0
Pengertian dan pengertian hadits menurut para ahli
Sumber gambar: Muslim.or.id

Sejarah Pembinaan dan Penghimpunan Hadits

Sejarah Pembinaan dan Penghimpunan Hadits- Sejarah perkembangan hadis merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh hadis dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi ke generasi.[1] Dengan memerhatikan masa yang telah dilalui hadits sejak zaman Nabi SAW meneliti dan membina hadis, serta segala hal yang memengaruhi hadis tersebut. Para ulama Muhaditsin membagi sejarah hadis dalam beberapa periode. Adapun para`ulama penulis sejarah hadis berbeda-beda dalam membagi periode sejarah hadis. Ada yang tiga periode, lima periode, tujuh periode.[2]
Artikel terkait: Pengertian Hadits Menurut Para Ahli

Menurut Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasby ash-Shiddieqy perkembangan hadits dibagi menjadi tujuh periode :[3]

I. Sejarah Hadits Periode Pertama (Masa Rasulullah SAW)

Masa Rasululah hidup atau masa turunnnya wahyu dan pembentukan masyarakat islam. Pada periode inilah, hadis lahir berupa sabda (aqwal), af’al, dan taqrir Nabi yang berfungsi menerangkan AI-Quran untuk menegakkan syariat Islam dan membentuk masyarakat Islam.

Rasulullah hidup di tengah-tengah masyarakat sahabatnya, mereka dapat bertemu dan bergaul dengan beliau secara bebas. Nabi bergaul dengan mereka di rumah, di masjid, di pasar, di jalan, di dalam safar, dan di dalam hadlar.[4] Seluruh perbuatan nabi, demikian juga segala ucapan dan tutur kata beliau menjadi tumpuan dan perhatian para sahabat, segala gerakgerik beliau mereka jadikan pedoman hidup.

Para sahabat menerima hadits (syariat) dari Rasul SAW, adakalanya langsung dari beliau sendiri, yakni mereka langsung mendengar sendiri dari Nabi, baik karena ada suatu soal yang diajukan oleh seseorang lalu Nabi menjawabnya, ataupun karena nabi sendiri yang memulai pembicaraan, adakala tidak langsung yaitu mereka menerima dari sesama sahabat atau mereka menyuruh seseorang bertanya kepada nabi jika mereka sendiri malu untuk bertanya.

Para sahabat banyak menerima pelajaran dari Nabi
  1. Yang mula-mula masuk islam yang dinamai As Sabiqunal Awwalun, seperti khulafah rasidin dan Abdullah ibnu mas’ud.
  2. Yang selalu berada disamping Nabi dan bersungguh-sungguh menghapalnya, seperti Abu Hurairah. Dan yang mencatat seperti Abdullah ibnu Amr ibn Ash.
  3. Yang lama hidupnya sesudah nabi dapat menerima hadits dari sesame sahabat, seperti Anas ibn Malik dan Abdullah ibn Abbas.
  4. Yang erat hubungannya dengan Nabi yaitu umahatul mu’minin, seperti Aisyah dan Ummu Salamah.

II. Sejarah Hadits Periode Kedua (Masa Khulafaurrasyidin 11H-40H)

Periode ini disebut ‘Ashr-At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah’ (masa membatasi dan menyedikitkan riwayat). Nabi SAW wafat pada tahun 11 H. Kepada umatnya, beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-Quran dan hadis (As-Sunnah yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat.[5]

Pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar periwayatan hadits masih sangat terbatas sekali. Hadits hanya disampaikan kepada yang memerlukan saja, belum bersifat pelajaran. Bahkan pada saat itu Umar melarang untuk memperbanyak periwayatan hadits. Beliau menekankan para sahabat untuk menyebarluaskan Al-Qur’an.
Artikel terkait: Pengertian Hadits Menurut Para Ahli

Setelah masa pemerintahan Abu Bakar dan Umar umat mulai memerlukan keadaan sahabat, terutama sahabat-sahabat kecil. Sahabat-sahabat kecil tersebut kemudian bergerak mengumpulkan hadits dari sahabat-sahabat besar, mulailah mereka meninggalkan tempat tinggal mereka untuk mencari hadits.

