0
Problematika sistem madzhab (kelebihan dan kekurangannya)
Problematika sistem madzhab (kelebihan dan kekurangannya) - Drs. Syafiq Mahmadah Hanafi dalam artikelnya menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi lemahnya aktivitas ulama’ dalam lapangan hukum Islam, beberapa faktor Problematika sistem madzhab, kelebihan dan kekurangannya tersebut antara lain:

Pertama, pecahnya negara islam menjadi beberapa negara kecil, negara-negara tersebut saling berperang dan memfitnah, hingga masyarakatnya disibukkan urusan permusuhan dan perang tiada lagi ketentraman masyarakat, yang akibatnya salah satunya adalah kurang perhatian terhadap kemajuan ilmu.

Kedua, timbulnya madzhab-madzhab yang mempunyai metode dan cara berpikir sendiri dibawah seorang Imam Mujtahid pada periode sebelumnya. Selanjutnya para pengikut madzhab –madzhab tersebut mulai bersikap fanatik. Sikap fanatisme madzhab tersebut mulai diperlihatkan dengan cara membela madzhabnya, memperkuat pendapat-pendapat madzhab maupun dasar-dasarnya dengan berbagai cara, mengemukakan alasan pembenar atas pendirian madzhabnya dan menyalahkan madzhab lain.

Karena itu seseorang tidak lagi mencurahkan perhatiannya pada sumber hukum Al-Qur’an dan As-Sunnah. Nash kedua sumber hukum itu baru digunakan justru ketika memperkuat pendapat Imamnya, meski kadang-kadang melalui jalan yang tidak semestinya. Dengan demikian maka kepribadian seseorang menjadi lebur dalam golongannya dan kebebasan berfikir menjadi terbelenggu. Pada akhirnya orang-orang yang berilmu pun bertindak layaknya orang awam yang hanya mencukupkan diri dengan taklid.

Ketiga, ketika kaum Muslimin mengabaikan aturan-aturan yang ada dan tidak memberikan jaminan bahwa ijtihad tidak akan dilakukan kecuali oleh yang berhak, timbulah kekacauan dalam bidang penetapan hukum dan ijtihad. Orang-orang yang tidak berhak turut melakukan ijtihad, dan orang-orang awam pun ikut memberi fatwa. Mereka mempermainkan Nash-nash syari’ah dan kepentingan orang banyak. Hal demikian berakibat pada banyaknya fatwa yang berbeda-beda, dan kemudian mempengaruhi keputusan hakim yang berbeda-beda pula, bahkan perbedaan itu bisa terjadi pada persoalan yang sama dalam satu wilayah yang sama, dan kesemuanya itu dianggap sebagai hukum syara’.

Melihat kekacauan yang demikian itu, para Ulama’ pada akhir-akhir abad ke-4, menetapkan penutupan ijtihad dan membatasi kekuasaan para pemberi fatwa maupun hakim dengan hukum-hukum atau pendapat-pendapat yang ditinggalkan oleh para ulama’ sebelumnya.

Keempat, adanya kodifikasi atas pendapat-pendapat madzhab membuat orang mudah mencarinya, kalau pada masa-masa sebelumnya para fuqaha terpaksa berijtihad karena dihadapkan pada hal-hal yang tidak ada hukumnya dalam syara’. Maka setelah ijtihad mereka dikodifikasikan baik dalam hal yang terjadi maupun hanya mungkin terjadi. Orang-orang yang datang kemudian atau generasi sesudahnya hanya mencukupkan diri pada pendapat yang telah ada. Dengan demikian tidak ada dorongan untuk lebih maju.

Kelima, pada masa-masa sebelumnya, hakim-hakim terdiri atas orang-orang yang bisa melakukan ijtihad sendiri, bukan dari pengikut-pengikut mereka. Akan tetapi pada masa-masa berikutnya hakim-hakim diangkat dari orang-orang yang bertaklid, agar mereka memakai madzhab tertentu dan terputus hubungannya dengan madzhab yang tidak dipakai dipengadilan. Dengan terikatnya seorang hakim dengan madzhab fiqh yang disukai oleh penguasa negara menjadi sebab orang-orang tertarik dan puas dengan madzhab tersebut.[1]

Kesimpulan dari problematika sistem madzhab

Seperti yang kita tahu hukum Islam pada dasarnya adalah bersumber dari Alqur’an dan penjelasan Nabi (Hadits), pada masa Rasulullah fondasi-fondasi fiqh berada dibawah ijtihad-ijtihad Rasulullah SAW dan para sahabatnya, tentunya saat itu hanya ada satu madzhab yaitu dari Rasulullah SAW. Dan media diskusipun masih sangat mudah dilakukan.

Setelah wafatnya Rasulullah SAW Sahabat dituntut untuk bertindak sebagai fuqoha pengganti Rasul dan sebijaksana Rasul. Banyak permasalahan yang muncul dan belum ada di zaman Rasul. Belum ada hukum yang menyatakannya di Alqur’an maupun Hadits. Oleh karena itu sahabat menggunakan ijtihad masing-masing sebagai metode pengambilan hukum. karena sistim kepercayaan dan media diskusi yang minim karena menyebarnya para khalifah – kalifah di beberapa wilayah kekuasaan maka terjadi beda pendapat. Mulai dari itu muncul madzhab – madzhab baru dikalangan para ulama.

Pada periode awal Dinasti Umayyah ketika khalifah atau raja tidak lagi menjadi sesepuh mazhab. Bagaimanapun juga, perlu dicatat bahwa selama periode Umayyah dan awal periode Abbasiyyah, para pengkaji fiqh bebas dan seringkali berganti-ganti guru dan mengubah berbagai ketetapan hukum. Tradisi bermadzhab yang awalnya muncul sebagai sarana pengambilan hukum konvensional ternyata kian masa mengalami keterpurukan, bahkan masing-masing madzhab sangat fanatik kepada madzhabnya sendiri dan mengabaikan media diskusi sehingga kepentingan umat Islam untuk mengetahui hukum yang otentik terabaikan.

[1] . Dr, Ainurrofiq. Ed. Madzhab Jogja, fiqh dan Ushul fiqh pada masa taklid, Ar-Ruzz (Jogjakarta: 2002) hal: 86-89

Post a Comment

Silahkan di Share kalau dianggap bermanfaat

 
Top