5
Pengertian Aul dan Radd Serta Sistem Penggantian Tempat Ahli Waris, Hukum kewarisan
Pengertian Aul dan Radd Serta Sistem Penggantian Tempat Ahli Waris - Masalah kewarisan dalam pandangan Islam merupakan bagian dari ibadah/syari’ah yang pelaksanaannya harus benar-benar mengacu dan sesuai dengan kehendak Allah SWT dan Rasulullah SAW, sebagaimana pesan Allah tentang kewarisan Q.S. An-nisa’ ayat 13, artinya: “itulah ketentuan hukum Allah, barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasulnya, dia akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, mereka kekal didalamnya, dan itulah kemenangan yang agung”.

Menurut Wirjono Prodjodikoro,dalam bukunya Hukum Warisan di Indonesia, warisan adalah suatu cara penyelesaian perhubungan-perhubungan hukum dalam masyarakat, yang melahirkan sedikit banyak kesulitan sebagai akibat dari wafatnya seseorang. Namun pada prinsipnya pewarisan dalam hokum perdata islam adalah langkah-langkah penelusuran dan pengoperan harta peninggalan baik yang terwujud maupun tidak terwujud dari ahli waris kepada ahli warisnya.[1]

Dalam Kompilasi Hukum Islam, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.[2] Dalam makalah ini membahas mengenai masalah Aul dan Radd yang sering terjadi dalam masyarakat dan perlu penyelesaian. 
Artikel terkait: Pengertian dan Hukum Waris Anak Zina dalam Agama Islam

B. Rumusan Masalah
  1. Apa pengertian dari Aul dan Radd serta penyelesaiannya?
  2. Apa yang dimaksud dengan sistem penggantian tempat ahli waris?

C. Tujuan
  1. Mengetahui pengertian Aul dan Radd serta penyelesaiannya.
  2. Mengetahui sistem penggantian tempat ahli waris.

Pengertian Aul

Dalam kompilasi hukum Islam, Aul dan Rad terdapat pada BAB IV Pasal 192 yang menyatakan bahwa “apabila pembagian harta warisan diantara para ahli waris Dzawil Furudh menunjukkan bahwa angka pembilang lebih besar dari pada angka penyebut, angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang, dan sesudah itu harta warisan dibagi secara Aul menurut angka pembilang”.

Definisi al-Aul menurut Istilah, yaitu bertambahnya jumlah harta waris dari yang telah ditentukan dan berkurangnya bagian para ahli waris. Hal ini terjadi ketika makin banyaknya ashabul furudh sehingga harta yang dibagikan habis, padahal diantara mereka ada yang belum menerima bagian. Oleh karena itu, masalah pokoknya harus ditambah sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi jumlah ashabul furudh yang ada meskipun bagian mereka menjadi berkurang.[3]

Aul tidak akan terjadi kecuali dengan adanya suami istri. Para ulama berbeda pendapat tentang masalah pemikulan aul, apakah kekurangan harta waris itu dipikul oleh semua ahli waris secara bersama-sama, atau dipikul oleh masalah seorang ahli waris.

Madzhab empat mengatakan bahwa kekurangan itu harus dipikul secara bersama-sama oleh seluruh ahli waris. Penambahan harta waris disesuaikan dengan jumlah bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris, persis seperti orang-orang yang mempunyai hutang ketika harta yang akan dibayarkan kepada mereka jumlahnya tidak mencukupi besar piutang yang menjadi hak mereka. Jadi kalau terdapat seorang istri bersama-sama dengan dua orang ayah ibu dan dua orang anak perempuan, masalah seperti ini, bagi madzhab empat, merupakan masalah aul. Dengan demikian, total bagian semuanya adalah 24 bagian, kemudian dijadikan 27 bagian. Istri mengambil bagiannya yang semula 1/8 sekarang menjadi 1/9, ayah ibu mengambil 8 bagian sedangkan dua orang anak perempuan mengambil 16 bagian.

