5
Pelaksanaan Putusan Pengadilan, Jenis-jenis Putusan dan Cara Pelaksanaannya
Pelaksanaan Putusan Pengadilan, Jenis-jenis Putusan dan Cara Pelaksanaannya - Eksistensi Lembaga Peradilan Agama di Indonesia, telah ada sejak zaman penjajah Belanda. Bahkan sebelum itu mengiringi perjalanan dakwah Islam di Nusantara, karena lembaga peradilan baik dalam teori maupun praktek kehidupan umat Islam, merupakan hal yang tidak dapat di pisahkan.

Berdasarkan ketentuan UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama, maka Perdailan Agama bertugas dan berwenang untuk memberikan pelayanan hukum dan keadilan dalam bidang hukum keluarga dan harta perkawinan bagi mereka yang beragama Islam, berdasarkan Islam.

Pemantapan posisi Peradilan Agama secara Yuridis menempatkan lembaga Peradilan Agama sejajar dengan lembaga peradilan yang lain (peradilan Umum, peradilan Militer, dan peradilan Tata Usaha Negara).

Kemunculan Undang-undang itulah yang menyebabkan jajaran Peradilan Agama harus mengejar ketertinggalannya dengan yang lain, khususnya dalam praktek/penerapan hukum acara. Dalam makalah ini, akan sedikit membahas mengenai Pelaksanaan Putusan dalam Peradilan Agama.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah proses pelaksanaan putusan dalam Peradilan Agama mengenai jenis-jenis pelaksanaan putusan, putusan yang dapat di eksekusi, tatacara sita eksekusi, putusan hakim dalam perkara tertentu?

C. Tujuan

1. Mengetahui proses pelaksanaan putusan dalam Peradilan Agama mengenai jenis-jenis pelaksanaan putusan, putusan yang dapat dieksekusi, tatacara sita eksekusi, putusan hakim dalam perkara tertentu.

Pelaksanaan Putusan Pengadilan Agama

Pelaksanaan putusan atau eksekusi adalah hal menjalankan putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Menurut Sudikno Mertokusumo, eksekusi pada hakikatnya tidak lain ialah realisasi kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi putusan yang tercantum dalam putusan tersebut.[1]

Tujuan akhir pencari keadilan ialah agar segala hak-haknya yang dirugikan oleh pihak lain dapat dipulihkan melalui putusan Hakim. Hal ini bisa tercapai jika putusan hakim dapat dilaksanakan.

Putusan Hakim dapat dilaksanakan:

  1. Secara sukarela
  2. Secara paksa dengan menggunakan alat Negara, apabila pihak terhukum tidak mau melaksanakan secara sukarela.

Sejak dikeluarkan UU No, 7/1989 maka Pengadilan Agama telah dapat melaksanakan sendiri segala putusan yang dijatuhkannya tanpa harus melalui bantuan Pengadilan Negeri. Dengan berlakunya UU Peradilan Agama tersebut maka:

  1. Ketentuan tentang eksekutoir verklaring dan pengukuhan oleh Pengadilan Negeri dihapuskan.
  2. Pada setiap Pengadilan Agama diadakan jurusita untuk dapat melaksanakan putusan-putusannya.

Jenis-jenis Pelaksanaan Putusan[2]

Ada beberapa jenis pelaksanaan putusan, yaitu:

  1. 1. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk membayar sejumlah uang. Hal ini diatur dalam pasal 196 HIR, pasal 208 R.Bg.
  2. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk melakukan suatu perbuatan. Hal ini diatur dalam pasal 225 HIR, pasal 259 R.Bg.
  3. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk mengosongkan suatu benda tetap, yang disebut dengan eksekusi riil. Hal ini diatur dalam pasal 1033 Rv.
  4. Eksekusi riil dalam bentukpenjualan lelang. Hal ini diatur dalam pasal 200 ayat 1 HIR, pasal 218 ayat 2 R.Bg.

