1

Makalah Hukum Adat; Politik Hukum Adat Belanda di Indonesia

Makalah Hukum Adat; Politik Hukum Adat Belanda di Indonesia
Politih hukum adat Belanda di Indonesia

A. Pendahuluan

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang berbhineka tunggal ika, majemuk, berbeda-beda suku, agama, ras, budaya, geografis yang berbeda dan kemudian menjadi satu kesatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak tanggal 17 agustus 1945.
 
Tidak dapat disangkal lagi, tidak satu Negara pun didunia ini yang tidak mempunyai tata hukumnya sendiri. Betapapun sederhananya sebagai Negara berdaulat mempunyai tata hukum sendiri yan bersumber dari pemikiran bangsa itu sendiri. Di Indonesia, jauh sebelum kemerdekaannya, bahkan jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa ke bumi Nusantara, Masyarakat hukum adat sudah mempunyai system hukum sendiri, sebagai pedoman dalam pergaulan hidup masyarakat, yang dinamakan “hukum adat” . Banyak adat atau kebiasaan yang tertanam didalam masyarakat. Kami disini akan mencoba membahas mengenai pengertian Hukum Adat dari beberapa tokoh dunia bahkan dari negara kita sendiri, dan juga kami akan sedikit menguraikan asal-usul Hukum adat dan Politi Hukum Adat Belanda.


B. Pengertian Hukum Adat

 
  1. Van Vollenhoven, Hukum Adat Ialah Keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi (oleh karena itu: “Hukum”) dan di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasi (oleh karena itu: “Adat”)
  2. Roelof van Dijk, didalam bukunya: “Pengantar Hukum Adat Indonesia” mengatakan bahwa kata Hukum Adat itu adalah istilah untuk menunjukkan hukum yang tidak dikodifikasi di kalangan orang Indonesia asli dan kalangan orang Timur Asing (Cina, Arab dan Lain-lain)
  3. Menurut Soepomo , memberikan dua rumusan yang berbeda, yaitu sebagai berikut:
  • Hukum adat adalah hokum non-statutair yang sebagian besar adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil hukum islam, hukum adat itu pun melingkupi hukum yang berdasarkan keputusan-keputusan hakim berisi asas-asas hukum lingkungan, di mana ia memutuskan perkara. Hukum adat berurat berakar pada kebudayaan tradisional. Hukum adalah hukum yang hidup, karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat. Sesuai dengan fitrahnya sendiri, hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri.
  • Hukum adat adalah sinonim dari hukum yang tidak tertulis didalam peraturan legislative (unstatutory law), hukum yang hidup sebagai konsensasi di badan-badan Negara (Parlemen, Dewan Provinsi, dsb), hukum yang timbul karena putusan-putusan hakim (judge made law), dan hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan dalam pergaulan hidup, baik di kota maupun didesa-desa (customary law)

C. Asal-usul hukum adat

Meskipun pada jaman v.o.c orang Belanda tidak menemukan hukum adat, namunV.O.C. mempunyai alasan untuk mencampuri hukum adat. Berdasarkan pertimbangan praktis, dibeberapa tempat tertentu sebagai usaha penertiban dan pemeliharaan bagi dirinya, V.O.C terpaksa turut campur dalam mengatur Hukum bagi orang Indonesia asli, yang oleh V.O.C mesih dianggap bagian terbesarnya terdiri atas peraturan agama islam.
 
Pada tahun 1750, 1759, 1760 dan 1768 turut campurnya V.O.C dalam usaha penertiban hukum orang Indonesia asli itu menghasilkan 4 kodifikasi dan pencatatatan hukum bagi orang indonesia asli yang berikut:
 