Menurut ulama faraidh asal masalah yang boleh diaulkan ada 3 yaitu 6, 12 dan 24:[4]
  1. Masalah enam hanya boleh diaulkan dengan tujuh, delapan, sembilan, dan sepuluh.
  2. Maslah dua belas hanya boleh diaulkan dengan tiga belas, lima belas dan tujuh belas
  3. Masalah dua puluh empat hanya boleh diaulkan dengan dua puluh tujuh 

Pengertian Radd

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 193, disebutkan “apabila dalam pembagian harta warisan diantara para ahli waris dawil furudh menunjukkan bahwwa angka pembilang lebih kecil dari angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris ashobah, maka pembagian harta tersebut dilakukan secara radd, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli waris sedang sisanya dibagi berimbang diantara mereka”.

Radd menurut istilah ialah berkurangnya pokok masalah dan bertambahnya jumlah bagian ashabul furudh. Radd merupakan kebalikan dari aul.

Dalam pembagian hak waris para ashabul furudh telah menerima haknya masing-masing, tetapi ternyata harta warisan itu masih tersisa, sementara itu tidak ada sosok kerabat lain sebagai ashobah maka sisa harta waris itu diberikan atau dikembalikan lagi kepada para ashabul furudh sesuai dengan bagian mereka masing-masing.

Radd tidak akan terjadi, kecuali kepada orang-orang yang mempunyai bagian fardh (ashab al-furudh) sebab bagian warisan mereka ini sudah ditentukan dan dibatasi. Kadang-kadang, bagian mereka bisa menghabiskan semua harta misalnya bagian ayah dan ibu dengan dua orang anak perempuan pewaris. Ayah ibu memperoleh sepertiga, dan dua orang anak perempuan memperoleh 2/3. Akan tetapi, kadang-kadang tidak sampai menghabiskan, seperti bagian untuk seorang anak perempuan bersama ibu pewaris. Anak perempuan yang seorang itu menerima seperdua sedangkan ibu mendapat 1/6 dengan demikian masih sisa 1/3. Kalau demikian, apa yang harus dilakukan terhadap sisa tirkah? Kepada siapa sisa tersebut dikembalikan? Kalau para ahli waris itu tidak mempunyai bagian tetap, misalnya beberapa orang saudara laki-laki dan beberapa orang paman pewaris tidak akan muncul permasalahan radd seperti ini.[5]

Madzhab empat mengatakan, bahwa sisa yang merupakan kelebihan fardh dikembalikan kepada ahli waris yang menerima ashobah. Kalau pewaris mempunyai seorang anak perempuan, dia mengambil bagian seperdua, sedangkan sisanya diberikan kepada ayah pewaris kalau ayahnya sudah tidak ada, sisa tersebut diberikan kepada saudara-saudara perempuan kandung atau seayah. Sebab, mereka adalah penerima-penerima ashobah bila berada bersama-sama seorang anak perempuan. Kalau mereka juga tidak ada, sisa tersebut diberikan kepada anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung, dan bila tidak ada, sisa tersebut diberikan kepada anak saudara laki-laki pewaris yang seayah, dan seterusnya kepada paman seibu seayah, paman seayah, anak paman kandung, dan paman anak seayah. 
 
Kalau orang-orang yang disebut diatas tidak ada, bagian yang tersisa tersebut dikembalikan kepada ahli waris yang mempunyai bagian fardh sesuai dengan bagian besar kecilnya bagian tetap mereka, kecuali suami dan istri. Kepada dua orang yang disebut belakangan ini, bagian yang tersisa tersebut tidak bisa dikembalikan. Misalya apabila pewearis mempunyai seorang ibu dan seorang anak perempuan, ibu mengambil bagian 1/6 dan anak perempuan memperoleh bagian ½ sebagai fardh. Sisa yang harus dikembalikan kepada mereka berdua dijadikan menjadi empat bagian. Seperempat diberikan kepada ibu dan ¾ nya diberikan kepada anak perempuan. 
 
Demikian halnya, apabila pewaris mempunyai seorang saudara perempuan seayah dan seorang saudara perempuan seibu. Yang pertama mengambil bagian seperti yang diambil oleh anak perempuan tunggal pewaris, sedangkan yang kedua mengambil bagian seperti bagian ibu. Imam Syafi’I dan Imam Maliki mengatakan bahwa apabila tidak terdapat orang-orang yang mempunyai bagian ashobah, sisa tirkah yang sudah diambil oleh bagian furudh itu dikembalikan kepada Bait Mal.