Putusan yang Dapat Dieksekusi [3]

Putusan yang dapat dieksekusi ialah yang memenuhi syarat-syarat untuk dieksekusi, yaitu:

1. Putusan telah berkekuatan hukum tetap, kecuali dalam hal:

  • Pelaksanaan putusan serta merta, putusan yang dapat dilaksanakan lebih dulu.
  • Pelaksanaan putusan provisi
  • Pelaksaan akta perdamaian
  • Pelaksanaan (eksekusi) Grose akta.

2. Putusan tidak dijalankan oleh pihak terhukum secara sukarela meskipun ia telah diberi peringatan oleh Ketua Pengadilan Agama.

3. Putusan Hakim bersifat Kondemnatoir.

Putusan yang bersifat deklaratoir atau konstitutif tidak diperlukan eksekusi.

4. Eksekusi dilakukan atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Agama.

Yaitu Pengadilan Agama yang menjatuhkan putusan tersebut, atau Pengadilan Agama yang diberi delegasi wewenang oleh Pengadilan Agama yang memutusnya.

Yang berwenang melaksanakan eksekusi hanyalah Pengadilan Tingkat Pertama. PTA tidak berwenang melaksanakan eksekusi.

Tatacara Sita Eksekusi [4]

Sita eksekusi dilakukan dengan tatacara sebagai berikut;

1. Ada permohonan sita eksekusi dari pihak yang bersangkutan.

2. Berdasar surat perintah Ketua Pengadilan Agama.

Surat perintah ini dikeluarkan apabila:

· Tergugat tidak mau menghadiri panggilan peringatan tanpa alasan yang sah,

· Tergugat tidak mau memenuhi perintah dalam amar putusan selama masa peringatan.

3. Dilaksanakan oleh Panitera atau Jurusita

4. Pelaksanaan sita eksekusi dibantu oleh dua orang saksi.

5. Keharusan adanya dua orang saksi merupakan syarat sah sita eksekusi.

Dua orang saksi tersebut berfungsi sebagai pembantu dan sekaligus sebagai saksi sita eksekusi.

Nama dan pekerjaan kedua saksi tersebut harus dicantumkan dalam Berita Acara Sita Eksekusi.

Saksi-saksi tersebut harus memenuhi syarat:
  • Telah mencapai umur 21 tahun
  • Berstatus penduduk Indonesia
  • Memiliki sifat jujur (dapat dipercaya)

6. Sita eksekusi dilakukan di tempat obyek eksekusi

7. Membuat Berita Acara Sita Eksekusi

Berita acara sita eksekusi tersebut memuat:

  • Nama, pekerjaan dan tempat tinggal kedua orang saksi.
  • Memerinci secara lengkap semua pekerjaan yang dilakukan.
  • Berita acara ditandatangani pejabat pelaksana dan kedua orang saksi.
  • Pihak tersita dan juga kepala desa tidak diharuskan menurut hukum, untuk ikut menandatangani Berita Acara Sita.
  • Isi berita acara sita harus diberitahukan kepada pihak tersita, yaitu segera pada saat itu juga apabila hadir pada eks penyitaan tersebut, atau jika ia tidak hadir maka dalam waktu yang secepatnya segera diberitahukan dengan jalan menyampaikan di tempat tinggalnya.
8. Penjagaan Yuridis tentang barang yang disita diatur sebagai berikut:
  • Penjagaan dan penguasaan barang sita eksekusi tetap berada ditangan tersita
  • Pihak tersita tetap berhak memakai dan menikmatinya, sampai pada saat dilaksanakan penjualan lelang.
  • Penempatan barang sita eksekusi tetap diletakkan di tempat barang itu disita, tanpa mengurangi kemungkinan memindahkannya ke tempat lain.
  • Penguasaan penjagaan tersebut harus disebutkan dalam berita acara sita
  • Mengenai barang yang bisa habis dalam pemakaian, maka tidak boleh dipergunakan dan dinikmati oleh tersita.

