucapan yang benar tetapi dipergunakan untuk tujuan yang salah.

Kelompok syiah yang mendukung ali bin abi thalib membuat ketetapan hukum pokok dengan pandangan politiknya sebagai berikut :
  1. Setelah wafatnya rosulullah amanat pemerintahan diserahkan kepada Ali dan seterusnya kepada anak-anak keturunan dari Fatimah setelah ali wafat,sebab menurut merka rosulullah telah berwasiat yang demikian.
  2. Segala bentuk penafsiran al-quran wajib mendapatkan rekomendasi dari Imam-imam mereka, karena al-quran memiliki makna lahir dan makna bathin,sedang orang umum hanya mengetahui makna lahir saja.
  3. Ijma’ merupakan sumber hukum islam setelah al-quran dan as-sunnah, dengan syarat imam mereka ikut serta dalam menetapkan ijma’ tersebut, sehingga tanpa keikutsertaan imam-imam mereka, maka tidak di anggap sebagai hujjah,sebab yang di maksum hanyalah imam-imam mereka. Karena hal itulah ijma’ yang di ikuti mereka memiliki kedudukan sama dengan “ahl-al bait / Ijma’ ahl-Bait”.
  4. Qiyas tidak di akui oleh mereka dalam menetapkan hukum islam, karena asalnya dari akal fikiran manusia yang sudah jelas mengandung kesalahan,sedang agama tidak bisa di ambil dari akal pikiran manusia. 

Daftar Pustaka


Kutbuddin Aibak, Metodologi Pembaruan Hukum Islam, (Yoyakarta: Pustaka Belajar, 2008), hal. 16

Post a Comment

Silahkan di Share kalau dianggap bermanfaat

 
Top