Imamiyah mengatakan bahwa sisa tersebut dikembalikan kepada ahli waris yang mempunyai bagian fardh sesuai dengan besar kecilnya bagian mereka manakala tidak terdapat kerabat yang setingkat dengannya. Adapun jika terdapat ahli waris seperti itu, mereka yang mempunyai bagian fardh mengambil bagiannya terdahulu, sedangkan sisanya diberikan kepada kerabat dekat tersebut, misalnya ibu dan ayah.

Ar-radd tidak akan terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila terwujud tiga syarat:
  1. Adanya ashhab al-furudh
  2. Tidak adanya ashobah
  3. Ada sisa harta waris
Bila dalam pembagian waris tidak ada ketiga syarat tersebut, maka kasus ar-radd tidak akan terjadi.

Ar-radd dapat terjadi dan melibatkan semua ashabul furudh, kecuali suami dan istri. Artinya, suami atau istri bagaimanapun keadaannya tidak mendapat bagian tambahan dari sisa harta waris yang ada.

Adapun ashabul furudh yang dapat menerima ar-radd ada delapan orang:[6]
  1. Anak perempuan
  2. Cucu perempuan keturunan anak laki-laki
  3. Saudara kandung perempuan
  4. Saudara perempuan seayah
  5. Ibu kandung
  6. Nenek sahih (ibu dari bapak)
  7. Saudara perempuan seibu
  8. Saudara laki-laki seibu

Ashab al-furudh dalam beberapa keadaan tertentu, mereka tidak bisa mendapatkan ar-radd. Sebab, dalam keadaan bagaimanapun, bila dalam pembagian hak waris terdapat salah satunya ayah atau kakek maka tidak mungkin ada ar-radd, karena keduanya akan menerima waris sebagai ashobah.

Adapun ahli waris dari ashabul furudh yang tidak dapat mendapatkan ar-radd hanyalah suami istri. Hal ini disebabkan kekerabatan keduanya bukanlah karena nasab, melainkan karena kekerabatan sababiyah (karena sebab), yaitu adanya ikatan tali pernikahan. Kekerabatan ini akan putus karena kematian sehingga mereka (suami dan istri) tidak berhak mendapatkan ar-radd. Mereka hanya mendapat bagian sesuai bagian yang menjadi hak masing-masing. Apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat kelebihan atau sisa dari harta waris, suami atau istri tidak mendapatkan bagian sebagai tambahan.

Ada empat macam ar-radd, dan masing-masing mempunyai cara atau hukum tersendiri, yaitu sebagai berikut:
  1. Adanya ahli waris pemilik bagian yang sama, dan tanpa adanya suami atau istri
  2. Adanya pemilik bagian yang berbeda-beda, dan tanpa suami atau istri
  3. Adanya pemilik bagian yang sama, dan dengan adanya suami atau istri
  4. Adanya pemilik bagian yang berbeda-beda, dan dengan adanya suami atau istri.

 

Sistem Penggantian Tempat

Sistem penggantian tempat dijelaskan dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan sebagai berikut:
  1. Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173.
  2. Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihii dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.

Dalam KUH Perdata dikenal ahli waris pengganti yaitu, ahli waris yang menggantikan orang yang berhak mewaris karena yang bersangkutan meninggal dunia lebih dulu daripada pewaris.[7]

Menurut ketentuan pasal 841 KUHPdt, penggantian adalah hak yang diberikan kepada seseorang untuk menggantikan seorang ahli waris yang telah meninggal lebih dulu daripada pewarisnya untuk bertindak sebagai pengganti dalam derajat dan dalam hak orang yang digantikannya. Penggantian ini menurut pasal 842 KUHPdt hanya terjadi dalam garis lurus kebawah tanpa batas, sedangkan pasal 843 KUHPdt menyatakan bahwa dalam garis lurus keatas tidak terdapat penggantian. Dalam hal ada penggantian, maka menurut pasal 846 KUHPdt pembagian dilakukan pancang demi pancang.[8]

Dalam hukum kewarisan Islam juga dikenal ahli waris pengganti yang disebut mawali. Yang dimaksud mawali adalah ahli waris yang menggantikan seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh orang yang digantikan itu karena meninggal dunia lebih dulu dari pewaris. Mawali itu adalah keturunan anak pewaris, keturunan saudara pewaris, atau keturunan orang yang mengadakan perjanjian mewaris dengan pewaris.