9. Ketidakhadiran tersita tidak menghalangi sita eksekusi
  • Sita eksekusi dapat dihadiri, bahkan sebaiknya dihadiri pihak tereksekusi.
  • Sita eksekusi dapat di laksanakan tanpa hadirnya pihak tersita asalkan pihak tersita tersebut telah diberitahukan dan diperintahkan untuk hadir pada hari dan tanggal pelaksanaan sita eksekusi tetapi yang bersangkutan tidak hadir.

Putusan Hakim Dalam Perkara tertentu [5]

Pelaksanaan Putusan Perkara Perceraian

Apabila putusan Hakim mengenai perceraian telah berkekuatan hukum tetap maka Panitera Pengadilan Agama selambat-lambatnya dalam waktu tujuh hari setelah putusan itu diberitahukan mengeluarkan Akta Cerai sebagai bukti adanya perceraian (pasal 84 ayat 4 UU No. 7/1989).

Dalam perkara cerai gugat maka akta cerai didasarkan atas putusan Pengadilan Agama/Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa perkawinan putus karena perceraian terhitung sejak putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap (Ex pasal 81 ayat 2 UU No. 7/1989).
Baca juga: Pengertian Wakaf Uang, Landasan Hukum dan Manfaat Wakaf

Akta Cerai tersebut tercatat dalam Register Akta Cerai pada Kepaniteraan Pengadilan Agama yang bersangkutan.

Selain itu, dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari, Panitera atau pejabat yang ditunjuk berkewajiban untuk mengirimkan salinan putusan/penetapan cerai tersebut yang telah berkekuatan hukum tetap kepada PPN/KUA Kecamatan di tempat tinggal suami dan isteri yang bersangkutan serta PPN/KUA Kecamatan yang dahulu mencatat perkawinan mereka, untuk diadakan pencatatan perkawinan itu.

Pelaksanaan Putusan Perkara Penetapan Asal-usul Anak

Dalam perkara penetapan asal-usul anak maka Panitera berkewajiban mengirimkan salinan penetapan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut kepada kantor catatan sipil setempat untuk diterbitkan akta kelahiran (pasal 55 ayat 5 UU No. 1/1974, pasal 103 ayat 3 KHI).

Pelaksanaan Putusan Perkara Penetapan Itsbat Nikah dan Rujuk

Dalam penetapan Itsbat nikah dan rujuk maka Panitera Pengadilan Agama berkewajiban untuk mengirimkan salinan penetapan yang telah berkekuatan hukum tetap kepada PPN/KUA Kecamatan setempat untuk diadakan pencatatan lagi dalam Buku Pendaftaran Nikah atau Rujuk. Pada kolom terakhir buku tersebut dituliskan bahwa pencatatan ini didasarkan atas putusan Pengadilan Agama yang bersangkutan, dengan nomor dan tanggal putusnnya.

Kepada pihak yang bersangkutan diberikan kutipan Buku Pendaftaran Nikah (surat nikah) sebagai bukti pernikahan, dan bukti pendaftaran rujuk sebagai alat bukti yang sah.

Demikian pula dalam perkara pembatalan perkawinan, maka Panitera PA wajib mengirimkan salinan putusan tersebut kepada PPN/KUA Kecamatan yang bersangkutan untuk diadakan pencatatan (pasal 38 PP No. 9/1975).

Pelaksanaan Putusan Perkara Penetapan Itsbat Cerai

Dalam perkara Itsbat Cerai, maka Panitera juga wajib mengeluarkan Akta Cerai sebagai bukti cerai dan mengirimkan salinan Itsbat cerai tersebut kepada PPN/KUA Kecamatan serta PPN/KUA Kecamatan di mana dahulu perkawinan mereka dicatatkan.