Cara yang digunakan sahabat nabi dalam meriwtatkan hadits, yaitu : Pertama, adakala dengan lafal asli, yakni menurut lafal yang mereka terima dari Nabi yang mereka hafal benar lafal dari Nabi. Kedua, adakala dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan lafalnya, karena mereka tidak hafal lafalnya yang asli lagi dari Nabi SAW.

Asy Syaikh Abu Bakr Shiqily dalam fawaidnya menurut riwayat ibn Basyikual, sebenarnya para sahabat tidak mengumpulkan sunnah-sunnah Rasul dalam sebuah mushab sebagaimana mereka telah mengumpulkan Al Quran. Karena sunnah-sunnah itu telah tersebar dalam masyarakat dan tersembunyi dan dihafal. Karena itu, ahli-ahli sunnah menyerahkan perihal penukilan hadits kepada hafalan-hafalan hadits mereka saja.[6]

III. Sejarah Hadits Periode Ketiga (Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in Besar 41H-Akhir Abad Pertama Hijriyah)

Periode ini disebut ‘Ashr Intisyar al-Riwayah ila Al-Amslaar’ (masa berkembang dan meluasnya periwayatan hadis). Pada masa itu Islam sudah meluas, yakni ke negeri Syam, Irak, Mesir, Samarkand, bahkan pada tahun 93 H, meluas sampai ke Spanyol.

Hal ini bersamaan dengan berangkatnya para sahabat ke daerah-daerah tersebut, terutama ingin mengetahui hadis-hadis Nabi SAW mereka diharuskan berangkat ke seluruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah untuk menanyakan hadis kepada sahabat-sahabat besar yang sudah tersebar di wilayah tersebut. Sehingga perlawatan untuk mencari hadits menjadi ramai.

Dalam fase ini, terkenalah beberapa orang sahabat dengan julukan bendaharawan hadits, yakni orang-orang yang riwayatnya lebih dari 1000 hadits. Diantara sahabat yang membanyakkan riwayat ialah : Abu Hurairah, Aisyah, Anas ibn Malik, Abdullah ibnu Abbas, Abdullah ibn Umar, Jabir ibn Abdillah, Abu aid Al Khudriy, Ibnu Masud , dan Abdullah ibn Amr ibnu Ash.

Pada periode ini mulailah muncul pemalsuan Hadits. Tahun 40H merupakan batas yang memisahkan antara masa terlepas Hadits dari pemalsuan, dengan masa mulai munculnya pemalsuan hadits.sejak fitnah diakhir masa Usman bin Affan, umat islam terpecah menjadi 3 golongan.

IV. Sejarah Hadits Periode Keempat (Permulaan Abad 2H – Akhir Abad 2H)

Periode ini disebut Ashr Al-Kitabah wa Al-Tadwin (masa penulisan dan pembukuan). Maksudnya, penulisandan pembukuan secara resmi, yakni yang diselenggarakan oleh atau atas inisiatif pemerintah.

Masa pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad II H, yakni pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdul Azis tahun 101 H,[7] Sebagai khalifah, Umar Ibn Aziz sadar bahwa para perawi yang menghimpun hadis dalam hapalannya semakin banyak yang meninggal.

System ulama abad kedua membukukan hadits, mereka tidak meyaringnya. Mereka tidak membukukan hadits-hadits saja, fatwa-fatwa sahabat, bahkan fatwa-fatwa tabiin semua itu dibukukan bersama sama. Maka terdapatlah dalam kitab-kitab itu hadits-hadits marfu’, hadits-hadits maukuf dan hadits-hadits maqthu’.[8]

V. Sejarah Hadits Periode Kelima (Awal abad 3H-Akhir Abad 3H)

Masa men-tashhihkan hadits dan menyusun kaidah-kaidahnya. Sebagaimana telah diterangkan pada periode keempat bahwa ulama ahlu hadits abad II H tidak memisahkan hadits dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in. keadaan seperti itu diperbaiki oleh ulama hadits abad III H.