Sistem penggantian tempat ini dapat disebut juga Munasakhat yaitu memindahkan bagian sebagian ahli waris kepaada orang yang mewarisinya, lantaran kematiannya sebelum pembagian harta dilaksanakan.

Unsur dari Munasakhat adalah:

  1. Harta warisan pewaris belum dibagikan kepada ahli waris
  2. Adanya kematian dari seseorang orang ahli waris
  3. Adanya pemindahan bagian harta warisan dari pewaris kepada ahli waris yang lain atau kepada ahli warisny ayang semula belum menjadi ahli waris terhadap orang yang meninggal pertama
  4. Pemindahan bagian ahli waris yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya harus dengan jalan mewarisi, bukan yang lainnya sepperti hibah atau hadiah (9)

 

Perhitungan Aul, Radd dan Penggantian tempat

Perhitungan Aul dengan AM=6 menjadi 7 dengan harta 49jt

1. Ahli waris terdiri dari

Suami =1/2x6=3

2 Sdr Kdg (pr) =2/3x6=4

Jumlah saham =7

Berarti AM dan jumlah saham tidak cocok. AM harus dinaikkan menjadi 7, sehingga penyelesaiannya sebagai berikut:

Suami =3/7x49jt=21 jt

2 Sdr Kdg (pr) =4/7x49jt=28 jt

Perhitungan Aul dengan AM 6 menjadi 8, dengan harta 16jt

1. Ahli waris terdiri dari:

Suami 1/2x6=3

Ibu 1/6x6=1

4 Sdr kdg (pr) 2/3x6=4

Jumlah saham =8

Perhitungan:

Suami 3/8x16jt=6jt

Ibu 1/8x16jt=2jt

4 sdr kdg (pr) 4/8x16jt=8jt

Perhitungan Aul dengan AM=12 menjadi 17 dengan harta 34 juta

1. Ahli waris terdiri dari

Istri =1/4x12=3

Ibu =1/6x12=2

4 Sdr Kdg (pr) =2/3x12=8

2 Sdr Seibu =1/3x12=4

Jumlah saham =17

Perhitungan:

Istri =3/17x34jt=6jt

Ibu =2/17x34jt=4jt

4 sdr kdg pr =8/17x34jt=16jt

2 Sdr seibu =4/17x34jt=8jt

Perhitungan Radd dengan AM=6 dengan harta 60 juta

1. Ahli waris terdiri dari

Anak pr =1/2x6=3

Ibu =1/6x6=1

Jumlah saham =4

AM dikembalikan ke 4, perhitungan:

Anak pr =3/4x60 jt=45 jt

Ibu =1/4x60 jt= 15jt

Perhitungan Radd dengan AM=12 dengan harta 9 juta

1. Ahli waris terdiri dari

Istri =1/4x12=3

2 sdr seibu =1/3x12=4

Ibu =1/6x12=2

Jumlah saham =9

Karena ada istri, maka sebelum sisa warisan dibagi, hak untuk istri diambil dulu dengan AM sebagai pembagi: Istri=3/12x9juta=2.250.000.