Pelaksanaan Putusan Perkara Sengketa Tanah Wakaf

Dalam perkara sengketa tanah wakaf, maka Panitera wajib mengirimkan salinan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap kepada PPAIW/KUA Kecamatan yang mewilayahi tanah wakaf tersebut untuk diadakan pencatatan dalam buku wakaf dan diterbitkan Pengganti Akta Ikrar Wakaf, guna penyelesaian Sertifikat Tanah Wakaf tersebut.

Pelaksanaan Putusan Perkara Perceraian Anggota ABRI dan PNS

Putusan cerai bagi anggota ABRI dan PNS yang telah berkekuatan hukum tetap harus pula dikirimkan kepada Instansi dimana suami/isteri yang bersangkutan menjadi Anggota ABRI dan PNS.

Kesimpulan
Pelaksanaan putusan atau eksekusi adalah hal menjalankan putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Menurut Sudikno Mertokusumo, eksekusi pada hakikatnya tidak lain ialah realisasi kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi putusan yang tercantum dalam putusan tersebut.

Ada beberapa jenis pelaksanaan putusan, yaitu:
  1. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk membayar sejumlah uang. Hal ini diatur dalam pasal 196 HIR, pasal 208 R.Bg.
  2. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk melakukan suatu perbuatan. Hal ini diatur dalam pasal 225 HIR, pasal 259 R.Bg.
  3. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk mengosongkan suatu benda tetap, yang disebut dengan eksekusi riil. Hal ini diatur dalam pasal 1033 Rv.
  4. Eksekusi riil dalam bentukpenjualan lelang. Hal ini diatur dalam pasal 200 ayat 1 HIR, pasal 218 ayat 2 R.Bg.

Putusan yang dapat dieksekusi ialah yang memenuhi syarat-syarat untuk dieksekusi, yaitu:

  1. Putusan telah berkekuatan hukum tetap
  2. Putusan tidak dijalankan oleh pihak terhukum secara sukarela meskipun ia telah diberi peringatan oleh Ketua Pengadilan Agama.
  3. Putusan Hakim bersifat Kondemnatoir.
  4. Eksekusi dilakukan atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Agama.

Sita eksekusi dilakukan dengan tatacara sebagai berikut;
  1. Ada permohonan sita eksekusi dari pihak yang bersangkutan.
  2. Berdasar surat perintah Ketua Pengadilan Agama.
  3. Dilaksanakan oleh Panitera atau Jurusita
  4. Pelaksanaan sita eksekusi dibantu oleh dua orang saksi.
  5. Keharusan adanya dua orang saksi merupakan syarat sah sita eksekusi.
  6. Sita eksekusi dilakukan di tempat obyek eksekusi
  7. Membuat Berita Acara Sita Eksekusi
  8. Penjagaan Yuridis tentang barang yang disita diatur sebagai berikut:
  9. Ketidakhadiran tersita tidak menghalangi sita eksekusi

Putusan Hakim Dalam Perkara tertentu

  1. Perceraian
  2. Penetapan Asal-usul Anak
  3. Penetapan Itsbat Nikah dan Rujuk
  4. Penetapan Itsbat Cerai
  5. Putusan Sengketa Tanah Wakaf
  6. Perceraian Anggota ABRI dan PNS

B. Penutup
Demikianlah makalah ini kami susun, dimohonkan kritik dan saran dari pembaca. Dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Amin.

DAFTAR PUSTAKA
Arto, mukti. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011.
Mustofa, Kepaniteraan Peradilan Agama. Jakarta: Kencana. 2005.

[1] Mustofa, Kepaniteraan Peradilan Agama. Jakarta: Kencana. 2005. Hal. 109
[2] Mukti Arto. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011. Hal. 314
[3] Ibid. hal. 314
[4] Ibid. hal. 315
[5] Ibid. hal. 316

Post a Comment

Silahkan di Share kalau dianggap bermanfaat

 
Top