0
Pengertian dan Sejarah Ilmu Qiro’at

Ilmu Qiro’at merupakan salah satu cabang ilmu Al-Quran  namu tidak banyak orang tang mengetahuinya secara baik. Orang pertama yang mengarang dalam ilmu Qiro”at adalah Abu Ubaid al-Qasim bin Salam, diikuti Ahmad  bin Jabirf al-Kufiy, Isma’il bin Ishaq al-Malikiy kawan Qalun, Abu ja”far bin Jarir al-Thabariy, Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Umar al-Dajuniy dan Abu Bakar Muhammad bin Mujahid. Kemudian orang-orang setelah itu mengarang berbagai macam Qira’at secara menyeluruh maupun tersendiri, secara ringkas maupun secara panjang lebar[1

Pengertian Qira’ah

Qira’ah menurut bahasa berupa isim mashdar dari lafal qara’a (fi’il) yang berarti membaca. Maka qira’ah berarti bacaa atau membaca

Menurut istilah, definisi qira’ah yaitu

Artinya: “Qira’ah ialah salah satu cara membaca Al_quran yang selaras dengan kaidah bahasa Arab, dan sanadnya mutawatir serta cocok dengan salah satu dari beberapa mushaf Utsman.”

Maka dari itu, bacaan yang tidak selaras dengan kaidah bahasa Arab, atau sanadnya tidak mutawatir atau tidak sesuai (cocok) dengan salah satu mushaf Utsman, tidaklah bisa dinamakan Qira’atil Qur’an.

Pendapat para imam mengenai defines Qira’ah sebagai berikut:

a.       Imam Az-Zarqani dalam bukunya Manaahilul Irfan

Qira’ah yaitu suatu cara membaca Alquran yang dipuilih oleh salah seorang imam ahli qira’ah, yang berbeda dengan cara orang lain dalam mengucapkan Al-Quranil Karim, sekalipun riwayat (sanadnya) dan jalanya sama.”

b.      Imam Ibnul Jauzy dalam kitab Munjidul Muqri’in

Qira’ah yaitu ilmu mengenai cara mengucapkan kalimat-kalimat Alquran dan perbedaan-perbedaanya.

Imam az-Zarkasyi mengingatkan dalam bukunya Al-Burhan Fii Ulumil Qur’an al-qira’ah (bacaan) itu berbeda dengan Alquran (yang dibaca). Keduanya merupakan dua fakta yang berlainan. Sebab, Al-quran adalah wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk menjadi keterangan dan mukjizat. Sedangkan qira’ah ialah perbedaan cara membaca lafal-lafal wahyu tersebut di dalam huruf-hurufnya yang menurut jumhur cara itu adalah mutawatir.

Jadi, qira’ah yaitu cara membaca ayat-ayat Al-quran yang berupa wahyu Allah SWT, dipilih oleh salah seorang imam ahli qira’ah, berbeda dengan cara ulama lain, berdasarkan riwayat-riwayat mutawatir sanadnya dan selaras dengan kaidah-kaidah bahasa Arab serta cocok dengan bacaan terhadap tulisan Al-quran yang terdapat dalam salah satu mushaf Utsman.[2]

B.     Sejarah Ilmu Qira’at


Pada zaman Rasullah, perhatian umat terhadap kitab Al-quran dengan memperoleh ayat-ayat Al-quran dengan mendengarkan, membaca, dan menghafalkan secara lisan dari mulut kemulut. Dari nabi Muhammad ke para sahabat, dari sahabat ke sahabat lainnya, dari seorang imam ahli bacaan yang satu ke imam yang lainnya.

Pada masa Rasullah Al-quran belum dibukukan, sehingga dasar pembacaan dan pembelajaran adalah masih secara lisan. Pedomannya adalah Nabi dan para sahabat serta orang-orang yang hafal Al-quran. Hal ini berlansung sampai masa sahabat, masa pemerintahan khalifah Abu Bakar dan Umar r.a. pada masa mereka, kitab Al-quran sudah dibukukan dalam satu mushaf. Pembukukan Al-quran tersebut merupakan ikhtiar dari khalifah Abu Bakar ra atas inisiatif Umar bin Khattab r.a.

Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan r.a. mushaf Al-quran disaliun dan dibuat banyak, serta dikirim ke daerah-daerah Islam yang pada waktu itu sudah menyebar luas guna menjadi pedoman bacaan pelajaran dan hafalan Al-quran.

Hal itu diupayakan khalifah Utsman karena pada waktu itu ada perselisihan sesame kaum muslim di daerah Azzerbeijan mengenai bacaan Al-quran. Perselisihan tersebut hampir saja menimbulkan perang saudara sesame umat islam. Seba, mereka berlainan dalam menerima bacan ayat-ayat Al-quran karena oleh Nabi diajarkn cara bacaan yang relevan dengan dialek mereka masing-masing. Tetapi karena tidak memahami tujuan nabi yang begitu tadi, lalu tiap-tiap suku/ golongan menganggap hanya bacaan mereka sendiri yang benar,sedang bacaan yang lainnya salah, sehingga mengakibatkan perselisihan.Untuk memadamkan perselisihan, khalifah Utsman mengadakan penyalinan mushaf Al-quran dan mengirimkan ke berbagai daerah, sehingga bisa mempersatukan kembali umat islam. Tentunya bacaan Al-quran didaerah-daerah tersebut mengacu pada mushaf-mushaf yang dikirim oleh khalifah Utsman.
(Baca Juga: Pembagian Hukum berdasarkan sumbernya )

C.     Syarat-syarat diterimanya Qira’ah


Untuk menentukan diterimanya sebuah qira’ah, para ulama menetapkan criteria sebagai berikut:[3]

Ø  Mutawatir. Yaitu qira’at yang diturunkan dari beberapa orang dan tidak mungkin terjadi kebohongan

Ø  Sesuai dengan kaidah bahasa Arab

Ø  Sesuai dengan tulisan Mushaf Utsman

Ø  Mempunyai sanad yang sahih

D.    Macam-macam Qira’at


Qira’atul Qur’an bermacam-macam.

a.                   Ditinjaui dari para qurra’

a.    Qira’ah sab’ah, yang qira’ahnya disandarkan kepada tujuh tokoh ahli qira’ah yang termasyhur. Qira’ah tersebut mulai terkenal sejak abad II H., pada masa pemerintahan Al-Makmun. Tujuh orang pakar qira’ah tersebut ialah:

Ø     Nafi’ bin Abd Rahman (wafat 169 H) di Madinah

Ø     Ashmin bin Abi Najud Al-Asady (wafat 127 H) di kuffah

Ø     Hamzah bin Habib At-Taymy (wafat 158 H) di kuffah

Ø     Ibnu Amir Al-Yashhuby (wafat 118 H) di Syam

Ø     Abdullah Ibnu Katsir (wafat 130 H) di Makkah

Ø     Abu Amer Ibnul Ala (wafat 154 H) di Basrah

Ø     Abu Ali Al-Kisai (wafat 189 H) di Kuffah.

b.      Qira’ah asyrah adalah qiralah yang disandarkan kepada sepuluh orang ahli qira’ah karena banyak ulama lain yang pandai memahami qira’atul qur’an.

Tiga ulama yang laiun yaitu:

Ø   Abu Ja’far Yazid Ibnul Qa’qa Al-Qari (wafat 130 H) di madinah

Ø   Abu Muhammad Ya’qub  bin Ishaq Al-Hadhary (wafat 205 H) di Bashrah

Ø   Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam Al-A’masyy (wafat 229 H)

c.         Qira’ah arba’a ‘asyrata, qira’ah yang disandarkan kepada empat belas orang ahli qira’ah. Empat belas orang tersebut adalah sepuluh orang ahli qira’ah dan ditambah empat orang berikut:

Ø   Hasan Al-Bashry (wafat110 H) dari Basrah

Ø   Ibnu Muhaish (wafat 123 H) Yahya Ibnul Mubarak Al_Yazidy (wafat 202 H) dari Baghdad

Ø   Abdul Faraj Ibnul Ahmad Asy-Syambudzy (wafat 388 H) dari Baghdad.

b.      Ditinjau dari perawi

Menurut imam As-Suyuti dalam buku Al-Itqan menukilkan dari Ibnu Jauzy dalam buku Munjidul Muqri’in menjelaskan, bahwa macam-macam qira’ah jika ditinjau dari segi perawinya ada enam macam, yaitu:

Ø  Qira’ah Mutawatir, yaitu qira’ah yang diriwayatkan oleh orang banyak , mereka tidak mungkin bersepakat dusta. Contonya, qira’ah sab’ah. Menurut jumhur, qira’ah sab’ah ini semua riwayatnya mutawatir.