Pada mulanya ulama islam mengumpulkan hadits yang terdapat di kota mereka masing-masing. Hanya sebagian kecil yang pergi ke kota lain untuk kepentingan mencari hadits. Keadaan ini dipecahkan al-Bukhary. Beliau yang mula-mula meluaskan daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadits.[9] Dengan kata lain Bukhary membuat langkah baru untuk mengumpulkan hadits yang tersebar di berbagai daerah. Dalam kurun waktu enam belas tahun beliau terus-menerus menjelajah untuk menyiapkan kitab Shahih-nya.

Pada umumnya ulama menerima hadits dari para perawi kemudian ditulis dalam bukunya, dengan tidak memperhatikan ke-shahih-an hadits dan syarat-syarat hadits yang dapat diterima.

Musuh islam yang selalu memperhatikan gerak-gerik ulama yang tengah mengumpulkan hadits, berupaya mengacau balaukan hadits dengan cara menambah lafalnya atau membuat hadits maudlu’.

Melihat hal seperti ini, maka para ulama hadits bersungguh-sungguh membahas keadaan perawi-perawi dari berbagai segi, yakni keadilan, tempat, kediaman, masa, dan lain-lain, serta memisahkan hadits-hadits yang shahih dari hadits yang dha’if, yang berarti menshahihkan hadits.

Untuk menyaring hadits-hadits itu, serta membedakan hadits-hadits yang shahih dari yang palsu dan dari yang lemah, bangunlah seorang imam hadits yang besar, ishaq ibn Rahawaih, memulai usaha memisahkan hadits-hadits yang shahih dan yang tidak.

Yang kemudian pekeraan mulia ini diselenggarakan dengan sempurna oleh Bukhary, dalam kitabnya yang disusunnya hanya hadits-hadits yang dianggap shahih saja yang ditulisnaya (al-Jami’ al-Shahih) kemudian usaha ini diikuti oleh muridnya yang alim yaitu Imam Muslim. Dan dilanjutkan oleh imam-imam yang lain.

Pembahasan mengenai diri pribadi perawi menghasilkan ilmu Qawa’id at-Tahdits (kaidah-kaidah hadits), ‘Illat-‘illat hadits dan tarjamah (riwayat) perawi-perawi hadits. Dari sinilah lahirlah Ilmu Dirayah hadits yang banyak macamnya juga Ilmu Riwayah.

Upaya pentashhihan hadits dan penyaringan hadits yang mempergunakan syarat-syarat pentashhihan baik mengenai riwayat tahammul dan ada’ melahirkan kitab-kitab shahih dan kitab-kitab sunan.

Penyaringan hadits-hadits yang dilakuakn oleh ulama semata-mata untuk memelihara sunnah rasul dan menetapkan batas hadits yang shahih dan yang dha’if.

Adapun langkah-langkah diambil para ulama dalam usaha mengkritik jalan-jalan penerima hadits sehingga mereka dapat melepaskan sunnah dari tipu daya dan membersihkannya dari segala yang mengotorinya, ialah dengan cara : mengisnatkan hadits, memeriksa benar tidaknya hadits yang diterima, mengkritik para perawi, membuat ketentuan-ketentuan umum untuk menentukan derajat hadits, seperti: tidak menerima riwayat orang yang fasiq lantaran banyaknya maksiat yang dilakukanya, walaupun ia tampak tidak berdosa.

VI. Sejarah Hadits Periode Keenam (Awal Abad IV H-656H)

Pada masa `Abasiyyah angkatan kedua. Periode ini dinamakan Ashru At-Tahdib wa At-Tartibi wa Al-Istidraqi wa Al-jami' (masa pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan penghimpunan).[10]

Ulama-ulama hadis yang muncul pada abad ke-2 dan ke-3, digelari Mutaqaddimin, yang mengumpulkan hadis dengan semata-mata berpegang pada usaha sendiridan pemeriksaan sendiri, dengan menemui para penghapalnya yang tersebar di setiap pelosok dan penjuru negara Arab, Persi, dan lain-lainnya.

