Abu Mansur Muhammad bin Muhammad |
Dalam mempelajari pemikiran Al-Maturidi kita tidak bisa terlepas dari pikiran-pikiran Al-Asy’ari dan aliran Mu’tazilah, sebab tidak bisa terlepas dari suasan pada zamanya. Al-Asyari dan Maturidi keduanya hidup semaasa dan memiliki tujuan yang sama, yaitu membendung dan melawan aliran Mu’tazilah. Perbedaanya ialah kalau Al-Asyari menghadapi negeri kelahiran aliran Mu’tazilah yaitu Basrah dan Irak pada umumnya. Sedangkan Maturidi menghadapi dari negerinya sendiri yaitu Samarkand dan Iran pada umumnya. Meskipun pendapat Al-Asyari dan Maturidi sering berdekatan namun perbedaan pendapat selalu ada.
Menurut Ahmad Amin, masalah yang menjadi perbedaan tidak penting seperti
Apakah sifat “baqa” itu bersifat wujud atau bukan,
“wujud” itu hakekatnya zat atau bukan
Bagaimana hakekanya iman dan apa bisa bertambah atau bukan,
Arti “qada” dan “qodar”,
Perbedaan-perbedaan itu dapat kita dapati dalam kitab “Al-‘Aqidun Nasafiah” karangan Najmudin An-Nasafi. Boleh jadi perbedaan-perbedaan yanga tidak begitu banyak da hubungannya dengan perbedaan-perbedaan dasar-dasar mazhab Syafi’I yang dianut oleh imam Al-Asy’ri dan dasar-dasar Abu Hanifah yang dianut oleh Al-Maturidi. Karena itu kebanyakan pengikut aliran Al-Maturidi terdiri dari orang-orang mazhab Hanafi, sedangkan pengikut As-Asy’ariah terdiri dari orang-orang mazhab Syafi’i.
Sedangkan menurut Abu Zahra bahwa perbedaan antara Al-Asyariah dan Al-Maturidi sebenarnya lebih jauh lagi, baik dalam cara berpikir maupun dalam hasil-hasil pemikirannya, karena maturidi member kekuasaan berpikir maupun dala hasil-hasil pemikirannya, karena Al-Maturidi memberikan kekuasaan yang luas kepada akal pikiran melebihi daripada yang diberikan oleh Al-Asy’ari. Untuk jelasnya ini disebutkan pendapat-pendapat Maturidi .
Menurut Ahmad Amin, masalah yang menjadi perbedaan tidak penting seperti
Apakah sifat “baqa” itu bersifat wujud atau bukan,
“wujud” itu hakekatnya zat atau bukan
Bagaimana hakekanya iman dan apa bisa bertambah atau bukan,
Arti “qada” dan “qodar”,
Perbedaan-perbedaan itu dapat kita dapati dalam kitab “Al-‘Aqidun Nasafiah” karangan Najmudin An-Nasafi. Boleh jadi perbedaan-perbedaan yanga tidak begitu banyak da hubungannya dengan perbedaan-perbedaan dasar-dasar mazhab Syafi’I yang dianut oleh imam Al-Asy’ri dan dasar-dasar Abu Hanifah yang dianut oleh Al-Maturidi. Karena itu kebanyakan pengikut aliran Al-Maturidi terdiri dari orang-orang mazhab Hanafi, sedangkan pengikut As-Asy’ariah terdiri dari orang-orang mazhab Syafi’i.
Sedangkan menurut Abu Zahra bahwa perbedaan antara Al-Asyariah dan Al-Maturidi sebenarnya lebih jauh lagi, baik dalam cara berpikir maupun dalam hasil-hasil pemikirannya, karena maturidi member kekuasaan berpikir maupun dala hasil-hasil pemikirannya, karena Al-Maturidi memberikan kekuasaan yang luas kepada akal pikiran melebihi daripada yang diberikan oleh Al-Asy’ari. Untuk jelasnya ini disebutkan pendapat-pendapat Maturidi .
(Baca:Sejarah Ushul Fiqh)
Pendapat Al-Maturidi tersebut mirip dengan pendirian Mu’tazilah. Hanya perbedaannya ialah kalau aliran Mu’tazilah mengatakan bahwa pengetahuan Tuhan diwajibkan oleh akal (artinya akal yang mewajibkan), maka menurut Al-Maturidi, meskipun kewajiban mengetahui Tuhan apa diketahui akal, tetapi kewajiban itu datangnya dari Tuhan
Aliran Muta’zilah juga mempunyai pembagian yang dikutip dari Al-Jubbai, yang mengatakan bahwa “apa yang diketahui kebaikanya oleh akal, harus dikerjakan berdasarkan perintah akal dan yang diketahui keburukanya harus ditinggalkan menurut keharusan akal.