  1. Untuk keperluan Landraad di Semarang pada tahun 1750 dibuat suatu compendium (pegangan, iktisar) dari undang orang jawa yang terkenal dengan nama “kitab hukum mogharrar”. Kitab hukum itu bermaksud memuat Hukum Pidana Jawa , tetapi ternyata yang dibuat ialah hukum pidana islam. Kodifikasi hukum ini kemudian dipublikasikan dalam majalah :”Regt in Netherlandschindie” dan oleh sebab itu pada tahun 1854 menjadi salah satu pokok pembicaraan di dalam pembentukan R.R. 1854
  2. pada tahun 1759 oleh pimpinan V.O.C disahkan suatu Compendium van clootwijck tentang undang-undang Bumi Putera di lingkungan Kraton Bone dan Goa, berlaku sejak dahulu sampai skarang. Pencatatan Hukum Adat itu dibuat oleh van Clootwijck yang menjadi Gubernur Pantai Sulawesi dari tahun 1752 sampai tahun 1755. Meskipun Compendium itu sudah agak usang , namun masih dipakai oleh peradilan Bumi Putera pada permulaan abad ini.
  3. Pada tahun 1760 oleh pimpinan V.O.C dikeluarkan suatu himpunan Peraturan Hukum Islam mengenai nikah, talak dan warisan. Himpunan itu terkenal dengan nama “ Compendium Freij”, karena disusun oleeh freijer, yang menjabat “ Kuasa Pemerintah di bidang urusan-urusan Bumi Putera”. Pencatatan Hukum Islam ini bertahan lama. Beberapa bagian dari Compendium tersebut dicabut dengan berangsur-angsur pada abad ke 19, sedangkan bagian terakhir (mengenai warisan) pada tahun 1913.
  4. Oleh Cornelius Hasselaer yang menjadi residen di Cirebon (1757-1765) direncanakan pembuatan suatu Kitab Hukum Adat yang menjadi “Suatu Pemimpin Hukum Adat bagi Hakim-hakim di Cirebon”. Kitab Hukum Adat ynag merupakan karya bikinan, hany berdasarkan bahan tertulis dan tidak berdasarkan penyelidikan di etempat itu terkenal dengan nama”Pepakem Cirebon”. Karya itu masih mengandung banyak kekurangan, tetapi membuktikan bahwa orang sudah mulai menyadari akan adanya Hukum Adat (van vollenhoven).
Penemu Hukum adat itu berangsur-angsur terjadi dalam abad ke 19 dan permulaan abad ke 20, sebagai akibat diadakannya penyelidikan dan studi Hukum Adat yang makin lama makin banyak, makin teliti dan makin sistematis. Van vollenhoven menyebut periode sampai tahun 1865 sebagai “Westerse Verkenning” (“penyelidikan lapangan yang dilakukan oleh orang-orang Barat”), yakni masa perintis penyelidikan dan studiHukum Adat yang berasal dari dunia Barat.
 