Setelah abad ke-3 berlalu, bangkitlah pujangga abad keempat. Para ulama abad keempat ini dan seterusnya digelari `Mutaakhirin'. Kebanyakan hadist yang mereka kumpulkan adalah petikan atau nukilan dari kitab-kitab Mutaqaddimin, hanya sedikit yang dikumpulkan dari usaha mencari sendiri kepada para penghapalnya.

Pada periode ini muncul kitab-kitab sahih yang tidak terdapat dalam kitab sahih pada abad ketiga. Kitab-kitab itu antara lain: Ash-Shahih, susunan Ibnu Khuzaimah, At-Taqsim wa Anwa', susunan Ibnu Hibban, Al-Mustadrak, susunan Al-Hakim, Ash-Shalih, susunan Abu `Awanah, Al-Muntaqa, susunan Ibnu Jarud, Al-Mukhtarah, susunan Muhammad Ibn Abdul Wahid Al-Maqdisy.[11]

Pada akhir abad ke-4 selesailah penyusunan hadits. Telah cukup terkumpul semua hadits yang diterima dari Nabi SAW dengan berbagai jalan dalam buku-buku yang telah di terangkan dan berakhirnya kesungguhan yang telah diberikan imam-imam hadits abad III dan IV.

Maka ulama-ulama abad yang kelima Hijrah menitikberatkan usaha untuk memperbaiki susunan kitab, mengumpulkan yang berserakan dan memudahkan jalan pengambilan dan sebagainya, seperti mengumpulkan hadits-hadits hukum dalam satu kitab dan hadits-hadits targhib dalam sebuah kitab, serta mensyaratkannya.

VII. Sejarah Hadits Periode Ketujuh (656 H-Sekarang)

Periode ini adalah masa sesudah meninggalnya Khalifah Abasiyyah ke XVII Al-Mu'tasim (w. 656 H.) sampai sekarang. Periode ini dinamakan Ahdu As-Sarhi wa Al Jami' wa At-Takhriji wa Al-Bahtsi (masa pensyarahan, penghimpunan, pen-tahrij-an, dan pembahasan).
Sejak masa Baghdad dihancurkan oleh Hulagu Khan, kegiatan perkembangan hadits berpindah ke Mesir dan India. Pada masa ini banyak kepala-kepala pemerintahan yang berkecimpung dalam bidang ilmu hadits seperti Al Barquq.

Kitab-kitab hadits yang berkembang dalam kalangan umat islam dengan usaha penerbitan yang dilakukan ulama India. Mereka juga yang menerbitkan kitab ‘Ulum al-Hadits karya al-Hakim.

Jalan-jalan yang ditempuh oleh ulama-ulama dalam masa yang ketujuh ini, ialah menertibkan isi kitab-kitab hadits, menyaringnya dan menyusun kitab-kitab takhrij, serta membuat kitab-kitab Jami yang umum, kitab-kitab yang mengumpulkan hadits hukum, mentakhrijkan hadits-hadits yang terdapat dalam beberapa kitab.

B. Sejarah Penulisan Hadis

Pada masa Rasulullah SAW al-Qur’an telah dihafalkan oleh para sahabat. Selain itu juga ayat-ayat suci telah tertulis lengkap meski belum terbukukan sempurna dalam mushaf. Adapun hadis atau sunnah dalam penulisannya ketika itu kurang memperoleh perhatian seperti halnya al-Qur’an. Penulisan hadis dilakukan sahabat secara tidak resmi.

Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat memiliki catatan hadits-hadits Rasulullah SAW. Diantara sahabat-sahabat yang memiliki catatan-catatan hadits Rasulullah SAW ialah Abdullah bin Amr bin Ash yang menulis, sahifah-sahifah yang ia namai dengan “as-Shadiqah.” Tentunya sebagian sahabat keberatan dengan apa yang dilakukan oleh Abdullah, mereka beralasan bahwa Rasullah telah bersabda “Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar dari aku selain al-Qur’an. Dan barang siapa yang telah menulis sesuatu dariku (selain al-Qur’an) hendaklah dihapuskan.” Dan mereka berkata kepadanya : ”kamu selalu menulis apa yang kamu dengar dari Nabi, padahal beliau dalam keadaan marah, lalu beliau menuturkan sesuatu yang tidak dijadikan syari’at umum.”