Aliran Maturidi mengikuti pendapat Abu Hanifah bahwa meskipun akal sanggup mengetahui, namun kewajiban itu datangnya dari syara’, karena akal semata-mata tidak dapat bertindak sendiri dalam kewajiban-kewajiban agama, sebab yang mempunya taklif hanya Tuhan sendiri. Sedangkan pendapat Al-Asyari yang mengatakan bahwa sesuatu tidak mempunyai kebaikan atau keburukan obyektif melainkan kebaikan itu ada (terdapat) karena adanya perintah syara’ dan begitu juga sebaliknya. Jadi kebaikan dan keburukan itu tergantung kepada Tuhan.
1. Kewajiban mengetahui Tuhan
Menurut Al-Maturidi, akal bisa mengetahui kewajiban untuk mengetahui tuhan, seperti yang diperintahkan oleh tuhan dalam ayat-ayat Al-Quran untuk menyelidiki (memperhatikan) alam, langit dan bumi. Akan tetapi meskipun akal semata-mata sanggup mengetahui Tuhan, namun ia tidak sanggup mengetahui dengan sendirinya hukum-hukum taklifi (perintah-perintah Tuhan), dan pendapat terakhir ini berasal dari Abu Hanifah.Pendapat Al-Maturidi tersebut mirip dengan pendirian Mu’tazilah. Hanya perbedaannya ialah kalau aliran Mu’tazilah mengatakan bahwa pengetahuan Tuhan diwajibkan oleh akal (artinya akal yang mewajibkan), maka menurut Al-Maturidi, meskipun kewajiban mengetahui Tuhan apa diketahui akal, tetapi kewajiban itu datangnya dari Tuhan
2. Kebaikan dan keburukan menurut akal
Aliran maturidi mengakui adanya keburukan obyektif (yang terdapat pada sesuatu perbutan itu sendiri) dan akal dapat mengetahui kebaikan dan keburukan sebagai suatu perbuatan. seolah-olah aliran maturidiah membagi dalam tiga bagian yaitu sebagian yang diketahui kebaikannya dengan akal semata-mata, sebagian yang tidak diketahui keburukannya dengan akal semata-mata, dan sebagian lagi yang yang tidak jelas kebaikan dan keburukannya bagi akal atau yang sering disebut syara’.Aliran Muta’zilah juga mempunyai pembagian yang dikutip dari Al-Jubbai, yang mengatakan bahwa “apa yang diketahui kebaikanya oleh akal, harus dikerjakan berdasarkan perintah akal dan yang diketahui keburukanya harus ditinggalkan menurut keharusan akal.
Aliran Maturidi mengikuti pendapat Abu Hanifah bahwa meskipun akal sanggup mengetahui, namun kewajiban itu datangnya dari syara’, karena akal semata-mata tidak dapat bertindak sendiri dalam kewajiban-kewajiban agama, sebab yang mempunya taklif hanya Tuhan sendiri. Sedangkan pendapat Al-Asyari yang mengatakan bahwa sesuatu tidak mempunyai kebaikan atau keburukan obyektif melainkan kebaikan itu ada (terdapat) karena adanya perintah syara’ dan begitu juga sebaliknya. Jadi kebaikan dan keburukan itu tergantung kepada Tuhan.
(Baca juga: Ilmu Qiro’at)
3. Hikmah dan Tujuan perbuatan Tuhan
Aliran Asy’ariah berpendapat, segala perbutan Tuhan tidak bisa ditanyakan mengapa,artinya bukan karena hikmah dan tujuan, sedangkan menurut Mu’tazilah “Tuhan tidak mungkin mengerjakan sesuatu yang tidak ada gunanya. Bahwa Tuhan harus (wajib) berbuat yang baik dan terbaik. Sedangkan menurut Al-Maturidi “memang benar perbuatan Tuhan mengandung kebijaksanaan (hikmah), baik yang berupa cipta-ciptaan-Nya maupun dalam perintah dan larangan-Nya (talkifi), tetapi perbuatan Tuhan tersebut tidak karena dipaksa (paksaan). Karena itu tidak bisa dikatakan wajib, karena kewajiban itu mengandung suatu perlawanan terhadap irada-Nya.
(Baca juga: Mu’tazilah)
Demikian artikel kami yang berjudul Sistem pemikiran Al-Maturidi semoga dapat bermanfaat bagi anda.
Post a Comment
Silahkan di Share kalau dianggap bermanfaat