Ø  Qira’ah masyhurah, yaitu qira’at yang sanadnya sahih karena diriwayatkan oleh tokoh yang adil, dhabith (mempunyai ketelitian tulisan atau hafalan yang bik), sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan sesuai dengan tulisan mushaf Utsman.[4]

Contoh qira’at yang masyhur ialah: karangan yang terkenal dalam hal ini adalah al-Taidir karya al-Daniy, Qashidah al Syathibiy, lalu Au’iyat al-Nasyr fi Qira’at al-Asyr dan Taqrib al-Nasyr, keduanya karya Ibnu al-Jazariy.[5]

Ø  Qira’ah ahad, yaitu qira’ah yang sanadnya sahih, tetapi tulisannya tidak cocok dengan mushaf  Utsman dan juga tidak selaras dengan kaidah bahasa Arab. Qira’ah seperti ini tidak boleh untuk membaca Al-quran, dan juga tidak boleh diyakini dari Al-quran.

Ø  Qira’ah syadzdzah, yaitu qira’ah yang sanadnya tidak sahih seperti bacaan:

Ø      Å7Î=»tB ÏQöqtƒ ÉúïÏe$!$# 

dengan bentuk fi’il madhi yang berasal darti bacaan Ibnu Sumaifai.

Ø  Qira’ah Maudhu’ah. Qira’at ini hanya dinisbatkan kepada orang yang mengucapkan tanpa asal-usul yang pasti bahkan tanpa asal usul sama sekali. Misalnya qira’at yang dikumpulkan oleh Muhammad bin Ja’far al-Khuzai dan ia mengatakan bersumber dari Abu Hanifah padahal bukan. Al-Khuza’I membaca firman yang berbunyi:

…3 $yJ¯RÎ) Óy´øƒs† ©!$# ô`ÏB ÍnÏŠ$t6Ïã (#às¯»yJn=ãèø9$# 

Artinya: Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama[6]

Harakat (baris) fathah pada lafadz Allah (!$ا) dan dhammah pada lafadz “Ulama” dibalik. Ia fathah-kan kata       dan ia dhammah-kan kata      Sehingga bila potongan ayat yang harakatnya diubah Al-Khuza’I  itu diterjemahkan, menjadi: “Allah takut kepada hambah –hambah-Nya yang Ulama” kata Al-‘ulama’         yang seharusnya fa’il (subjek) diubah menjadi maf’ul (objek).[7]

Ø  Qira’ah mudraj, yaitu qira’ah yang bacaannya ditambah-tambah sebagai penjelas, seperti bacaan Abi Waqqash وََلَََََََََهُ اَخٌ اَوْاُخُتٌ اُمِّ    dengan مِنْ اُمٌِ

c.       Ditinjau dari segi nama jenis

Menurut sebagian ulama, jika ditinjau dari segi nama jenis, maka macam-macam qira’ah ada empat, yaitu:

Ø  Qira’ah, yaitu untuk nama bacaan yang telah memenuhi tiga syarat, sebagaimana penjelasan tadi. Seperti qitra’ah sab’ah asyrah dan qira’ah asyrata.

Ø  Riwayat, yaitu nama bacaan yang hanya berasal dari salah seorang peawinya sendiri.

Ø  Thariq, yaitu nama untuk bacaan yang sanadnya terdiri dari orang-orang yang sesudahnya para perawinya sendiri.

Ø  Wajah, yaitu nama untuk bacaan terhadap Al-quran yang tidak didasarkan sifat-sifat tersebut, melainkan berdasarkan pilihan pembacanya sendiri.