Mendengar ucapan itu Abdullah langsung menghadap kepada Rasulullah bertanya mengenai hal tersebut Rasulullah kemudian bersabda yang artinya “Tulislah apayang kamu dengar dariku, demi Tuhan yang jiwaku di tangan-Nya tidak keluar dari mulutku, selain kebenaran.”

Menurut suatu riwayat, diterangkan bahwa Ali mempunyai sebuah sahifah dan Anas bin Malik mempunyai sebuah catatan. Abu Hurairah menyatakan : “Tidak ada dari seorang sahabat Nabi yang lebih mengetahui hadis Rasulullah dariku, selain Abdullah bin Amr bin Ash. Dia menulis apa yang dia dengar, sedang aku tidak menulisnya.”
Artikel terkait: Pengertian Hadits Menurut Para Ahli

Sebagian ulama berpendapat bahwa Rasulullah tidak pernah menghalangi usaha para sahabat menulis hadis secara tidak resmi. Mereka memahami dari hadis Rasulullah SAW bahwa larangan menulis hadis itu ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan mencampurkan al-Qur’an, sedang izin hanya diberikan kepada yang tidak dikhawatirkan mencampuradukan al-Qur’an dengan sunnah serta mereka yang hanya menulis sunnah untuk diri sendiri, dan mereka yang tidak kuat hafalannya.[12]

C. Sejarah Penghafalan Hadits

Para sahabat dalam menerima hadits dari Nabi SAW berpegang pada kekuatan hafalannya, yakni menerimanya dengan jalan hafalan, bukan dengan jalan menulis. Oleh sebab itu kebanyakan sahabat menerima hadits melalui mendengar dengan hati-hati apa yang di sabdakan Nabi. Melalui penglihatan atau pendengaran dari orang yang mendengarnya sendiri dari Nabi, karena tidak semua dari mereka pada setiap waktu dapat menghadiri dan mengikuti setiap majlis Nabi.

Dengan jalan itu, para sahabat menghafal setiap apa yang diperoleh dari sabda-sabdanya dan berupaya mengingat apa yang pernah Nabi lakukan, yang selanjutnya disampaikan kepada orang lain secara hafalan pula.

Hanya beberapa sahabat saja yang mencatat hadits yang didengarnya dari Nabi SAW. Di antara sahabat yang paling banyak menghafal atau meriwayatkan hadits adalah Abu Hurairah. Menurut keterangan Ibnu Jauzi bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sejumlah 5.374 buah hadits kemudian para sahabat yang paling banyak hafalannya sesudah Abu Hurairah adalah :
  1. Abdullah bin Umar R.A. meriwayatkan hadits 2.630 buah.
  2. Anas bin Malik meriwayatkan hadits 2.276 buah.
  3. Aisyah meriwayatkan hadits 2.210 buah.
  4. Abdullah ibnu Abbas meriwayatkan hadits 1.660 buah.
  5. Jabir bin Abdullah meriwayatkan hadits 1.540 buah.
  6. Abu Said al-Khudri meriwayatkan hadits 1.170 buah.[13]

D. Sejarah  Penghimpunan Hadits

Pada abad pertama hijriyah, yakni masa Rasulullah SAW, masa Khulafaur Rasyidin dan sebagian besar masa Bani Umayyah, hingga akhir abad pertama hijriyah, hadits-hadits itu berpindah-pindahdan disampaikan dari mulut ke mulut masing-masing perawi pada waktu itu meriwayatkan hadits berdasarkan kekuatan hafalannya.

Ide penghimpunan hadits Nabi secara tertulis untuk pertama kalinya di kemukakan oleh khalifah Umar bin Khattab. Namun ide tersebut tidak di laksanakan oleh Umar karena beliau khawatir bila umat islam terganggu perhatiannya dalam mempelajari al-Qur’an.