  • Marsden, Sebagai perintis pertama dapat disebut Marsden, seorang Inggris yang menjadi pegawai Pangreh Praja Hindia-Inggris. Pada tahun 1783 oleh Marsden dipublikasikan sebuah buku yang berjudul : “the History of Sumatera”, yang sebenarnya tidak memuat sejarah pulau tersebut melainkan memuat suatu deskripsi (suatu laporan sistematis/uraian) tentang Sumatera pada akhir abad ke 18. Istilah van vollenhoven sesuai dengan penjelasan yang oleh Marsden sendiri diberikan tentang istilah History tersebut, yaitu berisi keterangan tentang pemerintahan, hukum dan adat-istiadat dari penduduk Bumi Putera.
  • Muntinge, Karya Marsden disusul oleh karya Muntinghe, seseorang Belanda yang berturut-turut menjadi Sekretaris Gubernemen, Sekretaris Jenderal dari Gubernur Jenderal Daendels, ketua H.G.H (Hooggerechtshof), pembantu Raffles, pembantu komisas Jenderal dan akhirnya anggota Raad van Indie (Dewan Hindia-Belanda, terdir dari 5 orang, yang tugasnya memberi nasehat kepala Gubernur Jenderal). Rupanya jasa Muntinghe adalah penemuan desa jawa, sebagai suatu persekutuan hukum (rechtsgemeenschap) yang asli dengan organisasi sendir dan hak-hak sendiri atas tanah. Muntinghe adalah juga orang Belanda pertama yang secara sistematis memakai istilah “Adat” tetapi belum mengenal istilah “Adatrecht”.
  • Raffles, Tentang Raffles perlu dicatat bahw ia mencampur-adukkan Hukum Agama dengan Hukum Bumi Putera. Kitab suci Al-Qur’an diapandangnya sebagai Sumber Hukum di jawa. Raffles memperoleh bahan-bahan mengenai Hukum Adat yang hidup di Jawa itu terutama di daerah-daerah kerajaan, jadi daerah-daerah yang memang mempunyai arti yang penting sekali bagi pelajaran bahasa Jawa, kesenian dan kesusasteraan, tetapi disitu hukum rakyat justru didesak dan dikaburkan oleh hukum raja, jai Raffles tak dapat mencatat Hukum Rakyat yang hidup.
  • Crawfurd, Ia melihat Hukum Agama itu hanya bagian kecil saja dari Hukum Adat, suatu pendapat yang dibenarkan oleh van Vollenhoven. Dengan demikian Crawfurd dapat dipandang sebagai pengarang pertama yang tidak melakukan kesalahan idnetifikasi, yaitu yang menganggap Hukum Adat identik dengan Hukum Agama. Berlainan dengan buku Marsden, maka karya Crawfurd sepenuhnya memperhatikan Hukum Tanah Adat.
  • Van Hogendrop, Menyelidiki tentang bidang Hukum Rakyatyang penting di Jawa, yaitu, Hak milik Bumi Putera atas tanah.
  • Jean Chretien Baud, Kemudian datanglah seorang Muntinghe kedua yang lebih baik, yaitu Jean Chretien Baud, yang pernah menjadi Gubernur Jenderal, kemudian Menteri Jajahan. Pada tahun 1829, ia diberi kesempatan untuk melindungi hak ulayat Desa (Hak Desa untuk mengatur/menguasai tanah/Hak Purba/Beschikking) atas tanah tands. Ia tidak dapat menerima Domeinleer (Ajaran Domein), yaitu ajaran yang mengatakan bahwa semua tanah adalah milik negara. Penduduk dapat memakai tanah, tetapi dengan ijin Negara. Apanage (hak pinjam dari Bangsawan) seperti yang dikemukakan oleh Raffles dan pendapatnya itu diperkuat oleh penyelidikan sendiri ketika selaku Gubernur Jenderal pada tahun 1834 ia mengadakan perjalanan keliling di pulau Jawa. Peranannya di dalam menyusun pasal 62 ayat 3 R.R. (pasal 51 ayat 3 I.S) yang melindungi Hukum Tanah Adat, oleh Logemann dibuktikan tidaklah disertai dengan maksud-maksud yang buruk tetapi justru dilakukannya dengan tujuan yang baik.

D. Politik Hukum Adat Belanda

Meskipun penjajah Belanda sangat keji terhadap bangsa Indonesia dengan aturan “Cultuurstelsel” sangat menistakan rakyat dan ekonomi Indonesia . Dalam sejarah perundangan Indonesia Belanda memberi andil penting dengan dimulainya pengkodifikasian hukum tahun 1848, pembukuan hukum ke dalam kitab perundangan yang disusun secara sistematis. Pengkodifikasian itu dimulai dari hukum perdata yang merupakan tiruan dari kodikasi hukum perdata yang dibuat di negeri Belanda.
 
Mengenai hukum perdata antara anggota rakyat itu dibeda-bedakan, oleh karena itu kodifikasi hukum perdata tahun 1848 itu tidak termasuk hukum adat. Oleh karena bukan saja karena pengalaman pemerintah mengenai keberlakuan hukum rakyat itu sejak zaman VOC memerlukan adanya perhatian, dan setelah kodifikasi 1848 timbul perbedaan pendapat antara Mr. Wichers yang menghendaki agar sebagian hukum perdata barat harus diberlakukan juga untuk golongan yang bukan Eropa, sedangkan Gubernur Jendral Rochussen menghendaki agar bagi golongan rakyat bukan Eropa harus berlaku hukum adat sepenuhnya.
 