E.     Sebab Perbedaan Para Qari’[8]


Sebab-sebab perbedaan qira’at sebagai berikut:

a.       Perbedaan dalam I’rab atau Harakat kalimat tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat. Misalnya pada firman Allah yang berbunyi:



b.      Perbedaan pada I’rab dan harakat (baris) kalimat sehingg mengubah maknanya. Misal pada firman Allah yang berbunyi:



Artinya: … Wahai Tuhan kami, jauhkanlah jalan perjalanan kami (saba’ ayat 19)

Kata yang diterjemahkan menjadi “jauhkanlah” di atas adalah kata  بَا عِدْkarena statusnya sebagai Fi’il Amar. Boleh juga dibaca بَا عَدَ yang berartikan kedudukannya menjadi Fi’il Madhi, sehingga bila diindonesiakan, kata itu menjadi “jauh”

c.       Perbedaan pada perubahan huruf tanpa berubah I”rab dan bentuk tulisannya, sementara maknanya berubah. Misalnya firman Allah:



Artinya:

“…Lihatlah tulang belulang, bagaiman kami menyusun kembali…”

        Kata $ydã”ų^çR (kami menyusun kembali) yang ditulis dengan huruf Zay (ز) diganti dengan huruf Ra’ (ر) sehingga berbunyi نُنْشِِِرُِهَا yang berartikan “ kami menghidupkan kembali”.

d.       Perubahan pada kalimat dengan perubahan pada bentu tulisannya, tetapi tanpa perubahan maknanya. Misalnya pada firman Allah:



Artinya:

 dan gunung-gunung adalah seperti bulu yang dihambur-hamburkan.

Beberapa Qira’at mengganti kata ِ`ôgÏèø9$$Ÿ2 dengan  كَانَصُّوْفِ  sehingga yang mulanya bermakna “bulu-bulu” berubah menjadi “bulu-bulu domba”.

e.       Perbedaan pada kalimat di mana bentuk dan maknanya berubah pula. Misalnya pada kata طَلْعِ مَنْضُوْدٍ   menjadi  طُلْعِ مَنْضُوْدٍ  

f.       Perbedaan pada mendahulukan kata dan mengakhirinya. Misalnya pada firman Allah yang berbunyi:


Artinya:

dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya.

Kono menurut suatu riwayat, Abu Bakar pernah membacanya menjadi وَجَا ءَتْ سَكْرَةُ الحَقِّ بِِِا لْمَوْتِ . Abu Bakar menggeser kata Al-Maut kebelakang, sementara kata Al-Haq ia majukan ketempat yang ia geser ke belakang, setelah mengalami pergeseran ini, bila kalimat itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi: “ Dan datanglah sekarat yang benar-benar dengan kematian”.

    Qira’at ini tdak bisa dipakai, karena jelas menyalahi ketentuan yang berlaku.

g.      Perbedaan dengan menambah atau mengurangi huruf

جنت تجرى من تحتها الانهر

 Kata (مِنْ) dalam ayat ini dibuang. Dan pada ayat serupa yang tanpa  مِنْ   justru ditambah.

F.    . Pengaruh Perbedaan Qira’at Terhadap Istinbat Hukum[9]

Sebelum masuk kepada pengaruh perbedaan qira’at terhadap istinbat hukum, kata istinbat ( إستنباط ) adalah Bahasa Arab yang akar katanya al-nabth ( النبط ) artinya air yang pertama kali keluar atau tampak pada saat seseorang menggali sumur.

Adapun istinbat menurut bahasa berarti: “Mengeluarkan air dari mata air (dalam tanah)”, karena itu, secara umum kata istinbat dipergunakan dalam arti istikhraj ( استخراج ), mengeluarkan. Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud istinbat yaitu:إستخراج المعانى من النصوص بفرط الذهب وقوة الفريحة“Mengeluarkan kandungan hukum dari nash-nash yang ada (al-Qur’an dan al-Sunnah), dengan ketajaman nalar serta kemampuan yang optimal.”

Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa, esensi istinbat yaitu: Upaya melahirkan ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat baik dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah. Mengenai obyek atau sasarannya yaitu dalil-dalil syar’i baik berupa nash maupun bukan nash, namun hal ini masih berpedoman pada nash.

Adapun perbedaan qira’at al-Qur’an yang khusus menyangkut ayat-ayat hukum dan berpengaruh terhadap istinbat hukum, dapat dikemukakan dalam contoh berikut:Firman Allah SWT  :

Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit[10]atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh[11]perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.

Ayat ini menjelaskan, bahwa seseorang yang mau mendirikan shalat, diwajibkan berwudhu. Adapun caranya seperti yang disebutkan dalam firman Allah di atas. Sementara itu, para ulama berbeda pendapat tentang apakah dalam berwudhu, kedua kaki ( وارجلكم ) wajib dicuci ataukah hanya wajib diusap dengan air.

Hal ini dikarenakan adanya dua versi qira’at yang menyangkut hal ini. Ibn Katsir, Hamzah dan Abu Amr membaca وَاَرْجُلِكُمْ . Nafi, Ibn Amir dan al-Kisai membaca وَاَرْجُلَكُمْ Sementara Ashm riwayat Syu’bah membaca وَاَرْجُلِكُمْ , sedangkan Ashm riwayat Hafsah membaca وَاَرْجُلَكُمْ .

Qira’at وَاَرْجُلَكُمْ menurut dzahirnya menunjukkan bahwa kedua kaki wajib dicuci, yang dalam hal ini ma’thuf kepada قَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ . Sementara qira’at وَاَرْجُلِكُمْ menurut dzahirnya menunjukkan bahwa kedua kaki hanya wajib diusap dengan air, yang dalam hal ini ma’thuf kepada وَامْسَحُوْابِرُءُ وْسِكُمْ . Jumhur ulama cenderung memilih qira’at وَاَرْجُلَكُم , mereka memberikan argumentasi sebagai berikut:a. Menunjukkan betapa terpelihara dan terjaganya kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan. Dalam ayat tersebut Allah membatasi kaki sampai mata kaki, sebagaimana halnya membatasi tangan sampai dengan siku. Hal ini menunjukkan bahwa dalam berwudhu, kedua kaki wajib dicuci sebagaimana diwajibkannya mencuci kedua tangan.

Selain itu jumhur berupaya menta’wilkan qira’at وَاَرْجُلِكُمْ sebagai berikut:

a.  Qira’at وَاَرْجُلِكُمْ kedudukannya ma’thuf kepada kata وَاَيْدِيَكُمْ , akan tetapi kata وَاَرْجُلِكُمْ dibaca majrur disebabkan karena berdekatan dengan رُءُ وْسِكُمْ yang juga majrur.

b. Lafadz اَرْجُلِكُمْ dalam ayat tersebut dibaca majrur, semata-mata karena ma’thuf kepada lafadz وَاَرْجُلِكُمْ yang majrur. Akan tetapi ma’thufnya hanya dari segi lafadz bukan dari segi makna.

Sementara itu, sebagian ulama dari kalanga Syi’ah Immamiyyah cenderung memilih qira’at وَاَرْجُلِكُمْ . Sedangkan ulama azh-Zhahir berpendapat bahwa dalam berwudhu diwajibkan menggabungkan antara mengusap dan mencuci dua kaki, dengan alasan mengamalkan ketentuan hukum yang tedapat dalam dua versi qira’at tersebut. Menurut Ibn Jabir ath-Thabari berpendapat bahwa seseorang yang berwudhu, boleh memilih antara mencuci kaki dan mengusapnya (dengan air).