Pada akhir abad pertama hijriyah yakni pada tahun 99 H atau masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz datanglah angin segar yang mendukung kelestarian hadits.

Beliau sangat waspada dan sadar, bahwa para perawi yang mengumpulkan hadits dalam ingatannya semakin sedikit jumlahnya karena meninggal dunia. Beliau khawatir apabila tidak dikumpulkan dan dibukukan dalam buku-buku hadits dari perawinya, mungkin hadits-hadits itu akan lenyap bersama dengan lenyapnya para penghafalnya.

Pada tahun 100 H khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan kepada gubernur Madinah, yakni Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm supaya membukukan hadits-hadits Nabi yang terdapat pada para penghafalnya.

Selain kepada gubernur Madinah, Khalifah juga secara khusus menulis surat kepada Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab az-Zuhri. Kemudian Syihab az-Zuhri mulai melaksanakan perintah khalifah tersebut. Dan az-Zuhri itulah yang merupakan salah satu ulama yang pertama kali membukukan hadits.

Dari Syihab az- Zuhri ini, kemudian dikembangkan oleh ulama-ulama berikutnya, yang disamping pembukuan hadits juga dilakukan usaha menyeleksi hadits-hadits yang maqbul dan mardud dengan menggunakan metode sanad dan isnad.

Metode sanad dan isnad adalah metode yang digunakan untuk menguji sumber-sumber pembawa berita hadits (perawi) dengan mengetahui keadaan para perawi, riwayat hidupnya, kapan dan dimana ia hidup, kawan semasa, bagaimana daya tangkap ingatannya dan sebagainya. Ilmu tersebut dibahas dalam ilmu yang dinamakan ilmu hadits Dirayah yang kemudian dikenal dengan ilmu Musthalahul Hadits.

Setelah generasi az-Zuhri, kemudian pembukuan hadits dilakukan oleh Ibnu Juraij, ar-Rabi’ bin Shabih dan masih banyak lagi ulama-ulama lainnya. Bahwa pembukuan hadits pada masa Bani Umayyah belum begitu sempurna, kemudian pada masa Pemerintahan Bani Abbasiyah yaitu pada pertengahan abad II H dilakukan upaya penyempurnaan.

Kitab-kitab yang terkenal pada waktu itu, hingga pada saat ini masih ada antara lain al-Muwatha’ oleh Imam Malik, al-Musnad oleh Imam Syafi’I (204 H). Pembukuan hadits kemudian dilanjutkan secara lebih teliti oleh Imam-imam ahli hadits, seperti Bukhari, Muslim, Turmudzi, Nasa’I, Abu Dawud, Ibnu Majah yang kitab-kitab mereka kita kenal dengan Kutubus Sittah (kitab-kitab enam) yaitu Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan an-Nasa’I, Sunan Abi Dawud, Sunan Ibnu Majah, Sunan at-Tirmidzi.[14]

E. Timbulnya Pemalsuan Hadits dan Upaya Penyelamatannya

Sejak terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan dan tampilnya Ali bin Abi Thalib serta Muawiyah yang masing-masing ingin memegang jabatan khalifah, maka umat islam terpecah menjadi tiga golongan. Masing-masing kelompok mengaku dalam pihak yang benar dan menuduh pihak yang lain salah. Untuk membela pendirian dari masing-masing dari mereka, maka mereka membuat hadits-hadits palsu. Orang-orang yang mula-mula ingin membuat hadits palsu adalah golongan syi’ah kemudian golongan khawarij dan jumhur. Tempat mula-mula berkembangnya hadits palsu adalah di Irak atau tempat kaum syi’ah berpusat (pada waktu itu).

Pada abad ke-2, pemalsuan hadits bertambah luas dengan munculnya propaganda-propaganda politik untuk menumbangkan rezim Bani Umayyah. Muncul dari pihak muawiayah ahli-ahli pemalsu hadits untuk membendung arus propaganda yang dilakukan oleh golongan oposisi. Selainitu muncul pula golongan Zindiq, yang berupaya untuk menarik minat masyarakat agar mendengarkannya dengan cara membuat kisah-kisah palsu.