Sisa warisan berarti= 6.750.000 dibagi untu 2 Orang Sdr dan Ibu, yaitu dengan cara bilangan pembaginya adalah jumlah perbandingan kedua pihak (Sdr dan Ibu) yaitu 4+2=6, maka bagian masing-masing adalah:

2 Sdr =4/6x6.750.000=4.500.000

Ibu =2/6x6.750.000=2.250.000

Perhitungan sengketa Penggantian tempat

Pakistan, dalam undang-undang tahun 1961 memberikan porsi kepada cucu yakni menempatkan cucu kalau mewaris bersama-sama dengan laki-laki dapat menggantikan kedudukan orang tuanya yang meninggal terlebih dahulu dari pada pewaris. [10]

Indonesia tidak mengikuti mesir dalam masalah cucu, tetapi lebih mengikuti pola yang digariskan oleh Pakistan yaitu melalui lembaga waris pengganti, walaupun secara substansial adanya kemungkinan terhadap perbedaan-perbedaan , dengan suatu pertimbangan bahwa kasus kewarisan cucu apabila bersama-sama dengan anak laki-laki belum ada ketentuan bagianya dalam al-quran maupun hadist, sehingga menentukanya diperlukan ijtihad sebagaimana telah dilakukan ulama’ Indonesia yang kemudian dituangkan dalam pasal 185 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam Berbunyi: “Ahli waris yang meninggal lebih dulu dari pewaris maka kedudukanya, dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173”, dan dipasal yang sama ayat (2) yang berbunyi: ” Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh mlebihi dari bagian ahli waris yang sedrajat dengan yang diganti”.[11]

A. Kesimpulan
Dalam kompilasi hukum Islam, Aul dan Rad terdapat pada BAB IV Pasal 192 yang menyatakan bahwa “apabila pembagian harta warisan diantara para ahli waris Dzawil Furudh menunjukkan bahwa angka pembilang lebih besar dari pada angka penyebut, angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang, dan sesudah itu harta warisan dibagi secara Aul menurut angka pembilang”.

Definisi al-Aul menurut Istilah, yaitu bertambahnya jumlah harta waris dari yang telah ditentukan dan berkurangnya bagian para ahli waris.

Dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan, “Apabila dalam pembagian harta warisan diantara para ahli waris dawil furudh menunjukkan bahwwa angka pembilang lebih kecil dari angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris ashobah, maka pembagian harta tersebut dilakukan secara radd, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli waris sedang sisanya dibagi berimbang diantara mereka”.

Radd menurut istilah ialah berkurangnya pokok masalah dan bertambahnya jumlah bagian ashabul furudh.

Sistem Pertgantian Tempat Kewarisan

Sistem penggantian tempat dijelaskan dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan sebagai berikut:
  1. Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173.
  2. Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihii dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
Penutup
Demikianlah makalah ini kami susun dengan kesadaran dan pemahaman yang sesuai dengan kemampuan, mohon saran dan kritikannya. Semoga apa yang ada di makalah ini menjadi manfaat bagi semuanya. Amin

DAFTAR PUSTAKA
  • Anshari, Hukum Kewarisan Islam Indonesia, Bandung: CV Mandar Maju, 2013.
  • Kompilasi Hukum Islam
  • Mardani. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta: rajawali pers. 2014
  • Muhammad, abdulkadir. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2010.
  • Rahman, fatchur. Ilmu waris. Bandung: al-Ma’arif. Tth.
  • Saebani, ahmad dan Syamsul Falah. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Bandung: Pustaka Setia. 2011.
  • Sudarsono, Hukum Waris dalam Sistem Bilateral, Jakarta: Rineka Cipta, 1991.

  1. Sudarsono, Hukum Waris dalam Sistem Bilateral, Jakarta: Rineka Cipta, 1991, Hlm 3.
  2. Kompilasi Hukum Islam . Buku II. Pasal 171. Hal 51
  3. Ahmad Saebani dan Syamsul Falah. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Bandung: Pustaka Setia. 2011. Hal. 234
  4. Mardani. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta: rajawali pers. 2014. Hal. 55
  5. Ibid, hal. 236
  6. Ibid, hal. 239
  7. Abdul kadir Muhammad. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2010. Hal. 219
  8. Ibid, hal. 220
  9. Fatchur rahman. Ilmu waris. Bandung: al-Ma’arif. Tth. Hlm. 460
  10. Anshari,Hukum Kewarisan Islam Indonesia,Bandung, CV Mandar Maju, 2013, Hlm 114
  11. Untuk lebih jelasnya baca Anshari, Hlm 114-118

Post a Comment

Silahkan di Share kalau dianggap bermanfaat

 
Top