Dari uraian di atas tampak jelas, bahwa perbedaan qira’at dapat menimbulkan perbedaan istinbat hukum. Qira’at وارجلكم dipahami oleh jumhur ulama dengan menghasilkan ketentuan hukum, bahwa dalam berwudhu diwajibkan mencuci kedua kaki, sementara qira’at وَاَرْجُلِكُمْ dipahami oleh sebagian ulama dengan menghasilkan ketentuan hukum bahwa dalam berwudhu tidak diwajibkan mencuci kedua kaki, akan tetapi diwajibkan mengusapnya. Sementara ulama lainnya membolehkan untuk memilih salah satu dari kedua ketentuan hukum tersebut. Dan ada pula yang mewajibkan untuk menggabungkan kedua ketentuan hukum tersebut.
(Baca juga: peranan manusia dalam lingkungan)

G.    Kegunaan Mempelajari Qira’at


Dengan bervariasinya qira’at, maka banyak sekali manfaat atau faedahnya, diantaranya:

1. Menunjukkan betapa terpelihara dan terjaganya kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan.

2. Meringankan umat Islam dan memudahkan mereka untuk membaca al-Qur’an

3. Bukti kemukjizatan al-Qur’an dari segi kepadatan makna, karena setiap qira’at menunjukkan sesuatu hukum syara tertentu tanpa perlu pengulangan lafadz.

4. Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global dalam qira’at lain.

5. Memperbesar pahala.

Bab III

Penutup


Kesimpulan

      Untuk menjadi seorang Qori’ Harus memenuhi syarat yang ada yaitu;

Ø  Mutawatir. Yaitu qira’at yang diturunkan dari beberapa orang dan tidak mungkin terjadi kebohongan

Ø  Sesuai dengan kaidah bahasa Arab

Ø  Sesuai dengan tulisan Mushaf Utsman

Ø  Mempunyai sanad yang sahih

Dan dengan mengetahui sekilas tentang ilmu Qiro’at kita dapat mengetahui bacaan qiro’ah mempunyai tingkatan-tingkatan-tingkatan qiro’ah dan macamnya. Ilmu ini telah sangat berjasa dalam menggali, menjaga dan mengajarkan berbagai “cara membaca” al-Qur’an yang benar sesuai dengan yang telah diajarkan Rasulullah SAW. Para ahli qiraat  telah mencurahkan segala kemampuannya demi mengembangkan ilmu ini. Ketelitian dan kehati-hatian mereka telah menjadikan al-Qur’an terjaga dari adanya kemungkinan penyelewengan dan masuknya unsur-unsur asing yang dapat merusak kemurnian al-Qur’an.


Daftar Pustaka


Muhammad, Al Sayid. 2008. Kaidah-kaidah ulumul Qur’an. Pekalongan. Al-Asri.

Djalal, Abdul. 2000. Ulumul Quran. Surabaya. Dunia Ilmu.

Marzuki, Kamaluddin. 1992. ‘Ulumul Al-Qur’an. Bandung. PT Remaja Rosdaskarya.

Shiddieqy, Muhammad Hasbi Ash. Sejarah dan Pengaruh Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Semarang. PT Pustaka Rizki Putra.

http://safiudinaokay.blogspot.com/2012/11/3-pengaruh-perbedaan-qiraat-terhadap.html

[1] Al-Sayid Muhammad bin Alawi Al-Maliky Al-Hasany. 2008. Kaidah-kaidah Ulumul Quran. Pekalongan. Al-Asri

[2] Prof.Dr.H.Abdul Djalal H.A.,Ulumul Qur’an,hlm.327-328

[3] Kamaludin Marzuki. 1992. Ulumul Qur’an. Bandung. Remaja Rosdakarya Offest. Hlm 106

[4] Ibid., Kamaludin Marzuki, Ulumul Qur’an Hlm 106

[5] Al Sayid Muhammad bin Alawi Al-Maliky Al-Hasan, Kaidah-kaidah Ulumul Qur’an. Hlmn14

[6] Yang dimaksud dengan ulama dalam ayat ini ialah orang-orang yang mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah.

[7] Ibid., Kamaludin Marzuki, Ulumul Qur’an. Hlmn 109.

[8] Ibid 110

[9] http://safiudinaokay.blogspot.com/2012/11/3-pengaruh-perbedaan-qiraat-terhadap.html

[10] Maksudnya: sakit yang tidak boleh kena air.

[11] Artinya: menyentuh. menurut jumhur Ialah: menyentuh sedang sebagian mufassirin Ialah: menyetubuhi.

Post a Comment

Silahkan di Share kalau dianggap bermanfaat

 
Top