Menurut Imam Malik ada empat orang yang haditsnya tidak boleh diambil darinya :
  1. Orang yang kurang akalnya.
  2. Orang yang mengikuti hawa nafsunya yang mengajak masyarakat untuk mengikuti hawa nafsunya.
  3. Orang yang berdusta dalam pembicaraannya walaupun dia tidak berdusta kepada Rasul.
  4. Orang yang tampaknya saleh dan beribadah apabila orang itu tidak mengetahui nilai-nilai hadits yang diriwayatkannya.

Untuk itu sebagian ulama meneliti dan mempelajari keadaan para perawi-perawi hadits yang pada masanya banyak perawi hadits yang lemah. Selain itu juga dilakukan pemberantasan hadits-hadits palsu oleh para ulama dengan cara menunjukkan nama-nama dari oknum-oknum / golongan-golongan yang memalsukan hadits-hadits, supaya umat islam tidak terpengaruh dan tersesat oleh perbuatan mereka. Oleh karena itu para ulama menyusun kitab-kitab yang secara khusus menerangkan hadits-hadits palsu, di antaranya :
  1. Kitab oleh Muhammad bin Thahir al-Maqdizi.
  2. Kitab oleh al-Hasan bin Ibrahim al-Hamdani.
  3.  Kitab oleh Ibnul Jauzi.

Para ulama juga membuat kaidah-kaidah atau patokan-patokan serta menetapkan ciri-ciri yang konret yang dapat menunjukkan bahwa hadits itu palsu. Di antara ciri-cirinya :
  1. Susunan hadits itu baik lafadz maupun maknanya janggal, sehingga tidak pantas rasanya untuk di sabdakan oleh Nabi SAW, seperti hadits yang artinya, “janganlah engkau memakai ayam jantan, karena dia teman karibku.”
  2. Isi dan maksud hadits tersebut bertentangan dengan akal, seperti hadits yang artinya, “buah terong itu menyembuhkan segala macam penyakit.”
  3. Isi /maksud itu bertentangan dengan nash al-Qur’an dan atau hadits mutawattir, seperti hadits yang artinya, “anak zina itu tidak akan masuk surga.”[15]

  1. Endang Soetari, Ilmu Hadits: Kajian Riwayah dan Dirayah. Bandung; Mimbar Pustaka. 2005, hlm. 29.
  2. Ibid. hlm.30
  3. Hasby ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang : Pustaka Rizki Putra. 2012, hlm. 24.
  4. Ibid. hlm. 26
  5. Soetari. Op.cit. hlm. 41-46. Lihat juga Ash-Shiddieqy.
  6. Ibid. hlm.43
  7. Soetari. Op.cit.hlm.54
  8. Hasby ash-Siddiqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang : Pustaka Rizki Putra. 2012, hlm.55
  9. Daerah-daerah tersebut ialah Maru, Naysaburi, Rey, Baghdad, Bashrah, Kuffah, Makkah, Madinah, Mesir, Damsyik, Qaisyariah, Asqalan, dan Himsyah.
  10. Dr. Idri,M.Ag, Studi Hadits, Jakarta : Kencana, 2010, hlm.50
  11. Ash-Shiddiqy. Op.cit. hlm.80
  12. Saeful Hadi, S.Pd.I, Ulumul Hadits, Yogjakarta : Sabda Media, 2008, hlm.1-3
  13. Ibid, hlm. 3-4
  14. Ibid, hlm.4-6
  15. Ibid, hlm. 7-9
Penulis Makalah Sejarah Pembinaan dan Perhimpunan hadis dari Masa ke Masa ialah: 
  1. Miska Maziyyatun Nif’ah NIM 1212017
  2. Moh. Mishbahul Munir NIM 1212018
  3. Nanang Fatwa Albar NIM 1212024

Post a Comment

Silahkan di Share kalau dianggap bermanfaat

 
Top