5

Pengertian Khitbah, Syarat Peminangan dan Akibat Hukum Khitbah

Pengertian Khitbah, Syarat Peminangan dan Akibat Hukum Khitbah, Hukum Peminangan dalam KHI

Pengertian Khitbah, Syarat Peminangan dan Akibat Hukum Khitbah - Seorang Pengantin yang akan melangsungkan pernikahan sebelumnya biasanya melakukan khitbah ke calon pengantinnya. Peminangan biasanya dalam bahasa arab disebut dengan khitbah atau dalam bahasa modernya disebut juga melamar. khitbah atau peminangan ini berfungsi untuk mengikat calon pasangan supaya tidak diambil atau dipilih oleh orang lain.

Arti Khitbah atau Peminangan

Secara etimologi, khitbah, meminang atau melamar artinya meminta wanita untuk dijadikan istri.[1] Dalam KHI pasal 1 (a), khitbah ialah kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita. Atau, seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya, dengan cara-cara yang umum berlaku ditengah-tengah masyarakat.
Nusantara Furniture

Syarat Khitbah

Khitbah adalah proses awal dari suatu perkawinan. Dengan begitu perempuan-perempuan yang secara hukum syara’ boleh dikawini oleh seorang laki-laki, boleh dipinang. 

Kompilasi Hukum Islam mengatur khitbah dalam Pasal 1, 11, 12, dan 13. Keseluruhan Pasal yang mengatur khitbah berasal dari fiqh madzhab, terutama madzhab Syafi’iy.

Pihak yang melakukan khitbah diatur dalam pasal 11 denga rumusan:

Khitbah dapat dilakukan langsung oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh, tetapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya.


Mengenai perempuan yang boleh dipinang dan tidak boleh dipinang disebutkan dalam Pasal 12 yang secara lengkap rumusannya adalah sebagai berikut;

  1. Khitbah dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya.
  2. Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj’iyah, haram dan dilarang untuk dipinang.
  3. Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita.
  4. Putusnya pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.

Adapun cara menyampaikan khitbah ada dalam dua cara:

  1. Menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang dalam arti tidak mungkin dipahami dari ucapan itu kecuali untuk khitbah seperti ucapan: “saya berkeinginan untuk menikahimu”
  2. Menggunakan ucapan yang tidak jelas dan tidak terus terang seperti ucapan: “tidak ada orang yang tidak senang kepadamu”.

Akibat Hukum Khitbah atau Peminangan

Khitbah adalah suatu usaha yang dilakukan mendahului perkawinan dan menurut biasanya setelah itu dilakukanlah perkawinan. Namun khitbah itu bukanlah suatu perjanjian yang mengikat untuk dipatuhi. Laki-laki yang meminng atau perempuan yang dipinang dalam masa menjelang perkawinan dapat saja membatalkan khitbah tersebut. meskipun demikian, pemutusan khitbah itu dilakukan secara baik dan tidak menyakiti pihak manapun. Pemberian yang dilakukan dalam acara khitbah itu tidak mempunyai kaitan apa-apa dengan mahar perkawinan. Dengan demikian, pemberian tersebut dapat diambil kembali bila khitbah itu tidak berlanjut.[2]
Produk furniture untuk mengkhitbah: Set Kamar Tidur Vittoria Luxury Terbaru

Hubungan antara laki-laki yang meminang dengan perempuan yang dipinangnya selama masa antara khitbah dan perkawinan itu adalah sebagaimana hubungan laki-laki dan perempuan asing. Oleh karena itu belum berlaku hak dan kewajiban diantara keduanya.

UU Perkawinan sama sekali tidak membicarakan khitbah. Menegenai akibat hukum suatu khitbah dijelaskan dalam pasal 13 KHI sebagai berikut;

1. Pinangan atau khitbah belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan khitbah.
2. Kebebasan memutuskan hubungan khitbah atau peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai.

[1] Abdul Rahman Ghozali, Op.Cit. Hal. 73 
[2] Amir Syarifuddin. Op. cit. hal. 57

Post a Comment

Silahkan di Share kalau dianggap bermanfaat

 
Top