Perbedaan pendapat yang berkepanjangan itu akhirnya menempatkan dasar perundangan berlakunya hukum adat bagi golongan peribumi dan timur asing dalam pasal 11 AB yang berbunyi:
 
“Kecuali dalam hal-hal orang pribumi atau orang-orang yang disamakan dengan mereka (orang timur asing), dengan sukarela menaati (vrijwillige onderwerping) peraturan-peraturan hukum perdata dan hukum dagang Eropa, atau dalam hal-hal bahwa bagi mereka berlaku hukum peraturan perundangan semacam itu, atau peraturan perundangan lani,maka hukum yang berlaku dan diperlakukan oleh Hakim peribumi (Inlands rechter) bagi mereka itu adalah “godssientige wetten volksinstellingen en gebruiken” (undang-undang keagamaan, lembaga-lembaga rakyat, dan kebiasaan) mereka, asal saja peraturan-peraturan itu tidak bertentangan dengan asas-asas keadilan yang diakui umum”
 
Ketika istilah “hukum adat” (adatrecht) belum dikenal maka istilah yang digunakan pembuat perundangan adalah “ undang-undang keagamaan, lembaga-lembaga rakyat, dan kebiasaan.
 
Hukum adat yang merupakan hukum rakyat menarik perhatian bagi para ilmuan untuk melakukan penelitian bagi kepentingan ilmu pengetahuan dan penjajah Belanda. Sebelumnya telah ada yang lebih dulumelakukan proses penemuan hukum adat itu seperti Willem Marsden, Stamford Raffles, Crawfurd dll.Beberapa peneliti hukum adat zaman Belanda antara lain :
 
  1. Van Overstraten (1791-1796
  2. Nicolaus Engelhard (1761-1831)
  3. Dirk van Hogendrop (1761-1832)
  4. Jean Chretien Baud (1789-1859)
  5. Daendels (1808-1811),
  6. Tj. Willer (1808-1865)
  7. Van Den Bossche (1852-1854) dll.
Di antara tahun 1870-1900 muncul dari beberapa pihak yang menghendaki agar bagi golongan peribumi dilakukan pula kodifikasi hukum adat, diantaranya Menteri jajahan Belanda Cremer pada tahun 1900 dan Mr. Carpentier Alting namun dibantah oleh Mr.I.A Nederburgh dan Mr. F.C. Hekmeyer, oleh karena diragukan akan dapat berlaku dengan baik, dikarenakan bagian terbesar kodifikasi itu berdasrakan sistem hukum Eropa. Laporan hasil kerja Alting tersebut tidak diperdebatkan dalam dewan perwakilan rakyat Belanda karena Menteri Cremer diganti Idenburgh.
 
Idenburgh berpendapat bahwa Hindia Belanda perlu diadakan unifikasi hukum yang asasnya berdasarkan hukum Eropa, sebagaimana direncanakan oleh Prof. Mr. LWG. Van den berg, sehingga redaksi pasal 75 dan pasal 109 RR tahun 1845 perlu diadakan perubahan.
 
Oleh karena konsep unifikasi tersebut akan berakibat terdesaknya Hukum Adat maka Van Vollenhoven yang menjadi Guru besar pada Universitas Leiden menentangnya dengan hebat.
 
Usul unifikasi itu diperdebatkan juga dewan perwakilan rakyat Belanda pada tahun 1906, yang dibela oleh menteri Fock yang menggantikan Idenburgh pada tahun 1904, tetapi banyak ditentang oleh para anggota DPR Belanda.
 
Pada akhirnya tanggal 10-12 Oktober 1906 DPR menerima usul amandemen anggota DPR van Idsinga di mana konsep unifikasi itu lalu disingkirkan dan tetap dipertahankan konsep kodifikasi. Redaksi amandemen Idsinga tersebut yang menjadi redaksi pasal 75 RR (redaksi baru) dan kemudian menjadi redaksi pasal 131 ayat 2 b IS sampai pecah perang dunia kedua.
 
Usul perubahan pasal 75 RR dan pasal 109 RR lama (1854) ditetapkan menjadi Undang-Undang pada tanggal 31 Desember 1906 tetapi ketentuan peralihannya baru selesai pada tahun 1915 oleh Menteri Pleyte dan redaksi baru dari kedua pasal tersebut perubahan pasal RR yang baru ini, pada tahun 1925 RR telah diganti dengn Indiesche Staatsregeling (IS) dimana pasal 75 RR redaksi baru menjadi pasal 131 IS dan pasal 109 RR redaksi baru Menjadi pasal 163 IS.
 
Pasal 131 IS yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 1926 itu Menyatakan bahwa:
 
“ Dalam Mengadakan ordonansi-ordonansi yang memuat hukum perdata dan dagang Pembuat ordonasi akan memperhatikan sebagai berikut”:
1. Bagi golongan Eropa berlaku hukum yang sama. . . . . .
2. Bagi golongan pribumi, golongan timur asing dan bagian-bagian dari padanya berlaku peratuaran-peraturan hukum yang didasarkan atas agama-agama dan kebiasaan mereka, namun dapat dikecualikan terhadap peraturan-peraturan sosial mereka memerlukan kekecualian itu. Dalam hal kebetulan sosial mereka memerlukan maka dapat ditetapkan bagi mereka hukum Eropa, jika perlu diadakan perubahan, maupun hukum yang berlaku bagi mereka dan golonga Eropa bersama-sama.
Demikian politik hukum adat di masa Hindia Belanda bahkan sejak tahun 1930 diadakan perubahan politik hukum adat yanga baru di mana hukum adat ditingkatkan penelitiannya untuk menjajagi kemungkinan dilakukannya kodifikasi. Namun sampai hari ini usaha ke arah kodifikasi hanya merupakan harapan saja.
 
Jadi menjelang runtuhnya kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia dalam perang dunia kedua, bangsa Indonesia mewarisi dua konsep hukum adat. Pertama, konsep hukum adat dari pemerintahan kolonial yang dituangkan dalam pasal 131 ayat 2 b IS yang ditujukan kepada pembentuk perundangan negara, dan kedua, konsep hukum dari kongres Pemuda Indonesia, yang ditujukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk memperkuat persatuan bangsa.

E. Kesimpulan

Sedikit yang kami dapat simpulkan dari makalah kami, Hukum adat yang merupakan hukum rakyat menarik perhatian bagi para ilmuan untuk melakukan penelitian bagi kepentingan ilmu pengetahuan dan penjajah Belanda. Sebelumnya telah ada yang lebih dulumelakukan proses penemuan hukum adat itu seperti Willem Marsden, Stamford Raffles, Crawfurd dll.Beberapa peneliti hukum adat zaman Belanda antara lain :
8. Van Overstraten (1791-1796
9. Nicolaus Engelhard (1761-1831)
10. Dirk van Hogendrop (1761-1832)
11. Jean Chretien Baud (1789-1859)
12. Daendels (1808-1811),
13. Tj. Willer (1808-1865)
14. Van Den Bossche (1852-1854) dll.


F. Penutup

Demikianlah Pengenalan Hukum Adat, Makalah ini tersaji dengan Pemanfaatan “akal merdeka” telah penulis curahkan untuk melakukan Penulisan makalah, banyak sekali Ilmu yang belum di punyai Penulis sehingga banyak hal yang kurang dalam penulisan Makalah kali ini. Sehingga kami memohon pada para pembaca untuk sudi memberikan saran ataupun kritikan pada penulisan kali ini untuk menjadi sebuah tulisan yang baik dan benar pada suatu saat nanti.


DAFTAR PUSTAKA


Hadikusuma, Hilman. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung : Mandar Maju, 2003.
Rajaguguk, Erman. Hukum dan Masyarakat, Jakarta: PT Bina Aksara, 1983.
Rajagukguk, Erman. Hukum dan Masyarakat, Jakarta : PT. Bina Aksara, 1983
Samosir, Djamanat. Hukum Adat Indonesia; Eksistensi dalam Dinamika Perkembangan Hukum di Indonesia, Bandung : CV. Nuansa Aulia, 2013, Cet. I.
Soekanto, Soerjono. Hukum Adat Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo, 2002, Cet. V.
Soekanto. Meninjau Hukum Adat Indonesia : Suatu Pengantar Untuk Mempelajari Hukum Adat Indonesia, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1996, Cet. 3.


Post a Comment

Silahkan di Share kalau dianggap bermanfaat

 
Top